Informasi Terpercaya Masa Kini

Peristiwa yang Mengakhiri Kekuasaan Dinasti Syailendra di Jawa Tengah, Benarkah Cuma Gunung Berapi?

0 5

Artikel ini secara garis besar akan membahas tentang peristiwa apa yang mengakhiri kekuasaan Dinasti Syailendra di Jawa Tengah.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

Intisari-Online.com – Meletusnya gunung berapi disinyalir sebagai peristiwa yang yang mengakhiri kekuasaan Dinasti Syailendra di Jawa Tengah. Apakah itu satu-satunya faktor?

Untuk sampai pada pembahasan itu, pertama-tama kita harus tahu periode kekuasaan Mataram Kuno. Periode ini membentang dari abad ke-8 hingga 11, awalnya di Jawa Tengah kemudian pindah ke Jawa Timur.

Mengutip Kompas.com, nKerajaan Mataram Kuno (beberapa pakar menyebutnya Medang) merupakan salah satu kerajaan Hindu-Buddha terbesar di Nusantara yang pernah berdiri antara abad ke-8 hingga abad ke-11.

Selama berdiri, pusat pemerintahan kerajaan ini sempat beberapa kali dipindahkan. Pada awalnya, ibu kota Mataram Kuno berpindah-pindah di sekitar Yogyakarta dan Jawa Tengah. Kemudian pada abad ke-10, Mpu Sindok mendirikan Dinasti Isyana dan memindahkan pusat pemerintahan Mataram Kuno ke Jawa Timur.

Sebelum dipindahkan ke Jawa Timur akibat adanya peristiwa besar, Mataram Kuno diperintah oleh keturunan Dinasti Syailendra. Lalu peristiwa apa yang mengakhiri kekuasaan Dinasti Syailendra di Jawa Tengah?

Letusan Gunung Merapi

Peristiwa yang mengakhiri kekuasaan Dinasti Syailendra di Jawa Tengah adalah letusan Gunung Merapi. Rakai Sumba Dyah Wawa merupakan raja terakhir Kerajaan Mataram Kuno periode Jawa Tengah.

Dari sejumlah prasasti peninggalan Kerajaan Mataram Kuno, diketahui bahwa masa pemerintahan Dyah Wawa berakhir dengan tiba-tiba, mungkin karena letusan Gunung Merapi. Menurut RW van Bemmelen, letusan itu sangat dahsyat yang tentunya disertai gempa bumi, banjir lahar, dan hujan abu serta batu-batuan.

Bencana alam itu mungkin merusak ibu kota Mataram Kuno dan banyak daerah di Jawa Tengah. Akibatnya, kerabat dan pejabat tinggi kerajaan serta rakyat, banyak yang menyelamatkan diri ke arah timur.

Pada 929, Mpu Sindok memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno ke Jawa Timur. Dia diketahui menjabat sebagai Rakai Mahamantri Halu selama masa pemerintahan Dyah Tulodhong (919-924).

Kemudian, ketika Dyah Wawa (924-929) berkuasa, dia naik pangkat menjadi Rakai Mahamantri Hino. Kedua jabatan yang didudukinya itu adalah posisi yang hanya dapat diisi oleh kerabat dekat raja.

Atas dasar itulah, Mpu Sindok disimpulkan masih keturunan Wangsa Syailendra yang memindahkan pusat pemerintahan Mataram Kuno ke Jawa Timur karena istana di Jawa Tengah hancur akibat letusan Gunung Merapi.

Menurut para pujangga, letusan Gunung Merapi saat itu dianggap sebagai pralaya atau kehancuran dunia, dan sesuai landasan kosmogonis maka harus dibangun kerajaan baru yang diperintah wangsa baru pula.

Oleh karena itu, selain memindahkan kerajaan, Mpu Sindok juga mendirikan wangsa baru, yaitu Dinasti Isyana, meski ia masih keturunan Dinasti Syailendra.

Mpu Sindok kemudian dinobatkan sebagai raja pertama dari Dinasti Isyana. Setelah pusat pemerintahannya dipindah ke Jawa Timur, Mataram Kuno sering disebut sebagai Kerajaan Medang. Menurut keterangan Prasasti Turyan, ibu kota pertama Mataram Kuno periode Jawa Timur berada di Tamwlang, daerah yang saat ini berada di sekitar Jombang.

Selain letusan Gunung Merapi, sejarawan juga memperkirakan beberapa alasan yang menyebabkan perpindahan ibu kota Mataram Kuno, seperti faktor politik dan adanya ancaman dari kerajaan lain, misalnya Kerajaan Sriwijaya.

Faktor lain

Selain bencana alam, ada juga faktor internal yang menyebabkan runtuhnya Kerajaan Mataram Kuno adalah perebutan kekuasaan di antara para keturunan raja-raja.

Kerajaan Mataram Kuno terdiri dari dua dinasti besar, yaitu Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra. Dinasti Sanjaya menganut agama Hindu, sedangkan Dinasti Syailendra menganut agama Buddha. Kedua dinasti ini sering bersaing dan saling menyerang untuk merebut tahta kerajaan.

Konflik ini memuncak pada masa pemerintahan Raja Balitung (898-910 M), yang merupakan keturunan Dinasti Sanjaya. Raja Balitung mengusir para pendeta Buddha dari istana dan mencoba mengembalikan pengaruh Hindu di kerajaan.

Serangan Sriwijaya

Yang juga harus dibahas adalah serangan Kerajaan Sriwijaya, yang puncaknya terjadi pada saat peristiwa Pralaya Medang ketika Mataram diperintah oleh Raja Dharmawangsa Teguh, yang berkuasa antara 985-1017.

Yang dimaksud dengan pralaya adalah kehancuran dunia, karena konon katanya peristiwa ini menewaskan banyak pembesar kerajaan hingga membuat Pulau Jawa bagai lautan darah. Sejarawan menyebut Pralaya Medang disebabkan oleh keputusan Raja Dharmawangsa Teguh untuk menikahkan putrinya dengan Airlangga, pangeran keturunan Bali yang juga masih keponakan raja sendiri.

Raja Wurawari, yang berambisi menikahi putri Raja Dharmawangsa Teguh agar dapat mewarisi takhta kerajaan pun kecewa. Wurawari adalah penguasa kerajaan kecil yang masih menjadi bawahan Mataram Kuno.

Raja Wurawari kemudian melampiaskan kekecewaannya dengan bersekutu dengan Kerajaan Sriwijaya, yang sebelumnya pernah diserang oleh Raja Dharmawangsa Teguh. Dengan bantuan Kerajaan Sriwijaya, Raja Wurawari dari Lwaram berani melancarkan serbuan untuk menghancurkan Kerajaan Mataram Kuno.

Sebagaimana tertulis pada Prasati Pucangan, Pralaya Medang terjadi setelah dilangsungkannya pernikahan antara Airlangga dengan putri Raja Dharmawangsa Teguh. Ibu kota Kerajaan Medang yang terletak di Watan (sekitar Madiun sekarang) tiba-tiba diserbu dan dibakar oleh Raja Wurawari.

Serangan mendadak ini tentunya tidak pernah diperhitungkan oleh Raja Dharmawangsa Teguh. Selain karena istana sedang mengadakan pesta perkawinan, Raja Wurawari adalah bawahannya sendiri.

Pada peristiwa yang dikenal sebagai Pralaya Medang ini, banyak pembesar kerajaan yang tewas, termasuk di antaranya Raja Dharmawangsa Teguh dan putrinya. Setelah Kerajaan Medang hancur menjadi abu dan hampir seluruh keluarga Raja Dharmawangsa Teguh tewas, Raja Wurawari memilih untuk kembali ke kerajaannya.

Prasasti Pucangan menyebutkan bahwa Airlangga berhasil selamat dari peristiwa Pralaya Medang dengan cara melarikan ke dalam hutan bersama abdinya, Narottama. Dalam pelariannya, pangeran yang masih berusia 16 tahun ini memilih untuk memperdalam kekuatan batin dan ilmu agamanya dengan para pertapa.

Pada 1019, Airlangga kemudian mendirikan kerajaan baru yang dikenal sebagai Kerajaan Kahuripan. Sejak naik takhta, Raja Airlangga memusatkan perhatiannya untuk menaklukkan kembali wilayah-wilayah yang pernah melepaskan diri dari Kerajaan Medang.

Leave a comment