Doom Spending di Kalangan Gen Z, Pelarian atau Bumerang?
Dalam beberapa tahun terakhir ini, istilah doom spending menjadi semakin sering diperbincangkan, terutama di platform media sosial dan berbagai artikel daring.
Fenomena ini merujuk pada perilaku berbelanja impulsif sebagai bentuk pelarian ketika seseorang merasa pesimis atau tertekan oleh situasi ekonomi dan ketidakpastian masa depan.
Seperti yang diungkapkan oleh Bruce Y. Lee, seorang Profesor Kebijakan dan Manajemen Kesehatan dari City University of New York, doom spending sering terjadi saat seseorang merasa terjebak dalam tekanan sosial, politik, maupun lingkungan yang memburuk, dan ini terlihat jelas di negara seperti Amerika Serikat. (Sumber: detik.com).
Namun, fenomena ini bukan hanya milik mereka di Barat saja; doom spending juga semakin mewabah di Indonesia, terutama di kalangan anak muda, khususnya Generasi Z.
Tulisan ini akan membahas mengapa doom spending terjadi di kalangan anak muda, adakah hal yang memicu perilaku tersebut?
Jika media sosial ikut berperan di dalam perilaku tersebut, lantas seperti apa perannya? Bahaya seperti apa yang mengintai mereka yang terjangkit virus doom spending? Adakah solusi bagi masalah ini?
Mengapa Doom Spending Terjadi?
Tentu saja, terdapat berbagai alasan yang bisa memicu perilaku doom spending, dan ini sangat erat kaitannya dengan gaya hidup modern serta faktor psikologis.
Riza Wahyuni, seorang psikolog dari Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya, menjelaskan bahwa salah satu faktor terbesar yang mendorong anak muda untuk berbelanja tanpa kontrol adalah kemudahan akses belanja online. (Sumber: detik.com).
Platform e-commerce kini menawarkan berbagai promosi menarik yang diiklankan secara masif di media sosial.
Promo besar-besaran seperti flash sale, buy one get one, hingga penggunaan kata-kata seperti “diskon terbatas” atau “kesempatan terakhir” menciptakan rasa urgensi yang mendorong konsumen untuk melakukan pembelian segera, bahkan tanpa berpikir panjang tentang kebutuhan barang tersebut.
Selain itu, doom spending juga sering dikaitkan dengan validasi sosial. Di era digital seperti saat ini, orang berlomba-lomba menampilkan citra diri terbaik di media sosial.
Ini memicu rasa ingin menunjukkan bahwa mereka dapat menikmati kehidupan mewah atau memiliki barang-barang berharga yang dianggap prestise, meskipun harus mengorbankan kondisi keuangan mereka.
Generasi Z, sebagai generasi yang paling terhubung dengan dunia digital, sangat rentan terhadap tekanan sosial ini.
Namun, yang lebih penting untuk digarisbawahi adalah bahwa doom spending sering kali terjadi sebagai respons terhadap kondisi emosional.
Ketika anak muda merasa tertekan oleh ketidakpastian masa depan—apakah itu karena kondisi ekonomi global, masalah lingkungan, atau bahkan ketidakpastian politik—mereka cenderung mencari pelarian yang cepat dan instan.
Salah satunya adalah dengan berbelanja. Barang-barang yang dibeli bisa memberikan kepuasan sesaat, tetapi perilaku ini dapat menjadi bumerang jika tidak dikendalikan.
Peran Media Sosial dalam Fenomena Doom Spending
Tidak dapat dipungkiri bahwa media sosial memainkan peran penting dalam memperkuat fenomena doom spending. Berbeda dengan generasi sebelumnya, Generasi Z tumbuh besar dengan akses ke berbagai platform media sosial yang menampilkan kehidupan “sempurna” orang lain.
Selebgram, YouTuber, dan influencer lainnya sering kali menunjukkan gaya hidup mewah yang menciptakan ekspektasi tinggi bagi pengikut mereka.
Ketika seseorang melihat orang lain tampil dengan barang-barang terbaru, pakaian bermerek, atau gadget canggih, ada dorongan kuat untuk mengikuti tren yang sama, meskipun hal itu tidak selalu realistis secara finansial.
Fenomena ini juga semakin parah dengan kemunculan tren unboxing, di mana influencer membeli sejumlah besar barang dan kemudian memamerkan atau membongkar belanjaan mereka di depan kamera.
Tentu, video-video ini menciptakan semacam kepuasan visual yang membuat penonton ingin ikut berbelanja, meskipun barang-barang tersebut mungkin tidak diperlukan.
Tentu saja, kondisi ini memperburuk kebiasaan konsumtif dan bisa menyebabkan perilaku boros tanpa disadari.
Ancaman Utang dan Bahaya Pinjol Mengintai
Selain masalah konsumtif, doom spending juga membawa risiko finansial yang serius, terutama bagi anak muda yang menggunakan aplikasi pinjaman online (pinjol) atau layanan pay later.
Banyak anak muda, terutama Generasi Z, menggunakan aplikasi ini tanpa memikirkan dampak jangka panjang.
Pada awalnya, layanan pay later dan pinjol tampak menggoda karena menawarkan kemudahan dan kenyamanan dalam berbelanja tanpa perlu membayar di muka.
Namun, tanpa pengelolaan yang baik, utang bisa menumpuk dan menjadi masalah yang sulit diatasi.
Faktanya, data menunjukkan bahwa peningkatan signifikan dalam penggunaan aplikasi pay later di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, khususnya di kalangan anak muda.
Adek Media Roza, Executive Director Katadata Insight Center, mencatat bahwa pengguna usia 30 tahun ke atas meningkat dari 27,8% pada tahun 2022 menjadi 29,6% pada tahun 2023. (Sumber: mediaindonesia.com).
Sayangnya, banyak di antara mereka yang terjebak dalam utang akibat kurangnya kesadaran tentang bunga dan biaya tambahan yang harus dibayar.
Belum lagi, aplikasi pinjol yang kerap kali menerapkan suku bunga yang tinggi dan persyaratan pembayaran yang ketat.
Anak muda yang tidak mampu melunasi utang akhirnya harus berhadapan dengan tekanan finansial yang lebih besar, bahkan hingga mengalami stres yang lebih parah.
Bagaimana Mencegah Fenomena Doom Spending?
Mengingat dampak negatif yang cukup serius, fenomena doom spending di kalangan anak muda perlu ditangani secara serius.
Salah satu cara paling efektif untuk mencegah doom spending adalah dengan meningkatkan literasi keuangan di kalangan anak muda.
Literasi keuangan adalah kunci untuk mengajarkan mereka tentang pengelolaan keuangan yang bijak, termasuk pentingnya menabung, membuat anggaran, dan membedakan antara kebutuhan dan keinginan.
Di samping itu, peran keluarga dan lingkungan juga sangat penting. Orang tua bisa menjadi contoh dalam hal pengelolaan keuangan yang baik, serta memberikan pemahaman kepada anak-anak mereka mengenai bahaya belanja impulsif.
Di sekolah-sekolah dan institusi pendidikan, topik tentang literasi keuangan seharusnya dimasukkan dalam kurikulum agar anak muda lebih sadar dan teredukasi tentang risiko finansial sejak dini.
Konselor dan psikolog juga dapat memainkan peran penting dalam menangani masalah ini, terutama bagi mereka yang sudah menunjukkan tanda-tanda doom spending.
Konseling keuangan bisa membantu individu mengatasi kecanduan belanja serta memberikan strategi untuk mengendalikan dorongan impulsif dalam berbelanja.
Penutup
Sebagai penutup: Fenomena doom spending adalah cerminan dari ketidakstabilan emosional dan sosial di era modern.
Anak muda, khususnya Generasi Z, sangat rentan terhadap perilaku konsumtif yang tidak terkendali, terutama karena pengaruh media sosial dan kemudahan akses belanja online.
Meskipun demikian, dengan literasi keuangan yang baik, dukungan dari keluarga, serta bantuan dari konselor atau psikolog, perilaku ini dapat dikendalikan.
Pada akhirnya, penting bagi kita untuk mulai memahami bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari berapa banyak barang yang kita miliki atau seberapa mahal kehidupan yang kita jalani. Melainkan, kebahagiaan itu muncul dari keseimbangan hidup yang sehat, termasuk keseimbangan finansial.
Mengendalikan doom spending bukan hanya tentang menghemat uang, tetapi juga tentang menjaga stabilitas emosional dan mental di tengah tekanan sosial yang semakin besar.