Ketakutan, amarah dan kemenangan: Enam jam yang mengguncang Korea Selatan
Hwang, pemuda berusia 19 tahun di Korsel, sedang menyimak aksi demonstrasi warga Georgia di layar televisi pada Selasa (03/12) malam, saat tiba-tiba tayangan berubah menampilkan kondisi genting yang terjadi di negaranya saat Presiden Yoon Suk Yeol mengumumkan darurat militer.
“Saya tak percaya dengan apa yang saya lihat,” kata Hwang, seorang pelajar yang meminta nama lengkapnya tidak dipublikasikan.
Keesokan harinya, tepatnya Rabu (04/12) siang, Hwang yang masih terkejut dengan perubahan drastis di negerinya, menjadi bagian dari demonstrasi memprotes kebijakan darurat militer di depan gedung Majelis Nasional.
“Penting bagi saya untuk hadir di sini untuk menunjukkan kami menentang apa yang sedang dilakukan Presiden Yoon,” katanya.
Kurang dari enam jam, Presiden Yoon Suk Yeol dipaksa untuk mencabut darurat militer, setelah anggota parlemen melakukan pemungutan suara darurat untuk membatalkan pemberlakuan darurat militer tersebut.
Itu adalah enam jam berisi kekacauan, demonstrasi, ketakutan, dan ketidakpastian di negeri yang membawa Presiden Yoon ke tampuk kekuasaan tertinggi Korea Selatan.
Pengumuman darurat militer
Selasa (03/12), tepat pukul 23.00 waktu setempat, Presiden Yoon yang tampak duduk di depan tirai berwarna biru, membacakan pidato yang mengejutkan warga Korea Selatan.
Ia mengumumkan pemberlakuan darurat militer dengan dalih melindungi negara dari kekuatan “anti-negara” yang bersimpati pada Korea Utara.
Kebijakan ini diumumkan Presiden Yoon yang tengah berjuang menghadapi kebuntuan legislasi rancangan undang-undang anggaran negara dan upaya penyelidikan terhadap anggota kabinetnya.
Pengumuman ini memantik kegaduhan semalam suntuk di Seoul, ibu kota negeri itu.
Tak lama berselang setelah dekrit darurat militer, polisi mulai memasang gerbang metal berwarna putih di luar gedung Majelis Nasional yang berlokasi di jantung Seoul—gedung yang selama ini digambarkan sebagai “simbol demokrasi Korea” oleh instansi pariwisata negeri tersebut.
Militer kemudian mengumumkan semua aktivitas parlemen dihentikan sebagai bagian dari pemberlakuan darurat militer.
Akan tetapi, pengumuman penerapan darurat militer militer dan pengerahan aparat keamanan tidak menghentikan ribuan orang berkumpul di depan gedung tersebut dalam marah dan keprihatinan.
Kondisi ini mengingatkan pada era lampau. Sebagai negara yang kini menerapkan demokrasi secara penuh, Korea Selatan sebenarnya baru lepas dari bawah rezim otoriter pada 1987. Darurat militer terakhir kali diberlakukan negara ini pada 1979.
Apa yang terjadi saat ini adalah “gerakan yang tak pernah saya bayangkan akan terjadi di Korea Selatan pada abad ke-21,” kata seorang pelajar, Juye Hong, kepada BBC World Service.
Upaya perlawanan
Tak lama setelah darurat militer diumumkan Presiden Yoon, pimpinan oposisi dari Partai Demokrat, Lee Jae-myung, menayangkan siaran langsung lewat Instagram, meminta rakyat untuk hadir di gedung Majelis Nasional dan menggelar demonstrasi di sana.
Ia juga meminta koleganya, sesama anggota parlemen untuk hadir di gedung Majelis Nasional guna menolak pemberlakuan darurat militer.
Ratusan warga merespons ajakan itu.
Ketegangan meruyak seiring warga yang mengenakan mantel musim dingin berdatangan dan berupaya menembus barisan polisi berjaket neon.
“Tolak darurat militer,” seru para peserta aksi.
Kendaraan-kendaraan yang membawa personel militer dihadang oleh kerumunan orang. Seorang perempuan berbaring di antara roda-roda kendaraan militer, menantang kehadiran tentara di sana.
Namun kondisi itu, begitu kontras dengan kondisi bagian Seoul lainnya, yang terkesan normal, meski kebingungan menggelayut.
“Jalan-jalan tampak normal, orang-orang di sini jelas kebingungan,” kata John Nilsson-Wright, seorang profesor di Universitas Cambridge, kepada BBC World Service, dari Seoul.
John mengatakan seorang polisi sempat berbincang dengannya “sama bingungnya dengan saya”.
Bagi sebagian orang, momen pergolakan itu adalah malam yang panjang.
“Awalnya saya senang karena tahu saya tidak perlu pergi ke sekolah hari ini,” kata seorang remaja berusia 15 tahun kepada BBC di Seoul, Rabu (04/12).
“Tapi kemudian rasa takut yang amat sangat hinggap, dan membuat saya terjaga sepanjang malam.”
“Tak ada kata yang mampu menggambarkan rasa takut saya, bahwa kejadian ini mungkin mengubah kami menjadi seperti Korea Utara,” kata seorang warga yang enggan diungkap identitasnya kepada BBC.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Sementara itu, kabar bahwa pasukan khusus telah dikerahkan ke gedung parlemen mulai menyebar. Suara helikopter terdengar mengitari langit sebelum mendarat di atap gedung parlemen.
Para wartawan berdesakan di antara kerumunan di luar gerbang, sambil mengambil gambar dengan kamera.
Kekhawatiran soal potensi pembatasan kerja media membuat para wartawan di Seoul tetap berhubungan satu sama lain sambil bertukar saran tentang cara untuk tetap aman.
Sementara itu, Ahn Gwi-ryeong, juru bicara berusia 35 tahun dari Partai Demokrat oposisi berhadapan dengan tentara di bawah todongan senjata. Aksinya menarik laras senapan seorang tentara tersorot kamera dan kemudian viral di dunia maya.
“Saya tidak memikirkan hal-hal yang intelektual atau rasional, saya hanya berpikir, ‘Kami harus menghentikan ini, jika kami tidak menghentikannya, tidak ada yang lain,” ungkapnya kepada BBC.
“Sejujurnya, saya agak takut pada awalnya ketika pertama kali melihat pasukan darurat militer. Saya berpikir, ‘Apakah ini sesuatu yang bisa terjadi di Korea pada abad ke-21, terutama di Majelis Nasional?”
“Setelah badai malam itu, sulit untuk kembali ke kenyataan,” tambahnya.
“Saya merasa seperti menyaksikan kemunduran sejarah.”
Saat Ahn berhadapan dengan para tentara, waktu terus mengejar anggota parlemen oposisi, yang bergegas masuk ke gedung untuk membuat keputusan penjegalan perintah darurat militer. Keputusan Majelis Nasional diketahui mampu membatalkan perintah darurat militer.
Namun, anggota parlemen dan para pembantunya harus masuk ke dalam. Beberapa dari mereka merangkak melewati kaki pasukan keamanan. Sementara yang lain mendorong dan berteriak kepada tentara bersenjata.
Kepanikan melanda, banyak dari anggota Majelis Nasional yang terpaksa masuk dengan memanjat pagar dan tembok.
Hong Kee-won dari Partai Demokrat mengatakan kepada BBC bahwa dirinya harus memanjat pagar setinggi 1,5m untuk memasuki gedung.
Ia juga sempat dicegat polisi meski sudah menunjukkan identitas yang membuktikan bahwa ia adalah anggota parlemen.
Hong bilang para pengunjuk rasa membantu mengangkat tubuhnya melewati tembok.
Dia mengaku sedang terlelap tidur saat Yoon mengumumkan darurat militer—saat istrinya membangunkannya, dia langsung bergegas ke gedung parlemen.
“Demokrasi kuat di sini,” kata Hong.
“Militer perlu mendengarkan kami, konstitusi, dan bukan presiden.”
Pemungutan suara
Para anggota parlemen yang berhasil masuk ke gedung itu berkerumun. Suasana terasa sedikit lebih tenang daripada kondisi di luar.
Dengan tergesa, mereka membarikade pintu masuk dengan apa pun yang dapat mereka temukan: bangku empuk, meja panjang, sofa.
Beberapa mencoba memukul mundur tentara yang berhasil masuk ke gedung pertemuan.
Pada pukul 01.00 waktu setempat, Ketua Majelis Nasional Woo Won-sik mengajukan resolusi agar darurat militer dicabut.
Dengan itu, kurang dari dua jam setelah pengumuman mendadak Yoon, 190 anggota parlemen yang berkumpul—termasuk beberapa orang dari partai Yoon—memberikan suara bulat untuk memblokir darurat militer.
Setelah pemungutan suara, pemimpin oposisi Lee mengatakan kepada wartawan bahwa ini adalah “kesempatan yang menentukan untuk memutus lingkaran setan dan kembali ke masyarakat normal”.
Pada pukul 04:30, Yoon kembali tampil di televisi, di depan tirai biru yang sama, dan mengatakan bahwa ia akan mencabut darurat militer.
Namun, ia mengatakan pembatalan baru sah ketika ia dapat mengumpulkan cukup banyak anggota kabinetnya untuk mencabut perintah tersebut.
Pengumuman itu disambut dengan sorak-sorai di luar gedung. Beberapa jam sebelum fajar, lebih banyak orang keluar dari gedung, dari balik barikade yang mereka porak porandakan.
Gedung megah itu menanggung kerusakan, dengan lubang di pintu dan jendela yang pecah, sebagai bagian dari upaya warga Korea Selatan yang berusaha menyelamatkan demokrasi.
Aktivitas di sekolah, tempat usaha, dan bank berjalan seperti biasa pada Rabu (04/12) pagi, sementara pesawat-pesawat terus mendarat tanpa gangguan di ibu kota Korea Selatan yang ramai.
Namun, kemarahan publik—dan dampak politiknya—belum mereda.
Saat matahari terbit pada Rabu, ribuan orang berkumpul mendesak Yoon mundur. Ia juga terjerat upaya pemakzulan.
“Kami adalah negara demokrasi yang kuat… Tetapi rakyat Korea ingin aman—Presiden Yoon harus mengundurkan diri atau dimakzulkan,” kata Yang Bu-nam, seorang politikus Partai Demokrat, kepada BBC.
Baca juga:
- Polisi selidiki Presiden Yoon terkait skandal darurat militer, apa yang akan terjadi selanjutnya di Korsel?
- ‘Kami harus menghentikannya’ – Kesaksian perempuan yang merebut senjata tentara dan menjadi simbol penolakan darurat militer Korsel
- Presiden Korsel mengumumkan darurat militer lalu mencabutnya – Politisi oposisi mulai proses pemakzulan, demonstran serukan penangkapan presiden