Informasi Terpercaya Masa Kini

Kisah Nyoman Nuarta 28 Tahun Dikritik Bangun GWK Kini Diserang Gegara Istana Garuda IKN

0 54

BANGKAPOS.COM – Inilah kisah I Nyoman Nuarta yang selama 28 tahun dikritik gegara bangun patung Garuda Wisnu Kencana (GWK) dan kini diserang gegara Istana Garuda IKN.

I Nyoman Nuarta yang berasal dari Tabanan, Bali merupakan arsitek sekaligus pematung merupakan salah satu pelopor Gerakan Seni Rupa Baru pada 1976.

Selama di ITB, Nyoman menghasilkan lebih dari seratus karya seni patung selama masa kuliahnya.

Pria kelahiran 14 November 1951 ini merupakan anak dari pasangan Wirjamidjana dan Samudra.

Nama I Nyoman Nuarta satu di antaranya disorot saat ia membangun patung GWK.

Ia punya pengalaman menghadapi kritik terhadap karyanya dari sana.

Sehingga ketika Nyoman Nuarta dikritik saat membangun istana IKN, ia menganggapnya sebagai hal yang biasa.

Ya, Nyoman Nuarta mengaku tak masalah dan sudah biasa menerima kritik.

Namun, dia berharap agar kritikan yang diberikan tidak dikaitkan dengan isu agama.

“Kalau orang mengkritik ini udah biasa, saya sudah dari zaman mahasiswa udah dikritik kok, enggak ada masalah gitu, tapi jangan bawa-bawa agama, jangan bawa-bawa itu, enggak ada urusan. Kan nanti orang lain tersinggung, apa urusannya. Itu ada sampai bawa-bawa agama, karena orang Bali, karena orang Hindu, apalah gitu, jauh banget,” kata Nyoman seperti dikutip dari Antara, Sabtu (10/8/2024) dilansir Tribun Jateng.

Ia mengungkap, saat membangun GWK, dirinya dikritik oleh orang Bali sendiri.

Ia juga tidak mendapat dukungan perbankan saat menggarap proyek itu, meski punya aset yang cukup sebagai jaminan. 

Kini, GWK menjadi ikon Bali dan Indonesia di mata internasional. Gelaran acara yang mengundang pemimpin negara-negara dunia seperti G20 juga diadakan di Kompleks GWK. 

“Dulu yang di GWK itu, 28 tahun saya dikritik habis oleh orang Bali sendiri, dituduh macam-macam, saya itu sampai didemo, diancam segala macam, dianggap saya perusak budaya Bali,” terang Nyoman. 

“Saya jalan sendiri, pemerintah enggak mau bantu saya, enggak ada satu bank pun yang mau bantu saya. Salah satu bank pun enggak mau membantu saya, padahal aset saya waktu itu sudah Rp1,3 triliun, dulu aset tanah kita 80 hektare,” ujarnya.

Ia bercerita, sengaja mendesain Istana Garuda berbeda dari yang lain.

Menurutnya, Istana Negara tidak boleh sama seperti bangunan lain dan harus menggambarkan ciri bangsa. 

“Saya bilang sama Pak Jokowi (Presiden RI), kalau model kayak gitu (sama dengan desain yang lain), saya nggak mau, deh. Istana kita harus beda dengan yang lainnya, tanpa mengabaikan fungsinya,” ungkapnya. 

Nyoman yang juga merancang payung Jalasveva Jayamahe di Surabaya ini menjelaskan, warna Istana Garuda nantinya akan berubah menjadi biru toska lewat proses oksidasi.

Seperti halnya patung GWK. 

Kemudian rangka di bagian belakang Istana Garuda terbuat dari perforated. Perforated merupakan plat dari bahan baja tahan cuaca.

Ia menegaskan, warna itu mampu tahan hingga ratusan tahun lamanya.

Dia mencontohkan jembatan-jembatan di Amerika, terutama New York, yang mengalami perubahan warna setelah bertahun-tahun. 

“Kalau orang lihat gelap segala macam, kan sudah yang biasa lihat menyala-menyala warna emas itu, kan. Saya enggak mau seperti itu,” sebutnya.

Ia menegaskan, Garuda dipilih sebagai bentuk bangunan agar tidak ada kecemburuan dari berbagai daerah di Indonesia.

Pasalnya, Indonesia memiliki beragam suku.

Nyoman menyebut Indonesia punya 1.300 suku dengan budaya khasnya masing-masing. 

Ia menuturkan, Garuda sudah sangat familiar atau dikenal oleh semua suku yang ada di Indonesia sebagai lambang negara. 

Apalagi, lanjut Nyoman, lambang Garuda Pancasila juga diciptakan oleh Sultan Hamid II yang berasal dari Kalimantan, bukan seperti yang dituduhkan bahwa Garuda dari budaya Hindu.

“(Indonesia) ada rumah adatnya, ada kerajinannya. Ada tekstilnya. Supaya tidak terjadi kecemburuan, saya menghindari identitas salah satu suku (untuk) saya gunakan dalam membangun Istana. Rasanya tidak adil. Dengan demikian saya pilih Garuda sebagai ide dasar,” paparnya. 

“Nah, setelah saya pakai itu, tidak ada satu pun dari suku-suku yang begitu banyaknya yang protes, yang protes kaum arsitek, yang kalah berkompetisi. Ini kan hasil kompetisi. Jadi konsep saya begitu, karena saya tidak ingin terjadi perpecahan akibat desain yang nggak benar,” sambungnya. 

Sementara soal kesan mistis terhadap Istana Garuda, Nyoman mempersilakan persepsi dari masing-masing orang untuk berpendapat.

Menurutnya, pendapat orang timbul sedikit banyak dipengaruhi oleh pengalaman mereka masing-masing.(

Sosok I Nyoman Nuarta

Seperti disebutkan sebelumnya, Nyoman Nuarta merupakan pria kelahiran Tabanan, Bali pada 14 November 195.

ia merupakan anak ke-6 dari sembilan bersaudara pasangan Wirjamidjana dan Samudra.

Pria berusia 72 tahun tersebut pernah mengenyam pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1973 hingga 1979 dan mengambil Jurusan Seni Lukis.

Setelah satu tahun, Nyoman memilih untuk pindah jurusan ke Seni Patung karena dianggap unik dan pengerjaannya menarik.

Dikutip dari Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Nyoman sering bekerja di kampus meskipun pada waktu itu sedang libur semester atau libur panjang.

Arsitek sekaligus pematung tersebut merupakan salah satu pelopor Gerakan Seni Rupa Baru pada 1976.

Selama di ITB, Nyoman menghasilkan lebih dari seratus karya seni patung selama masa kuliahnya. 

Ia kemudian bergabung dalam Gerakan Seni Rupa Baru di Indonesia pada 1977 bersama beberapa kawannya, yaitu pelukis Hardi, Dede Eri Supria, Harsono, dan Jim Supangkat.

Kelompok seni ini tidak hanya menampilkan karyanya di Indonesia, tetapi hingga ke luar negeri seperti Australia.

Nyoman merupakan seniman beraliran modern hingga gaya naturalistik, atau menyerupai bentuk aslinya.

Tak hanya bergabung dengan komunitas di dalam negeri, Nyoman juga ikut dalam organisasi internasional seperti International Sculpture Center Washington, Amerika Serikat (AS), dan Royal British Sculpture Society, Inggris.

Pada 2021, ia menerima gelar Doktor Honoris Causa sebagai Tokoh Culturepreneur dalam Bidang Ilmu Seni Rupa (Patung).

Seniman asal Bali ini sudah membuat beberapa patung terkenal di Indonesia, yaitu Patung Garuda Wisnu Kencana di Badung, Bali, Monumen Jalesveva Jayamahe di Surabaya, Jawa Timur, Monumen Proklamasi Indonesia di Jakarta, Tugu Zapin di Pekanbaru, Riau, dan terakhir Istana IKN di Kalimantan Timur.

Nyoman dan kedekatannya dengan Istana

Pada 1979, Nyoman mengikuti lomba desain untuk Monumen Proklamasi dan keluar sebagai pemenangnya.

Desainnya digunakan sebagai Monumen Proklamasi dan sempat ada beberapa revisi dari pihak istana.

Karyanya yang apik membuat Presiden Soeharto saat itu meminta Nyoman untuk mewujudkan Patung Arjuna Wijaya.

Patung yang menggambarkan perjuangan Arjuna didampingi Sri Kresna dalam peperangan Baratha Yudha melibatkan 40 seniman dan menghabiskan biaya senilai Rp 2 miliar.

Nyoman terus mengukirkan karyanya dengan membangun proyek Garuda Wisnu Kencana (GWK) yang merupakan keinginannya.

Peletakan batu pertama dilakukan pada Minggu, 8 Juni 1997 dan satu tahun kemudian, tepatnya pada 1998, proyek tersebut sempat mandek karena Indonesia dilanda krisis ekonomi.

Patung tersebut baru dilanjutkan pengerjaannya pada 2013 dan sudah rampung pada 2018.

Kini, Nyoman dipercaya untuk mendesain Istana Garuda di IKN pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Istana Garuda di IKN menggunakan simbol Burung Garuda yang dapat memberikan kesan ikonik serta dapat menarik perhatian wisatawan, dikutip dari laman resmi ITB.

“Untuk Istana Garuda, saya mengusulkan konsep archsculpt yang menggabungkan seni patung dengan arsitektur.”

“Seperti yang dilakukan oleh seniman besar seperti Michelangelo, Leonardo da Vinci, dan I Gusti Nyoman Lempad pada bangunan seperti gereja dan pura,” ungkap Nyoman.

(Kompastv/ Tribun Jateng/ Kompas.com/Tribun-Medan.com)

Leave a comment