Ekonom Sebut Masyarakat Tidak Siap dan Terbebani PPN Naik Jadi 12 Persen
KOMPAS.com – Ekonom Center of Economic and Law Studies Nailul Huda mengatakan, penerapan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 membuat masyarakat tidak siap dan terbebani.
Keputusan pemerintah PPN naik dari 11 persen menjadi 12 persen dikonfirmasi Menteri Keuangan Sri Mulyani saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR pada Rabu (13/11/2024).
Sri Mulyani menyebut, kenaikan PPN menjadi 12 persen sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Baca juga: Saat Pemerintah Targetkan Harga Tiket Pesawat Turun, tapi Bakal Naik Imbas PPN 12 Persen…
PPN naik jadi 12 persen membebani masyarakat
Nailul menilai, penerapan PPN 12 persen berpotensi membebani rakyat karena terjadi pelemahan daya beli masyarakat.
Ia menjelaskan, pertumbuhan konsumsi masyarakat melambat di triwulan III 2024 dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,91 persen secara year on year.
Selain itu, data dari PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) juga menunjukkan, pelaku UMKM mengalami penurunan omzet hingga 60 persen pada tahun ini.
“Sedangkan secara quarter-to-quarter, konsumsi rumah tangga turun -0,48 persen. Kita mengalami deflasi lima bulan secara berturut-turut (Mei-September),” jelasnya Nailul kepada Kompas.com, Sabtu (16/11/2024).
Baca juga: Apa Itu PPN yang Bakal Naik Jadi 12 Persen Mulai 1 Januari 2025?
Kenaikan PPN jadi 12 persen sebaiknya dibatalkan
Karena dinilai membebani masyarakat, Nailul meminta pemerintah untuk membatalkan kenaikan PPN menjadi 12 persen pada tahun depan.
Menurutnya, selama ini daya beli tergerus karena ada kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengurangi pendapatan disposibel masyarakat.
Adapun, pendapatan disposibel adalah jumlah uang yang tersisa setelah dipotong pajak dari pendapatan total seseorang.
Nailul menjelaskan, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite hingga tarif PPN dari 10 persen ke 11 persen pada 2022 sudah membuat pendapatan disposibel masyarakat berkurang.
“Segala pengeluaran akan meningkat secara harga, mulai dari layanan digital (Netflix) hingga barang-barang lainnya,” imbuhnya.
Namun, ada beberapa kategori barang yang tidak terkena imbas kenaikan PPN, di antaranya bahan pokok, pendidikan, dan kesehatan.
“Bisa dikatakan masyarakat tidak siap,” kata Nailul.
Baca juga: Berlaku 2025, Ini Daftar Barang yang Kena dan Tidak Kena PPN 12 Persen
Alternatif menambah penerimaan negara selain menaikkan PPN
Nailul mengatakan, pemerintah sebenarnya memiliki alternatif lain untuk menggenjot penerimaan negara tanpa harus menaikkan PPN menjadi 12 persen.
Ia menilai, pemerintah bisa menjalankan pajak karbon yang tidak kunjung diimplementasikan sejak 2022.
Selain itu, untuk menambal defisit anggaran yang melebar, pemerintah juga bisa memanfaatkan pos penerimaan lain yang belum tergarap, yaitu penerimaan negara sektor tambang yang masih banyak ilegal.
“Hasyim pernah menyampaikan ada Rp 300 triliun dari pengemplang pajak, kenapa hal itu tidak didahulukan? Alih-alih menaikkan tarif PPN,” ungkap Nailul.
“Atas dasar tersebut, kenaikan tarif PPN di tahun 2025 wajib dibatalkan,” tambahnya.
Baca juga: PPN Tetap Naik Jadi 12 Persen mulai 1 Januari 2025, Apa Alasannya?
Benarkah PPN Indonesia masih rendah?
Sebelum PPN diputuskan naik, Sri Mulyani sempat berujar bahwa besaran PPN di Indonesia terbilang rendah dibandingkan dengan negara maju lainnya.
Dilansir dari Antara, Selasa (22/10/2024), rata-rata PPN seluruh dunia, termasuk negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), mencapai 15 persen.
Terkait pernyataan Sri Mulyani, Nailul mengatakan, negara yang tergabung dalam OECD memang menerapkan tarif PPN cukup tinggi dibandingkan Indonesia.
Namun, masih ada negara yang menerapkan PPN lebih rendah, yaitu Kanada.
Selain OECD, Singapura yang merupakan negara tetangga Indonesia juga memiliki tarif PPN lebih rendah, yaitu 7 persen.
“Pemerintah punya peluang untuk membuat tarif PPN yang tidak membebani masyarakat lebih dalam. Pemerintah punya kesempatan meringankan beban masyarakat,” tandas Nailul.
“Namun pemerintah justru menambah beban yang dipikul oleh masyarakat. Pada akhirnya masyarakat yang membantu meringankan masyarakat,” pungkasnya.
Baca juga: Kenaikan Tarif PPN Jadi 12 Persen, Ekonom Ungkap Dampaknya terhadap Masyarakat