Pendaki Temukan Dunia yang Hilang 280 Juta Tahun di Pegunungan Alpen, Apa Isinya?
KOMPAS.com – Seorang pendaki Pegunungan Alpen yang membentang di Eropa tidak sengaja menemukan dunia hilang berusia 280 juta tahun.
Claudia Steffensen, pendaki asal Lovero, Provinsi Sondrio, Italia itu menemukan pecahan ekosistem lengkap dengan jejak kaki, fosil tanaman, dan bahkan jejak tetesan air hujan.
Steffensen sedang berjalan di belakang suaminya di Taman Pegunungan Valtellina Orobie di Lombardy, Italia, pada 2023.
Saat itu, tanpa sengaja kakinya menginjak sebuah batu yang tampak seperti lempengan semen.
“Saya kemudian melihat desain melingkar aneh dengan garis bergelombang. Saya melihat lebih dekat dan menyadari bahwa itu adalah jejak kaki,” ujarnya, dikutip dari The Guardian, Kamis (14/11/2024).
Para ilmuwan menganalisis batu tersebut dan menemukan bahwa jejak kaki yang tampak adalah milik reptil prasejarah.
Penemuan ini pun menimbulkan pertanyaan tentang petunjuk apa lagi yang mungkin tersembunyi di dataran tinggi Alpen.
Baca juga: Swiss dan Italia Terpaksa Ubah Batas Wilayah di Pegunungan Alpen, Apa Sebabnya?
Temuan dunia hilang di Pegunungan Alpen
Para ahli kemudian mengunjungi tempat penemuan beberapa kali dan mendapati bukti adanya ekosistem utuh yang berasal dari Periode Permian, sekitar 299 juta hingga 252 juta tahun lalu.
Periode Permian adalah sebuah periode geologi yang ditandai oleh iklim yang menghangat dengan cepat.
Zaman ini berakhir dengan peristiwa “The Great Dying” atau “Kematian Besar”, sebuah kepunahan massal terbesar di dunia, yang memusnahkan 90 persen spesies di Bumi.
Jejak ekosistem pada batu di Pegunungan Alpen terdiri dari jejak kaki fosil reptil, amfibi, serangga, dan artropoda.
Di samping jejak-jejak ini, para peneliti menemukan jejak kuno benih, daun, dan batang, serta bekas tetesan air hujan dan ombak yang mengempas tepi danau prasejarah.
Bukti dari ekosistem purba itu ditemukan hingga ketinggian 3.000 meter di pegunungan dan di dasar lembah.
Di tempat tersebut, menurut peneliti, tanah longsor telah mengendapkan bebatuan yang mengandung fosil selama ribuan tahun.
Baca juga: Fosil Reptil Tertua di Dunia Ditemukan di Brasil, Bisa Ungkap Awal Kemunculan Dinosaurus
Ekosistem pada permukaan batu terpelihara dengan baik
Paleontolog di University of Pavia di Italia, Ausonio Ronchi, yang meneliti fosil-fosil tersebut menyampaikan, ekosistem yang terekam dalam batu pasir berbutir halus itu terpelihara dengan sangat baik berkat kedekatannya dengan air di masa lalu.
“Jejak-jejak itu terbentuk saat batu pasir dan serpih ini masih berupa pasir dan lumpur yang terendam air di tepi sungai dan danau, yang secara berkala, sesuai musim, mengering,” kata Ronchi, dilansir dari Live Science, Selasa (19/11/2024).
Ronchi menjelaskan, sinar matahari musim panas yang mengeringkan permukaan batu, membantu mengeraskan jejak, sehingga tidak terhapus oleh air.
Sebaliknya, kondisi itu justru menutupi jejak dengan tanah liat baru yang seolah membentuk lapisan pelindung.
Butiran halus pasir dan lumpur ini turut mengawetkan detail-detail terkecil, termasuk bekas cakaran dan pola dari bagian bawah perut hewan.
Para peneliti mengatakan jejak-jejak yang ditemukan berasal dari sedikitnya lima spesies hewan berbeda.
Beberapa di antaranya, mungkin telah mencapai ukuran komodo modern (Varanus komodoensis) yang dapat tumbuh antara 2 hingga 3 meter.
“Saat itu, dinosaurus belum ada, tetapi hewan yang bertanggung jawab atas jejak kaki terbesar yang ditemukan di sini pasti berukuran sangat besar,” kata Cristiano Dal Sasso, ahli paleontologi vertebrata di Museum Sejarah Alam Milan.
Menurut peneliti, fosil-fosil tersebut menawarkan jendela menuju sebuah dunia yang menarik tetapi telah lama menghilang.
Bahkan, penghuninya sudah lama punah pada akhir Periode Permian yang dipicu oleh peningkatan suhu secara tiba-tiba.
Peneliti menyebut, ada banyak jejak prasejarah yang akan tetap tersembunyi jika bukan karena perubahan iklim.
Sebab, perubahan iklim yang berlangsung saat ini dengan cepat mengurangi lapisan es dan salju di Pegunungan Alpen, sehingga menampakkan bekas-bekas dunia yang hilang.
“Masa lalu memiliki banyak hal untuk diajarkan kepada kita tentang risiko yang akan kita hadapi di dunia saat ini,” ungkap peneliti.