Menelisik Larangan iPhone 16 di Indonesia, Salah Kaprah Kebijakan TKDN?
Simbol status sosial di dalam masyarakat mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Dulu, mungkin seseorang dianggap berada pada kelas sosial yang tinggi jika mampu memerkan kekayaannya hingga barang-barang mahalnya seperti tas branded hingga mobil mewahnya.
Memiliki sebuah smartphone saat ini bahkan bisa menggambarkan posisi status sosial seseorang di dalam masyarakat. Misalnya di Indonesia, produk smartphone keluaran Apple yaitu iPhone memiliki makna bahwa mereka yang memilikinya termasuk ke dalam kelompok sosial tinggi.
Maka tidak mengherankan jika banyak masyarakat Indonesia yang berlomba-lomba untuk mendapatkan produk ini hanya untuk sekadar agar dianggap berada pada kelas sosial yang tinggi di dalam masyarakat.
Kabar mengejutkan datang salah satu produk unggulan Apple tersebut yaitu berita soal larangan produk Apple iPhone 16 yang dilarang beredar di Indonesia. Pemerintah melarang iPhone 16 masuk ke Indonesia karena alasan produsennya yang belum memiliki sertifikat komponen dalam negeri atau TKDN yang baru.
Produk smartphone Apple sendiri merupakan salah satu merk yang dianggap cukup memiliki tempat di hati para konsumen Indonesia. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2023 jumlah pengguna ponsel merk Apple ini menempati urutan kelima yaitu sebesar 12,11% sebagai merk HP yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, berita larangan peredaran iPhone 16 sontak dengan cepat menuai kontroversi di kalangan masyarakat terlebih banyak dari mereka yang sudah menunggu produk keluaran terbaru dari Apple tersebut hadir di Indonesia.
Selain itu, banyak masyarakat yang menyerukan kritiknya terhadap kebijakan TKDN tersebut yang dianggap ‘salah kaprah’ dan tidak melihat konteks produk atau industri.
Ketentuan soal TKDN pada produk teknologi tinggi seperti Apple ini memang perlu dilakukan kajian lebih lanjut secara lebih berhati-hati agar value added yang diharapkan bagi negara dapat terwujud.
Menanggapi hal ini pemerintah memberikan fleksibilitas bagi perusahaan Apple dalam pemenuhan TKDN yaitu dengan skema manufaktur, skema aplikasi, dan skema inovasi.
Memang ketiga skema ini memiliki tujuan akhir untuk menciptakan peluang dan keuntungan dalam jangka panjang bagi Indonesia, namun alih-alih memperhatikan berbagai komponen di dalam skema ini pemerintah justru malah menciptakan kebijakan skema ini menjadi terkesan “kaku” bagi investor asing.
Menelisik lebih lanjut skema TKDN bagi perusahaan Apple
Menginginkan peluang dan keuntungan dalam jangka panjang untuk negara memanglah sebuah keharusan. Namun, terkadang kita hanya melihat tujuan akhir ini tanpa melihat jalan yang harus dilewati untuk mencapainya. Hal ini berlaku dalam investasi, di mana negara ingin mengambil berbagai potensi yang ada tetapi tidak menawarkan ‘kemudahan’ kepada para calon investornya.
Pemerintah telah merespon kontroversi dibalik larangan iPhone 16 berbedar di Indonesia dan memberikan tiga skema untuk perusahaan Apple agar memenuhi kebijakan TKDN. Pertama, skema manufaktur yang mana artinya pembuatan produk atau membangun pabrik di dalam negeri.
Skema ini dirasa yang paling memerlukan kajian lebih mendalam. Dalam contoh kasus Apple, pemerintah menekankan soal penggunaan komponen lokal. Di mana seharusnya jika negara ingin perusahaan teknologi tinggi seperti Apple membangun pabriknya di Indonesia, maka negara harus mampu memenuhi ‘kebutuhan’ yang memang dibutuhkan agar perusahaan bisa membangun pabriknya di Indonesia.
Sehingga, lebih baik jika dalam kebijakan penggunaan komponen lokal ini bisa dilakukan secara bertahap dan tidak langsung diberlakukan secara kaku dan ketat. Misalnya; negara dapat menciptakan fleksibilitas dalam impor komponen tertentu dan selanjutnya pemerintah bisa menerapkan sistem insentif yang bertahap dan meningkat.
Kedua, skema aplikasi di mana perusahaan mengembangkan aplikasinya di Indonesia. Skema ini seharusnya diterapkan jika perusahaan dalam bidang teknologi tinggi ini sudah mampu mendorong ekosistem teknologi digital secara keseluruhan bagi negara.
Artinya, dibandingkan kita befokus pada pengembangan aplikasi lebih baik perusahaan ini diarahkan untuk berinvestasi pada infrastruktur digital yang akan mendukung pertumbuhan teknologi dalam jangka panjang.
Dan yang terakhir adalah skema inovasi, di mana pemerintah ingin perusahaan dalam bidang teknologi tinggi ini mendirikan pusat inovasi dengan penanaman modal baru atau menyerahkan proporsal pengembangan inovasi untuk teknologi informasi dan komunikasi dalam negeri.
Skema ini dapat dikatakan cukup membingungkan, karena kita menginginkan perusahaan dalam bidang teknologi tinggi ini hadir di Indonesia tetapi kita tidak menyediakan ruang khusus dengan infrastruktur yang mendukung agar perusahaan-perusahaan tersebut dapat membangun pusat inovasinya di Indonesia.
Indonesia bisa mencontoh langkah negara Vietnam dengan mendirikan kawasan khusus untuk pusan R&D teknologi tinggi. Tidak hanya menyediakan infrastuktur dan fasilitas yang mendukung, menawarkan insentif pajak dalam jangka panjang juga menarik bagi para perusahaan yang bergerak dalam teknologi tinggi untuk mendirikan pusat inovasinya di Indonesia.
Apalagi jika ditambah dengan Indonesia bisa mempermudah urusan administrasi dan perizinan bagi para perusahaan dalam bidang teknologi tinggi ini untuk membangun pusat inovasinya, mungkin bisa membuat skema inovasi tersebut dapat menarik lebih banyak investor asing ke untuk melakukan ekspansi bisnisnya ke Indonesia.
Secara umum, ketiga skema TKDN ini memang menarik dan efektif dalam menggali potensi investasi asing dalam bidang teknologi tinggi. Tetapi, pemerintah juga perlu memperhatikan jalan dari proses untuk mencapai potensi tersebut.
Dengan tidak membuat kebijakan TKDN ini seolah menjadi kaku dan tidak fleksibel bagi investor, berfokus pada penyediaan infrastruktur digital dan ekosistem teknologi, serta memberikan dukungan untuk pusat R&D dan inovasi, dirasa perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut agar tujuan dalam menciptakan value added bagi negara dapat tercapai dengan baik.
Belajar dari kesuksesan Vietnam mengangget investor
Negara Vietnam menjadi salah satu negara di Asia Tenggara yang berhasil menarik investasi dalam bidang teknologi tinggi dengan berbagai kebijakan proaktifnya. Tidak hanya itu, Vietnam menawarkan berbagai win-win solution sehingga bukan hanya investor saja yang diuntungkan tetapi juga negara Vietnam itu sendiri.
Vietnam memberikan insentif berupa pengurangan atau pembebasan pajak bagi perusahaan asing yang berinvestasi besar, terutama pada industri yang bergerak di bidang teknologi tinggi, R&D, dan manufaktur. Untuk mendukung ini semua, pemerintah Vietnam juga memiliki kawasan ekonomi khusus yang dirancang untuk industri teknologi tinggi dan manufaktur.
Disini pemerintah Vietnam menawarkan mempermudah izin, menyediakan infrastuktur canggih, dan menawarkan berbagai insentif bagi perusahaan asing yang akan berinvestasi di negara tersebut.
Perusahaan yang berada di kawasan tersebut juga tidak diwajibkan untuk menggunakan komponen lokal, tetapi mereka dimotivasi untuk ‘mempekerjakan’ tenaga lokal dan melakukan produksi berkualitas tinggi. Hal ini kemudian yang secara tidak langsung dapat mengembangkan keterampilan dan ekonomi lokal.
Lebih lanjut lagi dibandingkan menentukan kompenen lokal, negara Vietnam justru lebih mengharuskan perusahaan asing untuk mengembangkan keterampilan tenaga kerja lokal dan melakukan transfer teknologi. Hal ini tidak hanya menciptakan lapangan pekerjaan yang berkualitas saja, tetapi juga membantu memperkuat kapablilitas teknologi lokal dalam jangka panjang.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa negara Vietnam tidak menerapkan keharusan dalam persentase komponen lokal tetapi mereka lebih berfokus dalam menciptakan strategi yang lebih menekankan pada ‘nilai tambah lokal’.
Artinya, dengan menawarkan berbagai kebijakan yang proaktif dan lebih fleksibel, mereka tidak hanya memberikan keuntungan bagi investor saja tetapi juga dapat menyasar ke tujuan akhir dalam meningkatkan keterampilan tenaga kerja lokal, transfer teknologi, dan pengembangan industri lokal dalam jangka panjang secara bersamaan.