Informasi Terpercaya Masa Kini

Hidup dalam Pembangkangan: Ismail Haniyeh Selamanya Jadi Simbol Perlawanan

0 15

TEMPO.CO, Jakarta – Kepala politik Hamas Ismail Haniyeh dibunuh di Teheran pada usia 62 tahun dalam apa yang digambarkan oleh kelompok Palestina itu sebagai “serangan berbahaya Zionis ke kediamannya”.

Haniyeh, yang sempat menjabat sebagai perdana menteri pemerintahan Otoritas Palestina pada 2006, terbunuh pada Rabu dini hari, 31 Juli 2024, bersama dengan seorang pengawalnya ketika rumah yang ditempatinya menjadi target serangan, setelah hampir 10 bulan perang Israel di Gaza. Haniyeh berada di Teheran untuk menghadiri pelantikan presiden baru Iran, Masoud Pezeshkian, pada Selasa.

Pemimpin Hamas ini telah muncul sebagai kekuatan utama dalam gerakan pembebasan Palestina dan, seperti rekan-rekannya dan generasi politisi dan aktivis Palestina, telah lama menjadi sasaran tembak Israel. Meskipun Israel belum secara resmi mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut, seorang menteri Israel merayakan kematian Haniyeh dalam sebuah posting di X.

Menjadi Aktivis Mahasiswa

Haniyeh lahir di kamp pengungsi Shati di pesisir Kota Gaza dari orang tua yang mengungsi dari kota Asqalan (sekarang dikenal sebagai Ashkelon) ketika Israel dibentuk pada 1948.

Sebagai seorang pemuda, Haniyeh adalah seorang aktivis mahasiswa di Universitas Islam di Kota Gaza, di mana ia belajar sastra Arab. Saat masih kuliah pada tahun 1983, ia bergabung dengan Blok Mahasiswa Islam, sebuah organisasi yang secara luas dipandang sebagai cikal bakal Hamas.

Ketika pemberontakan Palestina meletus pada Desember 1987 melawan pendudukan Israel, yang dikenal sebagai Intifada pertama, Haniyeh termasuk di antara para pemuda yang ikut serta dalam aksi protes. Itu juga merupakan tahun berdirinya Hamas – dengan Haniyeh sebagai salah satu anggota mudanya.

Israel memenjarakan Haniyeh setidaknya tiga kali. Setelah menjalani hukuman terpanjangnya, yaitu tiga tahun, ia dideportasi ke Lebanon pada 1992 bersama ratusan anggota Hamas lainnya, termasuk pemimpin senior Hamas Abdel-Aziz al-Rantissi dan Mahmoud Zahhar, serta anggota kelompok-kelompok perlawanan Palestina lainnya.

Menjadi Kepercayaan Sheikh Ahmad Yassin

Namun Haniyeh kembali ke Gaza setahun kemudian setelah penandatanganan Kesepakatan Oslo pertama dan menjadi orang kepercayaan dekat Sheikh Ahmad Yassin, pemimpin spiritual dan pendiri Hamas. Setelah Israel membebaskan Yassin dari penjara pada tahun 1997, Haniyeh ditunjuk sebagai asistennya.

Profil yang tinggi itu membuat Haniyeh menjadi target pembunuhan. Israel pada saat itu telah memiliki pola panjang dalam membunuh para pemimpin Palestina selama bertahun-tahun.

Bersama-sama, Haniyeh dan Yassin selamat dari upaya pembunuhan oleh Israel pada September 2003 dengan nyaris melarikan diri dari sebuah bangunan di Kota Gaza beberapa detik sebelum bangunan itu dihantam serangan udara Israel.

Namun, beberapa bulan kemudian, Yassin dibunuh oleh pasukan Israel ketika ia meninggalkan sebuah masjid setelah salat subuh. Bulan berikutnya, al-Rantisi dibunuh dalam serangan rudal helikopter Israel ke Kota Gaza.

“Setelah 2003, Haniyeh menjadi popular di kalangan orang-orang Hamas hanya karena sikapnya, posisinya, dan penampilannya di media,” ujar Hassan Barrari, analis dan profesor di Universitas Qatar, kepada Al Jazeera. “Dia tetap menjadi tokoh terkemuka sampai pembunuhannya.”

Menjadi Perdana Menteri Otoritas Palestina

Kedudukan Haniyeh dalam gerakan Palestina semakin meningkat pada 2006 ketika Hamas mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif Palestina untuk pertama kalinya sejak didirikan. Secara mengejutkan, kelompok ini memenangkan suara terbanyak, memberikan pukulan telak bagi Fatah dan menjadikan Haniyeh sebagai perdana menteri Otoritas Palestina (PA).

Hasilnya membuat Amerika Serikat, yang telah menyerukan pemilihan umum, tidak siap.

Senator New York saat itu, Hillary Rodham Clinton, mengatakan dalam sebuah rekaman yang bocor setelah pemilu: “Saya rasa kita seharusnya tidak mendorong pemilu di wilayah Palestina. Saya pikir itu adalah sebuah kesalahan besar. Dan jika kita akan mendorong adanya pemilu, maka kita harus memastikan bahwa kita melakukan sesuatu untuk menentukan siapa yang akan menang.”

Karena tidak senang dengan peran sentral Hamas dalam pemerintahan Palestina, pemerintah-pemerintah Barat menghentikan bantuan kepada Otoritas Palestina, sehingga membuat lembaga ini berada di bawah tekanan keuangan yang berat. AS dan banyak pemerintah Barat lainnya memandang Hamas sebagai organisasi “teroris”.

Menjadi Kepala Biro Politik Hamas

Di tengah tekanan Barat dan meningkatnya ketegangan antara Hamas dan Fatah, Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas memecat Haniyeh dan membubarkan pemerintahannya. Hal ini menghasilkan pemerintahan independen yang dipimpin Hamas di Gaza pada 2007, yang dipimpin oleh Haniyeh.

Ketika Hamas mengambil alih pemerintahan, Israel, bekerja sama dengan negara tetangganya, Mesir, memberlakukan pengepungan terhadap daerah kantong tersebut, yang telah berlangsung selama 17 tahun.

“Pengepungan ini tidak boleh mematahkan keinginan kami dan tidak boleh mengubah konflik ini menjadi konflik internal Palestina, dan konflik itu harus melawan pihak-pihak yang memberlakukan pengepungan terhadap rakyat Palestina,” kata Haniyeh dalam sebuah konferensi pers pada 2006.

Diangkat sebagai kepala biro politik Hamas pada 2017, menggantikan Khaled Meshal, Haniyeh memimpin diplomasi Hamas dari sejumlah lokasi, termasuk Turki dan ibu kota Qatar, Doha, menjadi negosiator dalam perundingan gencatan senjata atau terlibat dalam pembicaraan dengan Iran, yang merupakan pendukung utama kemerdekaan Palestina.

“Haniyeh adalah seorang tokoh politik dan seorang yang pragmatis,” kata analis politik Palestina Nour Odeh kepada Al Jazeera. “Dia dikenal karena menjaga hubungan yang sangat positif dengan para pemimpin Palestina dari semua faksi.”

Menjadi Martir

Setelah serangan 7 Oktober di Israel selatan, pemerintah Israel menegaskan bahwa para pemimpin senior Hamas masuk dalam daftar targetnya. Banyak kerabat dekat Haniyeh telah terbunuh di Gaza sejak saat itu.

Pada April, tiga putranya tewas dalam serangan udara Israel yang menghantam kendaraan mereka. Empat cucunya juga terbunuh – tiga anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Secara keseluruhan, kata Haniyeh, 60 kerabatnya telah terbunuh dalam 10 bulan terakhir.

“Semua rakyat kami dan semua keluarga penduduk Gaza telah membayar harga yang mahal dengan darah anak-anak mereka, dan saya adalah salah satu dari mereka,” katanya dalam sebuah wawancara.

Pembunuhannya menandai pembunuhan terbaru terhadap seorang pemimpin senior Hamas. Baru-baru ini tahun ini, pejabat senior Hamas, Saleh al-Arouri, terbunuh dalam serangan pesawat tak berawak Israel di Beirut.

Namun Barrari mengatakan bahwa pembunuhan yang dilakukan Israel “tidak pernah menghabisi Hamas” di masa lalu dan tidak akan terjadi lagi sekarang.

“Ini bukan seperti Israel melawan mafia. Orang-orang ini mewakili perlawanan Palestina,” katanya.

AL JAZEERA

Pilihan Editor: Profil Ismail Haniyeh Pemimpin Hamas yang Tewas Dibunuh Di Iran

Leave a comment