Informasi Terpercaya Masa Kini

Soerjopranoto, Lebih Radikal Dibanding Sang Adik hingga Dijuluki Si Raja Mogok

0 13

[ARSIP HAI]

Soerjopranoto (Suryopranoto) merupakan salah satu tokoh Sarekat Islam yang mendapat gelar Pahlawan tapi namanya jarang disebut. Lebih radikal dibanding sang adik, Ki Hajar Dewantara, hingga dijuliki Si Raja Mogok.

Pertama tayang di HAI pada edisi Juni 1986

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

Intisari-Online.com – Ijazah sekolah disobek-sobek, kunci lemari di ruang kerjanya dilemparkan ke muka atasannya. Tindakan yang sangat berani. Apalagi ini terjadi di masa penjajahan Belanda. Yang dihadapinya pun orang Belanda.

Tapi Soerjopranoto tidak peduli lagi. Saat itu juga dia minta berhenti bekerja sebagai pegawai pemerintah Belanda. Ini terjadi gara-gara seorang anak buahnya dikeluarkan dari pekerjaan karena menjadi anggota partai Sarekat Islam.

Saat itu juga kepala dinas Pertanian di Wonosobo ini meninggalkan kantor dengan seluruh kedudukannya yang tinggi dan terhormat itu. Bahkan kemudian Soerjopranoto bertekad akan memberikan tenaga dan pikirannya untuk perjuangan politik menentang penjajah.

Dia juga bersumpah tidak akan pernah bekerja untuk penjajah. Soerjopranoto memang lain dari bangsawan lainnya. Sejak remaja, dia dicap suka bikin onar, bila berhadapan dengan Belanda. Ketika dia masih pegawai rendahan di Yogyakarta, dia selalu melawan atasannya yang Belanda.

Karena ulahnya ini dia dibuang ke Tuban. Di sini pun dia berani menempeleng Belanda demi membela kawan sejawatnya.

Dia diberhentikan dan kembali ke Yogya. Di kota kelahirannya ini dia bekerja di Pakualaman sebagai Wedana Sentono. Kembali berbual onar, dia dibuang ke Bogor dan disekolahkan untuk menjadi ahli dan guru pertanian.

Dari Bogor, Soerjopranoto bekerja kembali pada pemerintah Belanda, 6 tahun kemudian dia keluar untuk selama-lamanya.

Lepas dari pegawai pemerintah, waktu dan tenaganya kemudian dia curahkan untuk perkembangan organisasi Sarekat Islam, di mana dia duduk sebagai anggota pengurus besar. Dalam salah satu kongresnya, tahun 1919, Soerjopranoto menganjurkan pemogokan sebagai alat penambah kekuatan batin petani dan buruh dalam menuntut perbaikan hidup.

Dia sadar betul akan jiwa pemberontaknya. Putra sulung Pakualam III, bangsawan Yogyakarta ini kemudian menjadi pemimpin para buruh perkebunan, para petani tebu, melakukan perlawanan terhadap pemilik perkebunan, yang orang Belanda.

Penanaman modal asing di bidang perkebunan meluas. Ini menimbulkan kegelisahan di kalangan rakyat tani. Mereka ini harus menyewakan tanahnya untuk tanaman tebu, dengan harga yang telah ditetapkan dan sangat rendah. Upah buruh perkebunan pun terlalu rendah.

Keadaan ini menimbulkan kesengsaraan yang tak kunjung habis di kalangan rakyat desa. Soerjopranoto prihatin melihat keadaan yang memburuk ini. Di mana-mana dia mengajak rakyat melakukan pemogokan untuk menuntut perbaikan hidup. Tak heran kalau kemudian dia dipanggil si raja pemogokan oleh Belanda.

Tindakan Soerjopranoto dalam soal perburuhan dan pandangan sosialisnya semua didasari pada jiwa dan keyakinan yang kuat pada agama Islam.

Bersama Cokroaminoto, Haji Agus Salim dan Abdoel Muis, Soerjopranoto mendirikan Sarekat Islam. Organisasi ini kemudian berkembang menjadi organisasi massa terbesar pada zamannya.

Keadaan yang memburuk inilah yang mendorong Soerjopranoto mendirikan organisasi sosial dengan nama barisan kerja untuk kebaktian yang luhur, Adhi Dharma. Adhi Dharma diorganisasikan seperti dalam ketentaraan dengan pangkat-pangkat dan tersusun sampai ke pelosok desa.

Organisasi ini bergerak dalam bidang ekonomi dan pendidikan. Antara lain ada bagian tabungan, koperasi pertukangan, kesehatan dan hukum. Semua didasarkan pada asas tolong menolong.

Untuk meningkatkan pendidikan anak-anak buruh tani didirikan sebuah sekolah yang di dalam daftar pengajaran maupun sistem pendidikan disejajarkan dengan Sekolah Dasar Belanda.

Ini sengaja agar supaya rakyat mempunyai pengetahuan yang sejajar dengan orang-orang Belanda dan sekali waktu, dapat dipergunakan sebagai alat perjuangan kemerdekaan.

Tuntutan-tuntutan perbaikan upah dan jaminan sosial lainnya yang dirumuskan oleh Soerjopranoto dianggap revolusioner oleh Belanda dan sangat berbahaya. Kakak Ki Hajar Dewantara ini banyak mendapat halangan dan pemerintah Belanda.

Dia dilarang bicara di depan umum. Belanda pun berusaha menyuap. Sekali waktu Soerjopranoto mau menerima suapan dari Belanda dengan syarat Belanda mengumumkan soal penyuapan itu di surat-surat kabar. Sejak saat itu usaha penyuapan pun berhenti.

Soerjopranoto di dalam Sarekat Islam duduk sebagai Wakil Ketua ketika organisasi ini membentuk Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB). Tapi tak lama setelah terbentuk PPKB terpecah menjadi dua.

Aksi-aksi pemogokan yang semula disarankan Soerjopranoto hanya untuk menuntut kenaikan upah dan perbaikan jaminan sosial diselewengkan oleh ketua PPKB, Semaun. Di kalangan Sarekat Islam pun terjadi perpecahan. Semaun ini kemudian mendirikan Partai Komunis Indonesia tahun 1920.

Tahun 1922, terjadi pemogokan oleh pegawai pegadaian, melibatkan 3000 orang pegawai. Untuk mengatasi kekacauan ini Soerjopranoto kemudian mendirikan sebuah pertolongan korban pemogokan, dengan nama Komite Hidup Merdeka yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara.

Karena sikapnya yang terus terang melawan pemerintah Belanda, tak heran kalau Soerjopranoto berkali-kali harus masuk penjara. Tapi hal ini tak pernah membuatnya jera. Di dalam penjara pun dia terus menyumbangkan pikiran dan tenaganya untuk masyarakat lewat tulisan-tulisan di surat kabar Sarekat Islam yang diasuhnya.

Bebas dari penjara di Semarang selama 6 bulan, Soerjopranoto kembali aktif berjuang. Dia juga menulis seri Ensiklopedi tentang perjuangan sosialisme.

Ensiklopedi ini disita dan dia kembali dipenjarakan di Sukamiskin, Bandung, selama 16 bulan. Sekeluar dari penjara ini dia diancam akan dipenjarakan lagi selama 4 kali 16 bulan bila berbuat kesalahan lagi pada pemerintah Belanda.

Sekeluar dari Sukamiskin, kesehatan Soerjopranoto makin mundur. Dia kemudian membatasi kegiatannya, hanya dalam usaha pengajaran dan kursus di sekolah Adhi Dharma yang didirikannya.

Dia berjuang di pendidikan, yaitu memberi bekal pengetahuan pada golongan rakyat lapisan bawah. la mengajar tata negara, sejarah, ekonomi, sosiologi ilmu bumi dan sebagainya, kemudian mendirikan ‘universitas rakyat’.

Pada masa pendudukan Jepang, dia tetap pada pendiriannya, tak mau bekerja sama dengan penjajah. Ketika sekolah Adhi Dharma ditutup Jepang, ia mengajar di Taman Siswa. Satu cara menghindari tugas-tugas dari pemerintah pendudukan Jepang.

Setelah proklamasi kemerdekaan, dia berhenti sama sekali dari semua kegiatan politik. Tapi dia tetap memberikan simpatinya pada Partai Sarekat Islam dan perhatian penuh pada aliran politik yang progresif dan cinta tanah air.

Orangtua yang ketika mudanya selalu bikin onar ini meninggal dalam usia 88 tahun. Jenazahnya dimakamkan dengan upacara militer dan dianggap sebagai Perwira Tinggi.

Dia seorang pekerja dan seorang bangsawan yang menanggalkan kebangsawanannya demi meringankan beban nasib mereka-mereka yang diperlakukan tak adil. Dia diangkat sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional Republik Indonesia dan mendapat gelar Mahaputra tingkat II Rl secara anumerta.

Leave a comment