Informasi Terpercaya Masa Kini

Fenomena “Soft Quitting” pada Gen-Z dan Milenial: Apa Penyebabnya?

0 2

Fenomena “soft quitting” atau sering disebut juga dengan “quiet quitting” tengah menjadi topik hangat di dunia kerja, khususnya di kalangan Generasi Z dan Milenial.

Istilah ini merujuk pada kecenderungan para pekerja yang hanya bekerja sesuai dengan tugas pokok dan tidak menunjukkan usaha berlebih atau inisiatif yang seringkali diharapkan oleh perusahaan.

Mereka memilih untuk bekerja sebatas jam kerja resmi, menolak melakukan pekerjaan tambahan, dan fokus pada keseimbangan hidup. Namun, apa sebenarnya penyebab fenomena ini? Mari kita telusuri lebih lanjut.

Apa Itu Soft Quitting?

“Soft quitting” bukanlah tindakan berhenti kerja secara harfiah. Sebaliknya, istilah ini menggambarkan sikap seseorang yang tidak lagi mau “melebihi ekspektasi” dalam pekerjaan mereka.

Mereka datang, menyelesaikan tugas yang diperlukan, tetapi tidak lagi menawarkan waktu atau energi ekstra untuk hal-hal di luar tugas pokok. Sikap ini tidak berarti mereka kurang profesional, melainkan mereka hanya tidak bersedia “berkorban” melebihi apa yang tercantum dalam deskripsi pekerjaan mereka.

Fenomena ini bukan sekadar bentuk ketidakpuasan individu. Lebih dari itu, soft quitting mencerminkan perubahan besar dalam ekspektasi dunia kerja, terutama pada generasi muda seperti Generasi Z dan Milenial yang kian menuntut keseimbangan hidup dan kebahagiaan pribadi.

Mengapa Generasi Z dan Milenial Rentan Terhadap Soft Quitting?

Beberapa faktor yang mendasari tren ini di kalangan Generasi Z dan Milenial adalah sebagai berikut:

1. Keinginan untuk Keseimbangan Hidup dan Kerja (Work-Life Balance)

Generasi Z dan Milenial sangat menghargai waktu pribadi mereka. Mereka tumbuh di era digital yang serba cepat dan cenderung lebih paham tentang pentingnya keseimbangan hidup. Bagi generasi ini, bekerja secara berlebihan bukanlah sesuatu yang diidamkan, melainkan lebih dianggap sebagai beban.

Keinginan untuk menjaga kesehatan mental dan menghindari stres membuat mereka lebih memilih soft quitting sebagai cara untuk mempertahankan keseimbangan hidup.

Fakta menarik: Penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 70% Generasi Z menganggap keseimbangan hidup sebagai faktor penting dalam memilih pekerjaan, dan mereka cenderung menolak pekerjaan yang mengganggu waktu pribadi mereka.

2. Pandangan terhadap Budaya Kerja Tradisional

Budaya kerja yang menuntut dedikasi penuh dari karyawan dan cenderung mengagungkan lembur sudah mulai ditinggalkan oleh Generasi Z dan Milenial. Mereka menginginkan kebebasan dan fleksibilitas dalam bekerja.

Budaya kerja yang mengedepankan hasil, bukan sekadar jam kerja panjang, lebih sesuai dengan nilai-nilai generasi ini. Karena itu, soft quitting sering kali merupakan bentuk protes terhadap budaya kerja yang dinilai kuno atau tidak adil.

3. Kekecewaan terhadap Sistem Kerja

Tidak sedikit yang merasa bahwa perusahaan tidak memberikan apresiasi atau penghargaan yang sesuai atas dedikasi mereka. Kekecewaan terhadap sistem kerja yang dirasa tidak adil, mulai dari ketidakjelasan karier hingga ketidakadilan dalam kompensasi, menjadi pemicu utama soft quitting.

Mereka merasa bahwa bekerja ekstra tidak selalu berbanding lurus dengan penghargaan atau kemajuan karier, sehingga mereka memilih untuk hanya bekerja “secukupnya.”

4. Krisis Identitas dan Makna dalam Bekerja

Generasi Z dan Milenial cenderung mencari makna dan tujuan dalam pekerjaan mereka. Mereka tidak hanya bekerja demi gaji semata, tetapi juga demi kepuasan diri dan dampak positif yang dapat mereka ciptakan.

Ketika mereka merasa bahwa pekerjaan mereka tidak memiliki dampak signifikan atau tidak sejalan dengan nilai-nilai pribadi, soft quitting menjadi salah satu cara untuk menghindari stres dan ketidakpuasan.

5. Kesehatan Mental sebagai Prioritas

Tingginya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental di kalangan Generasi Z dan Milenial membuat mereka enggan terjebak dalam pekerjaan yang merugikan kesejahteraan mental mereka.

Soft quitting menjadi cara bagi mereka untuk menjaga diri dari burnout atau kelelahan kerja yang berkepanjangan. Mereka percaya bahwa kualitas hidup tidak boleh dikorbankan hanya demi pekerjaan.

Dampak Soft Quitting pada Dunia Kerja

Fenomena ini membawa dampak besar pada perusahaan. Ketika karyawan memilih untuk hanya memenuhi standar minimum, hal ini berpotensi mengurangi produktivitas dan inovasi di lingkungan kerja.

Di sisi lain, fenomena ini juga menjadi pengingat bagi perusahaan untuk mempertimbangkan ulang ekspektasi dan nilai kerja mereka, serta menciptakan lingkungan yang lebih mendukung kesejahteraan karyawan.

Beberapa dampak yang mungkin terjadi akibat fenomena ini antara lain:

– Turunnya loyalitas karyawan:

Soft quitting bisa menjadi awal dari resign atau pindah ke perusahaan yang menawarkan keseimbangan kerja yang lebih baik.

– Berkurangnya inovasi dan kreativitas:

Saat karyawan hanya bekerja sesuai standar minimum, inisiatif untuk inovasi dapat menurun.

– Tantangan dalam manajemen:

Perusahaan perlu beradaptasi dengan gaya kerja generasi muda ini dan mencari cara untuk menciptakan lingkungan yang mendukung keseimbangan hidup.

Solusi bagi Perusahaan Menghadapi Soft Quitting

Untuk meredam fenomena ini, perusahaan dapat melakukan beberapa langkah berikut:

1. Membangun Lingkungan Kerja yang Mendukung Work-Life Balance

Perusahaan perlu mengadopsi sistem kerja yang fleksibel serta mengurangi budaya lembur yang berlebihan. Ini akan membantu karyawan menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.

2. Menyediakan Dukungan Kesehatan Mental

Menyediakan program kesehatan mental dan memastikan bahwa karyawan merasa didukung dalam menghadapi stres akan meningkatkan loyalitas mereka terhadap perusahaan.

3. Memberikan Pengakuan dan Apresiasi yang Adil

Apresiasi yang adil atas kontribusi karyawan sangat penting. Memberikan penghargaan atau bonus dapat menjadi salah satu cara efektif untuk memotivasi mereka bekerja lebih baik.

4. Fokus pada Pengembangan Karier Karyawan

Perusahaan sebaiknya memberikan jalur karier yang jelas serta kesempatan pengembangan diri yang sesuai dengan aspirasi karyawan, sehingga mereka merasa termotivasi untuk tetap bekerja dan berkontribusi lebih.

Fenomena soft quitting pada Generasi Z dan Milenial merupakan cerminan dari perubahan ekspektasi di dunia kerja. Mereka tidak lagi melihat pekerjaan sebagai pusat kehidupan mereka, melainkan sebagai bagian yang harus seimbang dengan aspek hidup lainnya.

Untuk mengatasi fenomena ini, perusahaan perlu beradaptasi dengan harapan dan nilai generasi muda yang lebih menekankan keseimbangan hidup, kesehatan mental, dan apresiasi yang adil.

Perubahan ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi perusahaan untuk memperbaiki budaya kerja. Dengan memahami akar masalah soft quitting, diharapkan perusahaan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif dan mendukung kesejahteraan karyawan, yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas dan kepuasan kerja secara keseluruhan.

Leave a comment