Informasi Terpercaya Masa Kini

Tempat di Mana Arsitektur dan Spiritual Bertemu – Al Jabbar

0 7

Langit Bandung pagi itu merentang lembut, warna biru pucat dengan sedikit semburat keemasan dari mentari yang masih malu-malu menampakkan diri. Dingin udara pagi menggelitik kulit, namun rasa antusiasku menepisnya. Aku tengah menapaki perjalanan kecil menuju sebuah tempat yang sudah tak asing lagi, Masjid Raya Al Jabbar. Walau ini bukan kali pertama, masjid ini seolah punya magnet kuat yang terus menarik langkahku kembali. Seperti rindu yang menggelegak tanpa alasan, Masjid Al Jabbar selalu memanggilku pulang ke dekapannya.

Aku menaiki kereta lokal Bandung, duduk di kursi yang menghadap jendela, menatap pemandangan yang berlarian seiring perjalanan. Tarifnya sederhana, hanya lima ribu rupiah, harga secangkir kopi di warung-warung kecil di pinggiran kota. Tapi, nilai yang kubayar seolah membawa makna lebih dalam dari sekadar nominal. Kereta ini bagai untaian waktu yang menghubungkan masa kini dengan kilasan-kilasan masa lalu, menderu menembus peradaban modern yang hingar bingar untuk menuju tempat yang menenangkan jiwa.

Dari balik jendela, pemandangan kota berganti dengan hijaunya sawah dan perbukitan kecil yang seakan menyambut dengan damai. Setiap jengkal perjalanan ini kurasakan bagaikan bait-bait syair yang memuji keagungan Sang Pencipta. Menjelang sampai di Stasiun Cimekar, terasa bahwa aku semakin dekat dengan tujuan. Langkah berikutnya adalah menyusuri jalan menuju masjid dengan ojek online, seperti melanjutkan sebuah cerita yang sudah lama dimulai.

Dari jauh, kubah Masjid Al Jabbar mulai terlihat, megah menjulang bak kastel di tengah hamparan lautan hijau. Arsitekturnya memadukan sentuhan modern dengan keagungan klasik yang penuh dengan cita rasa Islami, bak istana di negeri para nabi. Kala mata menatap kubahnya yang bercorak, jantungku sejenak melambat. Begitu sempurna, begitu indah, seakan ada energi yang tersimpan di balik desainnya. Setiap lengkung dan sudutnya terasa berbisik pelan, bercerita tentang sejarah, tentang iman, tentang cinta yang tak lekang oleh waktu.

Begitu tiba, langkahku terhenti di halaman depan masjid, tak bisa segera melangkah lebih dekat. Rasanya, masjid ini begitu anggun, seolah berdiri dengan kesadaran diri akan keindahannya, menyambut setiap pengunjung dengan kelembutan yang menenangkan. Aku menyapu pandangan ke sekeliling dan berusaha menyimpan setiap detil, agar keindahannya tak memudar di ingatan. Tak ada kemewahan yang berlebihan, tapi juga tak ada kesederhanaan yang muram. Al Jabbar adalah perpaduan yang penuh selera, seperti sebuah permata yang disusun dengan kehati-hatian seorang ahli.

Kulayangkan pandangan ke arah danau buatan yang mengelilingi masjid. Airnya tenang, seolah menjadi cermin bagi langit dan masjid yang berdiri di tepiannya. Kulihat bayang-bayang bangunan itu di permukaan air, seolah-olah masjid ini memiliki saudara kembar di dunia bawah permukaan. Duduk di selasar masjid, aku merasakan sebuah atmosfer yang begitu mendamaikan. Angin semilir menerpa wajah, membawa aroma segar air dan dedaunan yang berbaur. Rasanya, aku seperti tengah berada di sebuah negeri yang jauh, sebuah oasis di tengah hiruk pikuk kehidupan kota.

Di dalam masjid, suasana semakin syahdu. Langit-langit yang tinggi membuatku merasa kecil, namun sekaligus terlindungi dalam naungan cinta Sang Pencipta. Cahaya matahari menerobos melalui kaca-kaca besar yang berjendela mozaik, menciptakan semburat warna yang mempesona di lantai dan dinding. Setiap pancaran cahayanya bak pendar doa yang terangkat menuju langit, penuh harap dan syukur.

Tak hanya megah di luar, masjid ini menyimpan harta yang begitu mendalam: Museum Rasulullah. Di dalamnya, aku menyusuri jejak-jejak sejarah Nabi Muhammad yang penuh dengan keteguhan, kesabaran, dan perjuangan. Ada replika benda-benda yang beliau gunakan, benda-benda yang seolah membawa kita kembali ke masa itu, ke masa di mana Rasulullah menanamkan akhlak mulia kepada umatnya. Melihat ini semua, hatiku mendadak sesak dengan rasa haru. Seakan aku menyaksikan perjuangan beliau dari dekat, merasakan getirnya jalan dakwah yang penuh ujian dan tantangan.

Di Museum itu, aku menemukan diriku tersentuh oleh kisah-kisah penuh keteladanan. Kisah-kisah yang tak hanya membuat air mata menetes, tapi juga menghangatkan hati dengan semangat dan inspirasi. Seperti menyaksikan pemandangan yang hanya bisa dilihat oleh hati, tempat ini mengajak setiap jiwa yang datang untuk memahami lebih dalam tentang cinta, pengorbanan, dan kebesaran Rasulullah dalam menyebarkan agama Islam.

Masjid Raya Al Jabbar bukan hanya sebuah bangunan, melainkan sebuah perjalanan spiritual. Setiap inci arsitekturnya mengisyaratkan tentang kekuatan iman, setiap sudut ruangnya menyimpan jejak sejarah yang menggugah jiwa. Di tempat ini, aku seakan diingatkan tentang betapa pentingnya kembali kepada hal-hal yang mendasar dalam hidup, iman, cinta, dan perjuangan. Tempat ini menjadi sebuah peringatan lembut akan betapa luas dan penuh makna kehidupan ini jika kita mengarunginya dengan keteguhan hati.

Saat matahari mulai condong ke barat, aku menyadari bahwa waktuku di sini akan segera berakhir. Namun, masjid ini meninggalkan sesuatu dalam hatiku. Sebuah perasaan damai yang tak bisa kutemukan di tempat lain, perasaan yang seolah menenangkan seluruh kecemasan dan keraguanku. Langkahku meninggalkan masjid dengan berat hati, tapi aku tahu, suatu hari, Masjid Raya Al Jabbar akan kembali memanggilku, membawaku pulang untuk kembali duduk di selasarnya, menikmati ketenangan yang dibisikkan oleh angin dan air di sekitar danau buatan.

Aku tahu, panggilan itu akan terus berulang. Al Jabbar, masjid megah di ujung kota Bandung ini, bukan sekadar tempat. Ia adalah rumah bagi hati-hati yang mencari kedamaian dalam damainya.

Leave a comment