Jika Menikah Itu Mudah Tak’kan Menyepadankannya dengan Separuh Agama
Sungguh, saya sepakat soal menikah itu berat. Saya sangat-sangat mengamini, bahwa menikah membutuhkan pengorbanan tak terbatas. Bahwa menikah berarti siap meng-nol-kan ego, yang dilakukan secara sadar dan sukarela. Bahwa menikah, berarti siap mengalah di banyak hal.
Dan untuk ketidakenakan-ketidakenakan itu, saya juga sangat meng-iya-kan tentang satu hal. Bahwa orang yang bisa menjalani itu semua, pantas dikategorikan orang hebat.
Kategori hebat yang sangat unik, karena terbebas dari segala parameter. Mereka yang hebat di pernikahan, tak diukur dari tingkat kepintaran jenjang pendidikan. Sama sekali tidak dipengaruhi, oleh kemolekan paras atau perawakan badan. Dan sangat tak tergantung, pada tingkat strata sosial seseorang.
Siapapun tanpa pandang bulu, siapapun tanpa peduli latar belakang kehidpan. Sangat bisa menghebat dan dihebatkan, dari menjalani kesakralan pernikahan. Yaitu mereka yang teguh pada komitmen, mereka yang bersetia pada janji ijab pernah diikrarkan.
Orang-orang hebat, yang dibentuk oleh kehidupan dan pernikahan itu sendiri. Mereka yang tak mudah mengeluh, karena sepenuhnya mengenggam keyakinan. Bahwa dari pernikahan, bisa menjadi jalan penghambaan.
Karena jika pernikahan itu mudah, Allah tak menjadikannya separuh agama.
—–
Anas meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda, “Jika seorang laki-laki menikah, maka ia telah menunaikan separuh agamanya, maka biarlah dia bertakwa kepada Allah mengenai separuh sisanya,” Baihaqi diriwayatkan dalam Shu’ab al-iman.
Saya pernah merenungi, tentang satu hal yang mengusik benak. Soal mengapa, menikah bisa disetarakan dengan menunaikan separuh agama. Kemudian setelah membaca beberapa sumber, terkuak pencerahan soal separuh agama ini.
Bahwa di hidup ini, ada perbuatan yang dikategorikan dosa besar (di norma agama). Kemudian disaat bersamaan, menikah bisa menjadi sebab dosa itu dileburkan. Bahkan dosa besar itu, bisa erubah menjadi pahala dengan menikah.
Adalah berhubungan badan, akan menjadi zina jika dilakukan pasangan belum menikah. Dosa berzina termasuk dosa besar, bisa ditebus dengan taubat nasuha oleh pelakunya. Anak dari berzina, tidak berhak memakai nama “bin” dari laki-laki yang menghamili ibunya.
Cukup dengan prosesi ijab kabul, maka hubungan badan suami istri menjadi halal hukumnya. Nazab anak menjadi jelas, berhak mendapatkan “bin” dengan nama ayahnya. Sangat mungkin, menjadi keturunan yang soleh solehah—insyaallah.
Menikah, berarti membentengi diri dari zina kemaluan. Dengan menikah, maka seorang pemuda menjaga kemaluannya. Tinggal separuhnya, adalah menjaga syariat agama yang selebihnya.
Hadist ini menunjukkan, dorongan sangat kuat untuk menikah. Agar seseorang terbebas, dari dosa yang diakibatkan zina kemaluan.
Jika Pernikahan Itu Mudah Tak’kan Menyepadankannya dengan Separuh Agama
Kompasianer’s, jika ada yang punya tujuan menikah untuk bahagia. Please, sebaiknya ditinjau ulang pikiran semacam itu. Karena tidak menikah dan atau menikah, kehidupan akan tetap melaju dengan jalan-jalan berlikunya.
Benar di awal pernikahan, ada masa bulan madu melambungkan mimpi. Istri diperlakukan bak bidadari, dipuja puji kalimat manis sang suami. Demikian pula suami, dirajakan dengan segala pelayanan sang istri. Kemana pergi selalu berdua, seolah lengketnya kayak perangko.
Namanya bulan madu, ada masanya akan selesai. Setelah kembali ke kehidupan normal, suami istri dihadapkan pada kenyataan keseharian. Suami berkewajiban mencari nafkah, berjibaku tantangan sepanjang hari.
Mulai direpoti membeli beras dan minyak, agar asap dapur terus ngebul. Dikejar tagihan listrik bulanan, membayar iuran lingkungan, pajak ini dan itu. Perlahan tapi pasti, sifat asli suami istri akan mulai terkuak.
Saat istri hamil akan ada kebutuhan baru, yaitu biaya kontrol dokter dan membeli vitamin yang tidak murah. Susu ibu hamil sesuai umur kehamilan, mahalnya juga membuat kening berkerut.
Setelah mempunyai anak, tantangan semakin bertambah. Kebutuhan perlengkapan bayi, membutuhkan budget tersendiri. Kemudian setelah anak masuk usia sekolah, akan ada lagi tantangan dalam bentuk lain.
Sedemikian challengingnya menikah, membutuhkan energi dan stamina prima. Suami istri musti saling menguatkan, agar tetap seiring dan mengikat kuat komitmen.
Dengan demikian, suami istri akan menemukan rasa bahagia dalam sudut pandang yang lain. Bahagia yang lahir dan tumbuh, dari sikap mengalah dan meniadakan ego diri. Dan setidak mudah itu menikah, sehingga Allah menjadikannya separuh agama.
Sekali lagi, saya sepakat bahwa menikah itu berat. Tetapi beratnya akan luntur, setelah paham menikah disepadankan dengan separuh agama. Dan yakinkah, bahwa tantangan pernikahan niscaya akan menghebatkan pelakunya. — semoga bermanfaat.