Tren Fobia Makanan dan Minuman Tinggi Kadar Gula
Jadi, beberapa hari ini saya berseluncur di dunia maya dan menemukan sebuah fenomena yang menarik untuk dibahas, yaitu fenomena fobia dengan makanan dan minuman tinggi kadar gula. Menurut saya, tren mengenai kesadaran (awareness) mengenai kesehatan bisa dikatakan meningkat semenjak hadirnya pandemi covid-19 di Indonesia.
Hal ini didukung dengan meningkatnya pengguna sosial media dan membuat orang semakin menyita waktunya untuk berselancar di dunia maya. Oleh karena itu, sebuah kampanye kesehatan dapat merambah ke seluruh kalangan masyarakat dalam waktu yang singkat.
Termasuk melakukan kampanye jenama (brand campaign) produk “yang lebih sehat” menjadi hal yang cukup seksi karena saat itu hingga sekarang, pasar yang membutuhkan produk tersebut sedang meningkat.
Maka para produsen atau bahkan distributor produk “yang lebih sehat” bisa markup produknya setinggi mungkin demi mendapat keuntungan yang besar, padahal kecenderungannya “produk yang lebih sehat” ini hanya produk yang bisa saja hanya greenwash dan mengurangi sebagian konten di produknya agar terlihat lebih sehat.
Mengapa saya bisa mengatakan demikian? Anggap seperti produk minuman yang less atau bahkan zero sugar, produk ini sebenarnya hanya mengurangi atau menghilangkan salah satu komponen utamanya, yaitu gula. Padahal, dengan demikian, produsen bisa mengurangi harga pokok penjualan karena penggunaan bahan baku gulanya sudah dikurangi atau bahkan tidak menggunakan gula sama sekali.
Meskipun, tidak menutup kemungkinan, mereka menggunakan pemanis lainnya seperti stevia, aspartam, atau sukralosa sebagai subtitusi dari gula yang tidak mereka gunakan. Tetapi, menggunakan gula tersebut juga tidak terlalu banyak karena rasa manisnya yang lebih tinggi (200-300x) dari gula sukrosa (gula pasir).
Kapan fobia ini muncul?
Mari, saya ingin membahas mengenai fenomena minuman boba gula aren yang marak pada tahun 2015-2019 akhir, ketika minuman kopi gula aren atau boba milk tea ini meraja lela, semua orang hampir tidak khawatir mengenai kandungan gula yang terkandung di dalamnya. Bahkan masih dicampur dengan makanan manis seperti kue atau kudapan manis lainnya.
Bayangkan, berapa banyak gula yang terkadung di dalamnya. Sedangkan, menurut rekomendasi WHO, asupan gula harian yang dianjurkan yaitu 50 gram per hari. Sedangkan, dari minuman boba milk tea gula aren misalnya, itu mungkin sudah melewati ambang batasnya.
Lalu dari mana sumber gulanya? Ada di gula arennya dan menjadi bahan campuran di bobanya. Jadi, kemana kesadaran kita saat itu? Belum muncul, karena mendadak hampir sebagian dari kita berubah menjadi seseorang yang sweet tooth (senang sesuatu yang mais).
Kesadaran ini baru muncul sejak pandemi covid-19 kemarin, ketika banyak tenaga kesehatan menyatakan bahwa “sahabat” dari covid adalah gula. Lalu muncul segmen pasar baru, akibat dari kesadaran itu, bahwa mereka membutuhkan sumber makanan yang rendah gula.
Secara tidak langsung, karena kesadaran itu, kini menghasilkan individu yang “fobia” dengan makanan atau minuman yang mengandung tinggi gula. Bahkan, sekarang konsumen menjadi lebih sadar untuk melihat fakta nutrisi, namun yang menjadi incarannya adalah “kadar gula”.
Jadi, gula ini sudah menjadi fokus utama konsumen untuk menilai apakah produk itu sehat atau tidak. Bahkan ada juga perdebatan mengenai konsumsi buah dan memilih buah yang tinggi gula atau tidak. Padahal, buah itu sendiri, manisnya sudah alami dan berbeda dari gula pasir karena gula di buah itu disebut fruktosa.
Contoh buah yang memiliki kandungan gula yang tinggi, yaitu mangga, anggur, ceri, apel, pir, dan pisang. Saya menemukan bahwa memang betul ada segmen konsumen buah yang menghindari buah-buah itu hanya karena alasan tinggi gula. Mungkin, kalau memang ada pantangan untuk hal medis, saya memakluminya, tetapi kalau tidak? Itu bisa jadi sebuah fenomena fobia makanan tinggi gula.
Pembahasan Utama Saya
Sebetulnya, saya tidak begitu menggubris segmen konsumen yang fobia dengan gula tinggi ini karena sisi positifnya, mereka menjadi lebih memperhatikan konsumsi gula hariannya. Akan tetapi, saya merasa terganggu ketika mereka mempengaruhi orang lain hanya karena fobia yang mereka miliki.
Fobia ini bisa menyebabkan dalam kesesatan berpikir dan menjeneralisir bahwa “makanan yang tinggi gula itu tidak sehat bahkan untuk buah”. Saya tergelitik ketika ada orang yang memiliki konsiderasi untuk tidak memakan buah semangka hanya karena “tinggi gula”.
Perkataan itu membuat saya tergelitik dan merasa heran “kok bisa seperti itu?”. Lalu, apa yang harus kita perbuat? Menurut saya, kita cukup berpatok pada rekomendasi harian konsumsi gula yang diberikan oleh badan kesehatan dunia (WHO), yaitu maksimal 50 gram per hari. Selain itu, dengan tidak makan secara berlebihan juga dapat menjaga kesehatan tubuh kita.
Kalau saya ditanya, berapa kadar yang baik untuk karbohidrat, protein, lemak hariannya? Jawabannya tergantung kebutuhan harian masing-masing dari kita. Misal, pekerjaan saya hanya duduk dikantor, maka saya mengurangi konsumsi sumber karbohidrat dan lemak, tetapi memperbanyak protein dan serat supaya kenyang lebih lama lalu asupan kalori saya dapat disesuaikan dengan pekerjaan saya. Kenapa saya harus memikirkan seperti itu?
Karena kalori yang terbakar selama aktivitas saya tidak sebanyak orang-orang yang melakukan pekerjaan kasar sehingga memerlukan banyak kalori. Makanya sering kita mendengar “porsi kuli” itu karena memang mereka membutuhkan tenaga lebih untuk menunjang pekerjaan mereka.
Apalagi soal buah, tidak sepantasnya kita menjadi takut hanya karena buah itu memiliki kandungan gula yang tinggi. Kalau kita bandingkan dengan makanan ringan yang disalut dengan cokelat, karamel, dan ada wafer di tengahnya, jelas tidak seimbang, kenapa?
Di dalam buah, sudah mengandung gula alami yang disebut fruktosa, selain itu mengandung air, vitamin dan mineral alami, serta serat yang membantu menjaga kesehatan tubuh kita.
Lalu, kalau makanan olahan seperti kudapan di atas, tentu semua bahan seperti gula, vitamin, mineral, itu semua ditambahkan sesuai dengan formula yang dihitung. Belum lagi, semua itu sudah hilang akibat dari proses produksinya. Tetapi kembali lagi, bukan berarti kudapan itu tidak baik, namun tetap lebih sehat jika mengonsumsi buah.
Kesimpulan
Mengenai fenomena ini, saya mengajak kita untuk menjadi konsumen yang bijak, agar kita bisa menentukan makanan atau minuman tinggi gula seperti apa yang baik untuk dikonsumsi. Pertimbangannya, jangan hanya di gulanya saja, tetapi di komponen lainnya, seperti halnya buah.
Meskipun tinggi gula, tetapi memiliki banyak sekali manfaatnya bagi kesehatan. Jangan jadikan makanan tinggi gula menjadi musuh utama, tetapi sebagai fokus untuk mawas diri agar tidak makan secara berlebihan, bukan untuk ditolak atau dimusuhi.
Sekian pembahasan saya mengenai fenomena fobia terhadap makanan dan minuman tinggi gula, terima kasih sudah membaca.