Informasi Terpercaya Masa Kini

Tanggapi Pernyataan Jokowi, Mahfud: Enggak Biasa…

0 9

JAKARTA, KOMPAS.com – Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menganggap biasa akrobat politik yang dilakukan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI saat merumuskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada.

Diketahui, RUU Pilkada tersebut akhirnya batal disahkan oleh DPR usai aksi demonstrasi penolakan dilakukan di sejumlah kota besar salah satunya Jakarta.

Menurut Mahfud, apa yang dilakukan Baleg DPR dengan menolak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah bentuk pembangkangan terhadap konsultasi sehingga tidak bisa disebut sebagai dinamika politik yang biasa terjadi di lembaga negara.

“Enggak, enggak biasa. Baru sekarang ini kalau mengabaikan putusan MK ya. Kalau yang dimaksud (biasa) itu perbedaan pendapat, biasa ya, perbedaan pendapat biasa,” kata Mahfud dalam podcast bertajuk “Teruskan!! Kawal Konstitusi dari Para Begal” yang dikutip dari YouTube Mahfud MD Official, Jumat (23/8/2024).

Baca juga: Mahfud: KPU Harus Segera Menetapkan PKPU Sebelum 27 Agustus 2024

Lantaran tidak biasa, dia mengatakan, terjadi aksi demonstrasi besar-besaran di sejumlah kota yang menolak RUU Pilkada di sahkan.

Mahfud pun menyindir bahwa demonstrasi tersebut harus dianggap biasa saja jika apa yang dilakukan oleh Baleg DPR dinilai sebagai proses politik yang biasa terjadi.

“Oleh sebab itu, demo yang besar-besaran dan menolak juga itu harus dianggap biasa, tinggal adu kekuatan politik saja karena bukan soal kebenaran hukum lagi, ini moral,” ujarnya.

Kemudian, Mahfud juga mengomentari pernyataan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi yang sempat mengatakan bahwa pemerintah akan menjalankan undang-undang dari pembuat undang-undang terkait syarat batas usia calon kepala daerah.

Manurut Mahfud, pernyataan tersebut salah karena pemerintah adalah pembuat undang-undang bersama dengan DPR.

Baca juga: Perlawanan Rakyat Sukses Buat RUU Pilkada Batal Disahkan, Mahfud: Rakyat Tak Bodoh

“Beda dengan di negara parlementer. Kalau negara parlementer seperti Inggris, Belanda itu legislatifnya itu parlemen DPR. Kalau di Indonesia, Amerika itu bukan. Itu ada kongres, ada senat, ada DPR lalu pemerintah punya hak vetonya. Tapi, kalau di Indonesia jelas dikatakan bahwa DPR itu dibuat atas persetujuan pemerintah,” katanya menjelaskan.

Sebagai Ketua MK periode 2008-2013, Mahfud pun mengatakan bahwa DPR dan presiden harus mengikuti keputusan MK. Bahkan, produk hukum yang dibuat oleh DPR dan presiden bisa dibatalkan oleh MK.

Pernyataan Jokowi dan Hasan Nasbi

Sebelumnya, Presiden Jokowi menyebut biasa proses yang terjadi di Baleg DPR terkait perumusan RUU Pilkada. Padahal, Baleg mengesampingkan putusan MK dalam penyusunannya.

Menurut Presiden, proses tersebut merupakan hal biasa yang terjadi dalam konstitusi Indonesia.

Kemudian, Jokowi mengatakan, pemerintah akan menghormati kewenangan dari masing-masing lembaga negara.

“Kita hormati kewenangan dan keputusan dari masing-masing lembaga negara,” ujar Jokowi dalam video pernyataan yang diunggah di YouTube resmi Sekretariat Presiden pada 21 Agustus 2024 sore.

“Itu proses konsitusional yang biasa terjadi di lembaga-lembaga negara yang kita miliki,” katanya melanjutkan.

Baca juga: Mahfud: Berebut Kekuasaan Itu Boleh, tapi Ikuti Aturan Konstitusi dan Jaga Moralitas

Sementara itu, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi sebelumnya mengatakan bahwa pemerintah bakal menjalankan undang-undang yang dibuat oleh pembuat undang-undang.

“Pemerintah kan tugasnya menjalankan undang-undang,” ujar Hasan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta pada hari yang sama

“Pembuat undang-undang kan cuma satu (DPR),” katanya lagi.

Hasan menjelaskan, inisiatif pembentukan undang-undang berasal dari DPR dan pemerintah. Tetapi, jika undang-undang sudah keluar nantinya pemerintah bertugas menjalankannya.

“Tapi terkait pemilu, lebih banyak nanti yang menjalankannya KPU kan, tidak secara langsung pemerintah,” ujarnya.

Baca juga: Soal Revisi UU Pilkada, Mahfud: DPR Tak Langgar Aturan Resmi, tapi Memainkan Aturan Resmi

Namun, dalam pernyataan terbarunya, Hasan menyebut, pemerintah akan mengikuti putusan MK soal syarat pencalonan kepala daerah pada Pilkada 2024.

“Aturan yang berlaku terakhir MK kan? Iya, aturan yang berlaku itu (putusan MK). Posisinya kita sama soalnya,” ujar Hasan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta pada 22 Agustus 2024.

Hasan menjelaskan, pada Kamis pagi DPR telah menyatakan menunda paripurna pengesahan Revisi Undang-Undang (RUU) Pilkada. DPR juga menegaskan bahwa jika sampai 27 Agustus 2024 tidak ada pengesahan aturan tersebut maka akan tetap mengikuti aturan terakhir.

“Jika sampai tanggal 27 Agustus ini tidak ada pengesahan Undang-Undang Pilkada, artinya DPR akan mengikuti aturan yang terakhir. Begitu pernyataan dari DPR tadi. Wakil Ketua DPR tadi menyatakan itu, akan mengikuti aturan terakhir yaitu putusan MK,” katanya.

“Nah, pemerintah juga berada pada posisi yang sama seperti sebelumnya, yaitu mengikuti aturan yang berlaku. Jadi, selama tidak ada aturan yang baru maka pemerintah akan ikut menjalankan aturan-aturan yang saat ini masih berlaku. Jadi begitu posisi pemerintah,” ujarnya Hasan lagi.

Baca juga: DPR Tolak Putusan MK soal Pilkada, Jokowi: Itu Biasa…

RUU Pilkada batal disahkan

Sebagaimana diberitakan, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad memastikan bahwa pengesahan RUU Pilkada dibatalkan. Lalu, menyebut bahwa putusan MK yang berlaku untuk pendaftaran calon kepala daerah pada 27-29 Agustus 2024.

“Dengan tidak jadinya disahkan revisi UU Pilkada pada tanggal 22 Agustus hari ini, maka yang berlaku pada saat pendaftaran pada tanggal 27 Agustus adalah hasil keputusan JR (judicial review) MK yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora. Sudah selesai dong,” ujar Dasco kepada Kompas.com, Kamis (22/8/2024).

Pengesahan RUU Pilkada sedianya dilakukan pada Rapat Paripurna Ke-3 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024-2025 yang digelar pada Kamis, 22 Agustus 2024 pagi.

Namun, rapat paripurna tersebut terpaksa ditunda karena jumlah anggota yang hadir secara fisik maupun daring tidak menjadi kuorum.

Untuk diketahui, revisi UU Pilkada tersebut setidaknya berimplikasi terhadap dua hal.

Pertama, putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep bisa maju sebagai calon gubernur dan wakil gubernur karena memenuhi syarat usia yang diatur dalam RUU Pilkada.

Kedua, PDI-P terancam tidak mendapatkan tiket untuk mencalonkan gubernur dan wakil gubernur Jakarta karena perolehan kursi di DPRD Jakarta tidak cukup, sedangkan partai politik lain sudah mendeklarasikan dukungan ke pasangan Ridwan Kamil-Suswono.

Baca juga: Istana Beri Isyarat Lebih Sejalan dengan DPR Soal Syarat Usia Calon Kepala Daerah

Leave a comment