Pengusaha Elektronik Pesimistis China Relokasi Pabrik ke RI
Bisnis.com, JAKARTA – Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) menilai kecil kemungkinan China merelokasi industrinya ke Indonesia imbas perang dagang China dengan Amerika Serikat (AS), khususnya untuk produk elektronika dan alat rumah tangga listrik.
Sekjen Gabel Daniel Suhardiman mengatakan jika China membangun industri elektronik di Indonesia, fasilitas manufaktur tersebut hanya untuk memenuhi kebutuhan ekspor dan China itu sendiri.
“Jangan berpikir bahwa perang dagang dengan Amerika Serikat, lalu China akan pindah ke Indonesia, belum tentu, siapa yang lebih memilih mereka? Mungkin Vietnam,” kata Daniel kepada Bisnis, Selasa (12/11/2024).
Sementara, Indonesia hanya dilihat sebagai pasar. Daniel menyebut industri elektronik China tidak akan memindahkan atau membangun pabrik baru di Indonesia apabila pembatasan impor masih longgar.
Dengan demikian, saat ini investor memilih untuk impor barang jadi ke Indonesia dan menjadikan pasar saja. Padahal, industri dalam negeri sudah mampu memenuhi kebutuhan tanpa harus importasi.
“Kalau perusahaan China itu, dia sebisa mungkin tidak investasi di Indonesia kalau tidak ada namanya itu tarif non barrier atau hambatan teknik yang lain, mereka usahakan tetap barang jadi yang diekspor ke Indonesia,” jelasnya.
Baca Juga : : Lonjakan Produksi Tembaga China yang Mengancam Dunia
Lebih lanjut, Daniel menuturkan jika pemerintah memberlakukan hambatan mon tarif, produsen China baru akan menjajaki investasi untuk membangun fasilitas manufaktur elektronik di Indonesia.
“Itulah perilakunya produsen di China karena mereka bisa pilih. Mereka bisa investasi di Malaysia, di Vietnam. Apakah negara kita akan bersaing dengan Vietnam untuk investasi? Saya kok tidak yakin ya,” imbuhnya.
Baca Juga : : Rencana Stimulus China Mengecewakan Pasar, Harga Minyak Dunia Makin Lesu
Daniel menerangkan, saat ini industri lokal sangat tertekan dengan adanya relaksasi impor lewat Permendag 8/2024. Bahkan, utilitas produksi industri elektronik saat ini turun ke level 40% karena impor barang yang banjir di pasar domestik.
“Paling 40%, maksimal 50%. Kalau elektronika ya yang tertekan mesin cuci, lemari es, produk peralatan dapur yang kecil. Kipas angin, pompa air. ini banyak yg lolos [impor],” terangnya.
Sebelumnya, Moody’s Analytics kurang optimistis tentang peluang Indonesia. Ekonomi di Asia Tenggara yang diuntungkan oleh diversifikasi rantai pasok dari China adalah negara yang cenderung memiliki sektor manufaktur yang kuat, khususnya di bidang elektronik.
“Indonesia lebih berbasis komoditas, dan karena itu tidak akan mendapat banyak keuntungan dari pergeseran rantai pasok,” kata para ekonom Moody’s Analytics, Denise Cheok dan Jeemin Bang, dikutip dari Bloomberg.