Teman-Teman Perjalanan ke Atap Dunia yang Luar Biasa
Sudah tiga hari dua malam saya menikmati perjalanan di Tashkent seorang diri. Berjalan ke sana kemari dengan bebas ke mana saja, tanpa ada tujuan pasti dan tanpa ada yang mengatur dan membatasi. Bebas, penuh tantangan, walau terkadang penuh kejutan. Dari sekian banyak kisah perjalanan saya memang cara inilah yang lebih banyak saya tempuh.
Namun kali ini, pada perjalanan bertajuk Atap Dunia melintasi tiga negara di Asia tengah saya akan bergabung bersama beberapa teman seperjalanan dan juga pemandu wisata.
Karena perjalanan ini merupakan napak tilas buku Garis Batas yang ditulis Mas Agus, tentunya kita sudah mengetahui bahwa yang akan dialami nanti bukanlah jalan-jalan biasa. Ribuan kilometer perjalanan darat melewati medan yang cukup menantang dengan ketinggian bervariasi hingga mencapai sekitar 5000 meter di atas permukaan laut memerlukan persiapan fisik yang prima.
“Akan ada sepuluh peserta dalam jalan-jalan kita kali ini,” demikian pesan Mas Agus ketika saya memutuskan untuk turut serta pada masa-masa injury times. Mengingat medan perjalanan yang cukup berat, dalam bayangan saya pasti kebanyakan peserta tentunya masih berusia muda. Paling tidak dalam status saya yang sudah memasuki tercera edad (kepala enam) , saya akan menjadi peserta yang paling banyak usianya.
Akan tetapi ketika kami berkenalan pada saat makan malam di restoran Qanotchi, di Tashkent ternyata ada empat peserta yang diperkirakan sudah mencapai kelompok usia septuagenarian alias kepala tujuh.
Dua orang yang pertama adalah pasangan suami istri Pak Iskandar dan ibu Mirna. Mereka kebagian ditemani oleh keponakan Bu Mirna yang saya panggil Mas Sodiq.
Keluarga ini tinggal di Samarinda dan kemudian saya ketahui bahwa baik Pak Iskandar maupun Bu Mirna berprofesi sebagai dokter.
Bu Mirna selalu tampil dengan anggun walau ditemani dengan tongkat jika berjalan. Terus terang saya merasa kagum dengan semangat beliau untuk terus menjelajah walau medan perjalanan kami nanti sepanjang ribuan kilometer akan melewati kawasan yang tidak mudah.
Ternyata bu Mirna adalah dokter spesialis Rehabilitasi Medik di salah satu rumah sakit di Samarinda, sementara suaminya sendiri, Pak Iskandar yang kini sudah pensiun juga berprofesi sebagai dokter dan pernah bertugas di Rumah Sakit Fatmawati di Jakarta Selatan.
Baik Bu Mirna maupun Pak Iskandar merupakan petualang yang sudah bepergian ke puluhan negara di berbagai pelosok bumi. Ada pengalaman menarik ketika saya dan Bu Mirna berbelanja bersama di mini market di dekat rumah penginapan kami di Ishkasim. Selain itu kami juga berbelanja bersama di pasar peti kemas di Murghab.
Sekilas Pak Iskandar berpenampilan tenang dan tidak banyak berbicara, sementara Bu Mirna sendiri lumayan ramah dan banyak bercerita. Uniknya di hari terakhir kami di Tashkent, Bu Mirna sempat hilang di Chorsu Bazaar sehingga dicari-cari oleh Mas Agus dan Mas Kasan. Ketika bertemu, ternyata Bu Mirna memang sedang asyik belanja dan tidak merasa kesasar karena sudah pernah ke Bazaar ini sebelumnya.
Selain Bu Mirna dan Pak Iskandar ada lagi dua perempuan yang juga kebetulan berprofesi sebagai dokter dalam rombongan kami.
Bu Liliek dan Bu Ida, demikian namanya dan tentunya cukup akrab dengan saya karena keduanya menjadi teman satu kendaraan sejak berangkat dari Tashkent hingga kembali ke perbatasan Tajikistan dan Uzbekistan di Oybek pada hari terakhir perjalanan kami.
Kedua dokter ini berasal dari Jawa Timur. Bu Liliek sekilas tampak lebih lincah dan banyak bicara dan berprofesi sebagai dokter spesialis jantung di Surabaya. Sementara Bu Ida berprofesi sebagai dokter spesialis saraf di Bojonegoro berpenampilan lebih kalem dan keibuan.
Keduanya merupakan teman lama dan ternyata sering bepergian ke puluhan negara sebelumnya baik sendiri-sendiri maupun bersamaan. Mereka sering asyik bercakap-cakap dengan bahasa Jawa dialek Jawa timuran. Keduanya selalu ceria dan merupakan teman seperjalanan yang menyenangkan.
Bu Ida sendiri sempat sedikit mengalami gangguan kesehatan dalam dua hari pertama perjalanan sehingga lebih banyak diam. Namun sesudahnya tampak pulih dan banyak bercerita. Keduanya juga memberikan saya obat ketika saya mengalami sedikit gangguan pencernaan.
Yang sangat berkesan bagi saya adalah Bu Liliek yang suka membuat video dan kami sempat membuat beberapa video lucu ketika menginap di desa Saritag.
Selain itu keduanya juga sangat suka dengan buah cherry dan aprikot yang ternyata cukup banyak tumbuh di tepi jalan baik di Uzbekistan maupun Tajikistan. Karena itu baik Bu Liliek maupun Bu Ida dengan bersemangat turun dari kendaraan dan memetik buah tersebut dibantu oleh Mas Kasan. Seru sekali rasanya.
Dan tentunya di antara empat sosok yang saya sebutkan dalam kisah ini, ada satu persamaan di antara ketiga ibu ibu dokter itu adalah semuanya memiliki hobi berbelanja. Baik makanan kecil maupun suvenir. Karena itu di sepanjang perjalanan saya hampir tidak pernah berhenti mengunyah berbagai jenis makanan kecil.
Ketiganya juga merupakan ibu-ibu yang sangat murah hati dalam memberikan hadiah. Berbagai jenis hadiah sudah disiapkan dari tanah air baik untuk pemandu wisata lokal maupun para pengemudi dalam pengembaraan yang sangat berkesan kali ini.
Terima kasih banyak buat empat sosok yang mengagumkan, Pak Iskandar , Bu Mirna, Bu Liliek dan Bu Ida yang telah banyak memperlancar inspirasi buat saya. Namun tentu tidak lupa salam buat sobat lain yang lebih muda seperti Pak Yudi, Pak Edy, Mbak Maya dan Mbak Retha serta tentu saja Mas Sodiq.
Kelompok selanjutnya adalah para fotografer yaitu Pak Yudi, Pak Edy dan Mbah Retha. Mereka kebetulan satu kendaraan dan tampak sering mengambil banyak foto di berbagai tempat dengan serius. Hasil karya mereka juga terbukti berupa foto dan video yang cantik. Mereka pun telah mengembara ke puluhan negara di berbagai pelosok dunia.
Saya sempat naik ke Sulaiman Too di Osh bersama dan menghasilkan beberapa foto yang ciamik.
Pak Yudi yang berpenampilan tenang dan selalu ceria kebetulan berbagi kamar dengan saya baik di Tashkent, Kokand, Osh, Dushanbe, Khujand dan selama di Homestay di Pamir. Ia tampak nya seorang fotografer yang cukup serius dan pendaki gunung yang cukup berpengalaman. Saya belajar bagaimana mengeringkan pakaian dengan cepat dan juga melihat bagaimana mempersiapkan koper dengan ringkas.
Sementara itu penampilan pak Edy dengan rambut putihnya yang khas mengingatkan saya akan Hatta Rajasa. Kalem dan selalu santai, Pak Edy sering berbicara dalam dialek Minang Pekan Baru dengan Maya.
Mbak Retha juga selalu tampil tenang dan serius walau senyum tidak pernah hilang dari wajahnya. Lebih banyak mengambil foto sendiri walau sekali-kali minta diambilkan fotonya oleh saya.
Lalu tinggal Maya yang belum dibahas. Maya selalu berpenampilan modis dan merupakan peserta yang paling riang sekaligus banyak komentar dan komplain. Menurutnya pada awalnya dia tidak menyangka bahwa perjalanan ini akan sedikit berat dan tidak biasa. Namun akhirnya Maya juga terlihat cepat beradaptasi dan menikmatinya. Maya juga menjadi primadona ketika rombongan mampir ke Afghan Bazaar. Sebagaimana umumnya kaum perempuan, Maya juga sangat hobi belanja sehingga konon koper warna pinknya paling berat. Makanan, pakaian, suvenir dan segala macam belanjaan di berbagai tempat langsung disikat. Maya juga seorang pertualang yang sudah melanglang ke hampir 50 negara.
Nah rasanya belum lengkap kalau tidak membahas sekilas tentang Mas Sodiq yang selalu santai, tenang tersenyum dengan rokok yang selalu menghias bibirnya.
Demikian sekilas kisah tentang teman-teman perjalanan ke Atap Dunia kali ini.
Semoga kita dapat berjumpa kembali dalam perjalanan di lain waktu. Sukses selalu buat Mas Agus dan Mas Kasan.