Bagaimana rasanya menjadi seorang Muslim di India yang dipimpin Narendra Modi?

Warga India yang beragama Islam mengalami pergolakan sosial dalam beberapa tahun terakhir di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Narendra Modi. Bagaimana cerita mereka?

Bagaimana rasanya menjadi seorang Muslim di India yang dipimpin Narendra Modi?

Enam tahun silam, seorang bocah Muslim yang tinggal di Agra, kota di India bagian selatan, pulang sekolah dengan muka merah karena amarah.

“Teman-teman sekelas mengolok-olokku dengan sebutan ‘teroris Pakistan’,” ungkap anak laki-laki berusia sembilan tahun itu kepada ibunya.

Sang bunda, Reema Ahmad, ingat betul hari itu seolah-olah kejadiannya baru kemarin.

“Kedua tangannya dikepalkan begitu erat sampai-sampai ada bekas kuku di telapak tangannya. Dia benar-benar murka," papar Reema yang bekerja sebagai penulis buku dan konselor.

Putra Reema mengadu kepadanya bahwa teman-teman sekelasnya sedang main perang-perangan saat guru mereka sedang keluar.

“Salah satu dari mereka menunjuk ke arah anak saya dan bilang, ‘Ini teroris Pakistan. Habisi dia!’”

Teman-teman sekelas lainnya mengejek putra Reema dengan sebutan nali ka kida yang artinya “serangga selokan”.

Ketika Reema mengadukan insiden ini ke sekolah, dia dibilang “mengada-ada… membayangkan hal yang tidak pernah terjadi”.

Reema akhirnya menarik anaknya keluar dari sekolah yang cukup terkenal itu. Putranya sekarang berusia 16 tahun dan dia mengenyam pendidikan di rumah.

“Saya merasakan guncangan masyarakat dari pengalaman anak saya. Tumbuh besar di sini, saya tidak pernah merasakan hal ini,” imbuh Reema.

“Status sosial kami yang berprivilese bisa jadi melindungi kami dari perasaan sebagai Muslim terus menerus. Sekarang, justru kelas sosial dan privilese membuat kami semakin terlihat sebagai target.”

Semenjak partai nasionalis Hindu, Bharatiya Janata Party (BJP) pimpinan Narendra Modi, berkuasa pada 2014, kehidupan populasi Muslim di India yang jumlahnya sekitar 200 juta jiwa mengalami pergolakan.

Orang-orang yang dituduh sebagai pedagang sapi meregang nyawa di tangan kalangan Hindu yang main hakim sendiri. Massa juga menyasar bisnis-bisnis kecil milik pedagang Muslim.

Berbagai petisi menentang pembangunan masjid pun bermunculan. Muncul pula perusuh di antara warganet India yang “melelang” perempuan Muslim secara online.

Kelompok-kelompok sayap kanan juga media arus utama turut menyulut Islamofobia dengan tudingan “jihad cinta”, yaitu tuduhan bahwa lelaki Muslim menikahi perempuan Hindu supaya mereka menjadi mualaf.

Ujaran kebencian berbau anti-Islam dilaporkan meningkat – tiga perempat dari insiden berasal dari negara-negara bagian India yang dikuasai BJP.

“Umat Muslim menjadi warga negara kelas dua. Kelompok minoritas yang tidak kasat mata di negeri mereka sendiri,” ujar Ziya Us Salam, penulis yang baru-baru ini menelurkan buku Being Muslim in Hindu India (Menjadi Muslim di Negeri India yang Hindu).

Meski begitu, BJP – dan Perdana Menteri Modi – menyanggah minoritas diperlakukan semena-mena di India.

“Ini adalah kiasan umum dari sebagian orang yang tidak mau repot-repot bertemu orang di luar lingkungan mereka. Bahkan kelompok minoritas di India pun tidak mempercayai narasi ini lagi,” ujar PM Modi kepada majalah Newsweek.

Namun Reema Ahmad tetap merasakan perbedaan yang kentara. Padahal keluarganya berpuluh-puluh tahun di Agra dan punya banyak teman orang Hindu di tengah perumahan padat.

Pada 2019, Reema keluar dari sebuah grup WhatsApp. Dirinya merupakan satu dari dua orang Muslim di grup tersebut.

Keputusan ini diambilnya setelah unggahan pesan di grup itu menyudutkan umat Muslim seiring dengan aksi serangan udara India terhadap kelompok milisi di Pakistan yang mayoritas Muslim.

“Jika mereka menghajar kita dengan rudal, kita masuki rumah mereka dan bunuh semua,” sebut pesan itu. Nadanya mirip dengan apa yang dikatakan PM Modi tentang membantai teroris dan musuh orang India di rumah mereka.

  • India: Video rekayasa memicu kebencian antara penganut Muslim dan Hindu
  • India: Guru perintahkan para siswa menampar siswa Muslim, picu intoleransi agama
  • Rumah dan toko keluarga Muslim di negara bagian Madhya Pradesh dihancurkan 'tanpa dasar hukum'

“Rasanya kesabaran ini hilang. Saya tanya ke teman-teman saya: 'Apa ada yang salah dengan diri kalian? Kalian benar-benar memaklumi pembunuhan orang sipil dan anak-anak?'," kenang Reema.

Dia yakin dirinya sedang mengadvokasi perdamaian.

Segera saja Reema memperoleh tanggapan.

“Ada yang tanya apakah saya ini pro-Pakistan karena agama saya Muslim. Saya dituduh anti-negara sendiri,” ujarnya.

“Tiba-tiba saja menyerukan pesan anti-kekerasan disamakan dengan tidak cinta negara. Saya lalu bilang kalau tidak perlu pro-kekerasan untuk mendukung negara. Saya pun keluar dari grup [WhatsApp] itu.”

Perubahan suasana juga terjadi di aspek-aspek lain.

Rumah Reema Ahmad yang luas sudah lama menjadi tempat kongko bagi teman-teman sekelas putranya – tidak peduli urusan gender atau agama. Namun, momok “jihad cinta” membuat Reema harus meminta anak-anak perempuan Hindu untuk pulang dari rumahnya pada jam tertentu. Mereka juga dilarang berlama-lama di kamar putra Reema.

“Saya dan ayah saya mengajak anak saya untuk duduk bersama. Dia kami kasih tahu kalau suasananya kini tidak baik sehingga dia harus membatasi pergaulan. Dia harus berhati-hati dan jangan keluar larut malam. Kita tidak akan pernah tahu apa yang bisa terjadi. Dalam sekejap mata situasi bisa berubah menjadi [tuduhan] ‘jihad cinta’.”

Erum, yang merupakan generasi kelima di Agra, ikut merasakan perubahan dalam perbincangan di antara anak-anak di kota itu. Dia memperhatikan ini saat dirinya bekerja sebagai staf di sebuah sekolah.

“Jangan bicara sama saya. Kata Ibu saya begitu,” ujar Erum menirukan apa yang dikatakan seorang murid kepada temannya yang Muslim.

“Sukar dipercaya rasanya. Cerminan betapa fobia [terhadap Muslim] begitu mengakar. Ini akan tumbuh menjadi sesuatu yang sulit disembuhkan,” ucap Erum.

Untuk Erum sendiri, dia punya banyak teman orang Hindu. Dia pun tidak merasa gampang minder sebagai perempuan Muslim.

Namun kenyataannya kondisi ini tidak hanya terjadi di antara anak-anak.

Siraj Qureshi, seorang wartawan lokal dan aktivis lintas agama, menyesali keretakan persahabatan antara umat Hindu dan Muslim yang sudah terjalin lama.

Ditemui di kantor kecilnya yang terletak di jalanan Agra yang ramai, Siraj menceritakan insiden baru-baru ini di mana seorang pria yang tengah mengantar daging domba diciduk kelompok Hindu sayap kanan lalu diserahkan ke polisi.

Laki-laki nahas itu kemudian dijebloskan ke penjara.

“Dia punya surat izin yang sesuai, tetapi polisi tetap menangkapnya. Dia akhirnya dibebaskan,” cerita Siraj.

Banyak orang merasakan perubahan perilaku di antara umat Muslim yang bepergian dengan kereta. Hal ini dipicu sejumlah laporan insiden penyerangan terhadap penumpang kereta yang Muslim karena dituduh membawa daging sapi.

“Sekarang kita semua berhati-hati dengan menghindari membawa makanan non-vegetarian saat menaiki transportasi publik. Atau, ya, kalau mampu sama sekali tidak naik transportasi publik,” ujar Reema.

Kaleem Ahmed Qureshi, seorang insinyur peranti lunak yang banting setir menjadi musisi dan perancang perhiasan, merupakan penduduk Agra generasi ketujuh. Dia kerap memimpin tur jalan kaki warisan budaya di Agra.

Kaleem baru-baru ini naik taksi bersama seseorang beragama Hindu dari Delhi ke Agra. Saat itu, Kaleem sedang membawa rubab (instrumen musik serupa kecapi asal Afghanistan) miliknya.

“Dia [penumpang Hindu] melihat tas rubab dan meminta saya untuk membukanya. Dia khawatir ini adalah senjata api. Saya merasakan reaksi dia dipengaruhi nama saya,” ujar Kaleem.

“Ada rasa kecemasan dalam kehidupan kita saat ini. Sekarang, saat bepergian, saya harus benar-benar mawas diri sedang berada di mana. Harus sadar betul tentang kata-kata yang keluar dari mulut ini atau apa yang saya lakukan. Bahkan menyebut nama sendiri saat beli tiket saya khawatir.”

Kaleem bisa melihat akar permasalahan yang jelas: “Politik telah mencampurkan racun dalam hubungan bermasyarakat.”

“Orang Muslim tidak perlu cemas,” Syed Zafar Islam, juru bicara BJP, berkata kepada saya baru-baru ini di Delhi pada suatu sore yang panas.

Dia menyebut peningkatan Islamofobia adalah kesalahan “media-media yang tidak bertanggung jawab”.

“Insiden kecil terjadi di suatu tempat dan media membesar-besarkannya seolah ini belum pernah terjadi. Di sebuah negara dengan populasi 1,4 miliar orang, beberapa insiden dapat terjadi antar-kelompok masyarakat atau dalam kelompok masyarakat,” cetusnya.

“Anda tidak bisa menggeneralisir satu atau dua insiden [dan mengatakan partai berkuasa adalah anti-Muslim]. Jika seseorang menggambarkannya sebagai sesuatu yang menargetkan orang Muslim, maka dia salah.”

Kepada Syed Zafar, saya bertanya: bagaimana perasaannya kalau anaknya pulang dari sekolah dan mengaku dikata-katai “teroris Pakistan” karena agama yang dianut keluarga.

Syed Zafar, mantan bankir yang bergabung ke BJP pada 2014, punya dua anak dan salah satunya masih duduk di bangku sekolah.

“Seperti orang tua lainnya, perasaan saya akan terganggu. Sekolah bertanggung jawab untuk memastikan ini tidak terjadi. Orang tua harus memastikan anak-anaknya tidak mengatakan hal seperti itu,” ujarnya.

Bagaimana dengan pembicaraan tentang pendirian rashtra [negara] Hindu oleh BJP di negara yang 79% populasinya adalah orang Hindu?

“Orang-orang tahu ini retorika. Apa pemerintahan kita atau partai pernah mengatakan hal seperti itu? Kenapa media memberikan ruang untuk orang-orang yang mengatakan hal seperti itu? Kami marah ketika media memberi ruang untuk orang-orang seperti itu,” ujar Syed Zafar Alam.

Kalau begitu, bagaimana tentang kurangnya perwakilan Muslim? BJP tidak punya menteri atau anggota parlemen tingkat apa pun yang beragama Islam. Hanya ada satu orang Muslim anggota BJP yang menjadi anggota majelis lokal (MLA) di antara total 1.000 orang secara nasional.

Syed Zafar, yang merupakan mantan anggota parlemen, menyebut hal ini tidaklah disengaja.

“Orang-orang Muslim digunakan Kongres dan partai-partai oposisi lainnya dalam agenda mereka untuk mengalahkan BJP. Kalau kandidat-kandidat Muslim diusung sebuah partai dan orang-orang Muslim tidak memilihnya, partai mana yang akan memberinya tiket kesempatan?”

Memang benar bahwa hanya 8% orang Muslim India yang memilih BJP pada 2019. Sebagian besar memilih kubu oposisi sebagai blok penghalang partai pimpinan PM Modi.

Pada pemilu 2020 di Negara Bagian Bihar, 77% suara mendukung aliansi anti-BJP. Tahun 2021, 75% mencoblos Kongres Trinamool regional di Bengal Barat. Pada 2022, 79% mendukung Partai Samajwadi yang menjadi oposisi di Uttar Pradesh.

Namun, Syed Zafar berargumen bahwa partai-partai oposisi yang dipimpin Kongres menanamkan “rasa takut dan cemas” di masyarakat untuk menjamin loyalitas mereka. Pemerintahan Modi, menurut dia, “tidak membeda-bedakan [kelompok masyarakat]”.

“Skema bantuan kesejahteraan mencapai semua orang. Orang-orang Muslim adalah penerima terbesar dari sebagian skema ini. Tidak ada kerusuhan besar dalam 10 tahun terakhir,” jelasnya.

Faktanya, kerusuhan di Delhi yang berakar dari hukum kewarganegaraan yang kontroversial pada tahun 2020 menewaskan lebih dari 50 orang – sebagian besar dari mereka adalah Muslim. Namun, sejak kemerdekaannya, India sudah mengalami kerusuhan yang jauh lebih parah.

  • Kerusuhan Delhi: Apa di balik kerusuhan yang berujung pada konflik antara Hindu dan Muslim?

Syed Zafar menyalahkan komunitas yang mengisolasi diri mereka sendiri dari arus utama.

“Orang-orang Muslim harus introspeksi. Jangan mau diperlakukan sebagai [sekadar] bank suara. Jangan mau dipengaruhi pemimpin agama.

“PM Modi berusaha keras untuk menyatukan masyarakat supaya orang-orang bisa hidup bahagia berdampingan dan tidak disesatkan.”

Saya bertanya kepada Syed Zafar bagaimana dia melihat masa depan orang-orang Muslim di bawah kepemimpinan PM Modi.

“Sangatlah bagus… pelan-pelan pikiran mulai berubah. Akan lebih banyak orang Muslim yang bergabung dengan BJP. Situasinya membaik.”

Sulit untuk mengatakan apakah segalanya membaik atau tidak.

Memang benar bahwa di tengah semua pergolakan ini, banyak warga Muslim yang mengatakan komunitas mereka sedang dalam proses reformasi.

“Orang-orang Muslim melihat ke dalam dan meningkatkan pendidikan. Ada upaya bersama dari para pendidik dan intelektual Muslim untuk membantu murid-murid yang tidak mampu dan layak dibantu untuk mendapat edukasi. Upaya untuk memperbaiki diri secara mandiri patutlah dipuji… tetapi ini juga menunjukkan kurangnya rasa percaya terhadap pemerintah,” ujar Ziya Us Salam.

Arzoo Praveen adalah satu dari sekian orang yang dapat melihat jalan keluar dari kemiskinan di Bihar – negara bagian termiskin – melalui pendidikan.

Namun, ayah Arzoo khawatir dengan omongan orang.

“Ayah bilang kita punya masalah keuangan dan saya sudah besar. Orang-orang akan membicarakan hal ini. Saya bilang ke ayah, kita tidak bisa terus menerus hidup seperti ini. Perempuan terus maju. Kita tidak bisa jalan di tempat.”

Impian Arzoo adalah menjadi seorang dokter – setelah terinspirasi dari kisah ibunya yang meninggal dunia di rumah sakit setempat. Cerita-cerita gurunya tentang perempuan yang sukses menjadi insinyur dan dokter membuat Arzoo yakin impiannya bisa jadi kenyataan.

“Saya juga bisa,” ujar Arzoo.

Dalam waktu kurang dari setahun, dia menjadi perempuan pertama di keluarganya yang mengenyam kuliah.

Jalan Arzoo keluar dari desanya bukanlah melalui sekolah negeri, melainkan Rahmani30.

Rahmani30 adalah sekolah bimbingan gratis untuk murid Muslim tidak mampu yang didirikan tahun 2008 oleh Maulana Wali Rahmani, mantan politisi dan akademisi yang beragama Islam.

Rahmani30 kini membimbing 850 siswa dan siswi di tiga kota, termasuk Patna, ibu kota Bihar. Murid-murid terpilih tinggal di bangunan-bangunan sewaan sekolah dan belajar dengan sungguh-sungguh supaya lulus ujian saringan masuk di bidang teknik, medis, dan akuntansi.

Kebanyakan dari mereka adalah generasi pertama di keluarga mereka yang menempuh pendidikan tinggi. Orang tua mereka antara lain pedagang buah, petani, buruh kasar, dan kuli bangunan.

Sekitar 600 dari alumni Rahmani30 sudah bekerja sebagai insinyur peranti lunak, akuntan, dan profesi lainnya. Enam di antaranya menjadi dokter.

Tahun depan, Arzoo dan lebih dari dua juta orang kompetitor – jumlahnya bisa lebih dari itu – akan bersaing merebut sekitar 100.000 kursi di 707 kampus kedokteran di India yang ditawarkan setiap tahunnya.

“Saya siap menghadapi tantangan ini. Saya ingin menjadi ahli ginekologi,” ujar Arzoo.

Mohammed Shakir memandang pendidikan di Rahmani30 adalah tiket untuk mendapat kehidupan yang lebih baik. Dia ingin bisa membantu keluarganya yang kesusahan.

April lalu, remaja 15 tahun ini bersama temannya naik bus dalam perjalanan enam jam menuju Patna. Dalam perjalanan, mereka melewati sebuah distrik yang rusuh dipicu prosesi festival Hindu. Shakir dan temannya bertahan hidup dengan sebotol air dan beberapa butir kurma dan menginap semalam sebuah masjid.

Pagi harinya, keduanya ikut ujian masuk Rahmani30 dan lulus.

“Orang tua saya takut sekali. Jangan pergi, mereka bilang. Saya katakan kepada mereka, ‘Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Mau dibawa ke mana masa depan saya kalau tidak pergi?’” ujar Shakir.

Remaja laki-laki ini bermimpi menjadi ilmuwan komputer – ketakutan akan ketegangan lintas-agama seolah tidak menjadi kekhawatiran besar baginya.

“Saya bilang ke Ibu saya bahwa saya akan kembali begitu lulus ujian. Tidak akan ada sesuatu yang terjadi dalam perjalanan. Lagi pula, kenapa harus takut? Di desa saya, orang Hindu dan Muslim hidup berdampingan secara damai.”

Jadi bagaimana dengan masa depan umat Islam di India – yang juga dipisahkan kelas, sekte, dan garis keagamaan?

Salam menyoroti perasaan “ketakutan yang berkepanjangan”.

“Orang-orang bicara tentang kurangnya lapangan pekerjaan dan inflasi untuk komunitas Muslim. Tapi ini bukan cuma soal inflasi dan pekerjaan, melainkan tentang hak untuk hidup.”

Memoar-memoar dari anak-anak muda Muslim berbicara tentang ketakutan serupa.

“Hampir semua orang sudah memilih negara mana yang akan menjadi tempat mereka kabur kalau terjadi hal yang tak diinginkan. Beberapa mulai menjalin hubungan dengan paman-paman mereka di Kanada, AS, Turki, atau Inggris. Ini untuk berjaga-jaga kalau mereka perlu mencari suaka.

"Bahkan untuk seseorang seperti saya, yang merasa aman bahkan saat terjadi kekerasan di masyarakat, jadinya mengkhawatirkan masa depan keluarga saya di tanah air,” ujar Zeyad Masroor Khan dalam bukunya City on Fire: A Boyhood in Aligarh (Kota dalam Api: Masa Kecil di Aligarh).

Di Agra, Reema Ahmad juga merasakan ketidakpastian akan masa depan.

“Pada awalnya saya mengira ini [provokasi terhadap Muslim] cuma dari kelompok pinggiran dan akan hilang sendiri Itu 10 tahun yang lalu. Sekarang saya merasakan banyak yang sudah rusak dan selamanya hilang."

Semua foto dilindungi hak cipta.

Baca juga:

  • Teori memurtadkan perempuan Muslim lewat asmara: Tren online di India yang berujung konflik
  • Sejarah Kuil Rama di Ayodhya yang dibangun setelah umat Hindu merobohkan masjid berusia 500 tahun
  • Kampung mayoritas Muslim di India habis dilindas buldoser

Baca juga:

  • Kesaksian warga Muslim di India yang jadi sasaran kelompok perusuh
  • Dua pria Muslim bunuh pemuda Hindu di India yang diduga dukung pernyataan kontroversial terkait Nabi Muhammad
  • Muslim di India: Keluarga korban yang dibunuh massa hidup di tengah ketakutan

Baca juga:

  • Di balik kebangkitan musik bertema anti-Muslim yang kian populer di India
  • Kekerasan anti-Muslim merebak di India setelah umat Hindu diserang di Bangladesh
  • Muslim India di Uttar Pradesh: 'Kami merasa diperlakukan seperti kambing kurban'

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow