Informasi Terpercaya Masa Kini

Deflasi lima bulan berturut-turut, tanda ‘masyarakat kelas pekerja sudah tidak punya uang lagi untuk berbelanja’

0 25

Deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut sejak Mei hingga September 2024 memperlihatkan dengan jelas “masyarakat kelas pekerja sudah tidak punya uang lagi untuk berbelanja,” kata ekonom dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana.

Karena itu, permintaan bank sentral Indonesia agar masyarakat lebih banyak belanja untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di atas 5% mustahil terwujud. Pasalnya, hampir semua sektor industri melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), yang bakal berimbas pada anjloknya daya beli.

Hal ini sudah dirasakan oleh sejumlah pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM). Salah satunya, Eli Kamilah di Subang, Jawa Barat. Kedai kopinya di Desa Sukamandijaya sepi pembeli sudah beberapa pekan terakhir.

“Pernah yang beli cuma lima orang, padahal biasanya tuh bangku selalu penuh,” ujar Eli kepada BBC News Indonesia.

Untuk mengatasi persoalan ini, presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, diminta melakukan langkah cepat ketika sudah dilantik nanti.

Antara lain, dengan memberikan insentif hingga operasi pasar agar produk-produk UMKM tetap dilirik masyarakat sampai mengevaluasi ulang kebijakan hilirisasi sektor padat modal yang dianggap tak berdampak pada lapangan kerja.

BPS: Indonesia mengalami deflasi lima bulan berturut-turut

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi 0,12% pada September 2024. Ini adalah deflasi kelima berturut-turut selama 2024 dan menjadi yang terparah dalam lima tahun terakhir pemerintahan Presidan Joko Widodo, menurut Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti.

“Secara historis, deflasi September 2024 merupakan deflasi terdalam dibandingkan bulan yang sama dalam lima tahun terakhir, dengan tingkat deflasi sebesar 0,12% (month to month),” jelas Amalia dalam konferensi pers di kantor BPS, Jakarta Pusat, Selasa (01/10).

“Deflasi pada September 2024 ini terlihat lebih dalam dibandingkan Agustus 2024 dan ini merupakan deflasi kelima pada 2024 secara bulanan,” sambungnya.

Deflasi berturut-tutut selama 2024 pertama kali terjadi pada Mei lalu, sebesar 0,03% month to month. Lalu semakin dalam di Juni yang menyentuh 0,08% dan tak lebih baik pada Juli dengan 0,18%.

BPS kemudian mencatat deflasi mulai membaik pada Agustus yakni kembali ke level 0,03% secara bulanan. Tapi tingkat deflasi di Indonesia kini kembali terpuruk.

“Deflasi yang terjadi dalam lima bulan terakhir terlihat secara umum disumbang oleh penurunan harga komoditas bergejolak.”

“Terjadi penyesuaian harga BBM pada September, bahan bakar minyak yang mengalami penurunan harga adalah BBM khusus non-subsidi,” ujarnya.

“Kami mencatat komoditas bensin dan solar mengalami deflasi pada September dan tingkat deflasinya masing-masing sebesar 0,72% dan 0,74%.”

Adapun makanan, minuman, dan tembakau juga menjadi penyumbang deflasi beruntun di Indonesia. Kelompok ini mencatat deflasi 0,59% per September.

Selain itu, BPS mencatat hampir semua provinsi di Indonesia mengalami deflasi. Hanya 14 provinsi yang malah terjadi inflasi secara bulanan.

“Jika dilihat dari sebaran inflasi bulanan menurut wilayah, sebanyak 24 provinsi dari 38 provinsi di Indonesia mengalami delasi.”

“Deflasi terdalam 0,92% month to month terjadi di Papua Barat. Sementara itu inflasi tertinggi terjadi di Maluku Utara sebesar 0,56% month to month.”

Apa artinya deflasi lima bulan dan apa penyebabnya?

Deflasi adalah istilah dalam ekonomi ketika terjadi penurunan harga-harga barang dan jasa secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu.

Sekilas deflasi tampak menguntungkan bagi orang karena harga-harga barang dan jasa jadi lebih terjangkau oleh konsumen. Tapi, deflasi yang terjadi sekarang, menurut ekonom dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, bisa jauh lebih berbahaya.

Sebab deflasi beruntun ini menjadi indikator bahwa “pendapatan atau uang di masyarakat sudah semakin langka didapatkan”.

Sederhananya, masyarakat yang memiliki uang semakin sedikit.

“Jadi uang semakin sedikit itu bukan karena masyarakat tidak ingin berbelanja, tapi karena memang pendapatannya sudah turun. Itu indikasi yang sangat jelas dari kondisi deflasi saat ini,” jelas Andri kepada BBC News Indonesia.

Andri menjelaskan ada beberapa faktor yang menyebabkan kondisi ini terjadi.

Pertama, pemutusan hubungan kerja (PHK).

Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sebanyak 53.993 tenaga kerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) per 1 Oktober 2024.

Ribuan orang yang di-PHK itu sebagian besar berasal dari sektor manufaktur. Tiga provinsi dengan angka PHK terbesar adalah Jawa Tengah, Banten, dan Jakarta.

Tapi pengamat ekonomi, Muhammad Andri Perdana, memprediksi angka PHK hingga akhir tahun ini bisa mencapai lebih dari 70.000 tenaga kerja dan menimpa hampir semua industri.

Pasalnya, mulai banyak perusahaan dinyatakan pailit atau akhirnya pindah ke daerah lain yang upah minimumnya lebih kecil.

Masifnya PHK juga turut diperkuat catatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan yang menyebut hingga Agustus 2024 jumlah klaim Jaminan Hari Tua (JHT) tercatat sebanyak 2,07 juta klaim.

Untuk diketahui, pencairan JHT biasanya dilakukan ketika pekerja terkena PHK atau mengundurkan diri.

Ekonom Muhammad Andri mengatakan gelombang PHK yang kian membesar ini sudah pasti menurunkan pendapatan masyarakat kelas pekerja. Imbasnya mereka akan lebih berhemat mengeluarkan uang hanya untuk kebutuhan prioritas.

“Klaim JHT yang besar ini kan menandakan orang kehilangan pekerjaan sangat banyak.”

Baca juga:

  • Gelombang PHK diperkirakan tembus 70.000 pekerja, serikat buruh bertanya ‘Mana lapangan pekerjaan yang dijanjikan pemerintah?’
  • Nasib jadi kelas menengah di Indonesia – Banting tulang, makan tabungan, dan penuh kekhawatiran

Kedua, minimnya lapangan kerja di sektor padat karya.

Di tengah membludaknya PHK, pembukaan lapangan pekerjaan baru di sektor padat karya dalam lima tahun terakhir juga nyaris tidak ada, menurut Muhammad Andri.

Padahal sektor ini menjadi andalan untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar sehingga diharapkan bisa melahirkan apa yang disebutnya sebagai warga kelas menengah.

Namun data BPS terakhir menunjukkan 9,48 juta warga kelas menengah Indonesia justru turun kelas dalam lima tahun terakhir, menjadi hanya 47,85 juta.

“Jadi salah satu faktor kenapa pendapatan masyarakat turun, karena dari sektor yang krusial melahirkan kelas menengah sedang terpuruk,” imbuhnya.

Pengamatannya, situasi tersebut tak lepas dari kebijakan pemerintah yang lebih menggenjot investasi di sektor padat modal seperi tambang ketimbang padat karya yang membuka lapangan kerja baru.

Ketiga, tingginya suku bunga.

Bank Indonesia (BI) akhirnya memangkas suku bunga acuan atau BI rate pada September 2024 menjadi 6% dari sebelumnya 6,25%.

Suku bunga tinggi itu dipertahankan Bank Indonesia demi menjaga penguatan atau stabilitas nilai tukar rupiah.

Tapi di sisi lain, menurut ekonom dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, “uang yang beredar di masyarakat jadi lebih mahal”.

Dan kini, meskipun suku bunga sudah dipangkas, bukan berarti bisa “mengurangi lonjakan deflasi” di bulan-bulan mendatang.

Sebab, PHK massal dan tak adanya lapangan kerja baru belum sepenuhnya teratasi.

Konsekuensinya, daya beli masyarakat juga belum akan membaik.

‘Sepi pembeli’

Salah satu pelaku kecil dan menengah (UMKM) di Subang, Jawa Barat, Eli Kamilah, merasakan betul bagaimana anjloknya daya beli masyarakat.

Perempuan berusia sekitr 30 tahun ini membuka usaha kedai kopi kecil-kecilan bersama suaminya di halaman rumah mereka di Desa Sukamandijaya pada 2017.

Waktu itu, Eli sepakat dengan suaminya untuk berhenti bekerja demi bisa mengurus dua anaknya yang masih bocah. Oleh sang suami, dia pun ditawarkan membuka warung kopi untuk mengusir bosan di rumah.

Dimulai dari sajian aneka kopi dan camilan, kini usahanya bisa dibilang menjadi pemasukan kedua terbesar setelah gaji suaminya.

Dari hasil bisnis itu pula, dua anaknya bisa masuk ke sekolah swasta.

“Cukup membantu lah, dari yang awalnya cuma isi kegiatan dan dapat pemasukan kecil-kecilan apalagi saya enggak ada pengalaman bisnis, makin ke sini jadi sumber pendapatan yang cukup besar,” ujar Eli Kamilah kepada BBC News Indonesia.

Namun, bisnis kecilnya ini tak berjalan mulus.

Kala pandemi Covid-19 melanda Indonesia dan pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), omsetnya turun drastis.

“Omset benar-benar anjlok sampai 90%,” ungkapnya.

Kini, situasi yang mirip-mirip pandemi mulai terasa, katanya. Pembeli jadi agak sepi, padahal biasanya saban hari tak ada meja di kedainya yang kosong.

Tak cuma itu saja, beberapa bulan belakangan orang berdagang di daerahnya membludak di sepanjang jalan.

Pemandangan ini, baginya, tak biasa.

“Dulu saat Covid kan juga banyak yang di-PHK, orang-orang di sini beralih jadi buka usaha, jualan dan itu banyak banget.”

“Sekarang kok sama, orang jualan dari ujung ke ujung. Jualan makanan, minuman, jajanan kayak seblak, ramai pokoknya.”

Baca juga:

  • Produk China membanjiri Indonesia, puluhan pabrik tekstil tutup dan badai PHK – ‘Kondisi industri tekstil sudah darurat’
  • Tupperware ajukan kebangkrutan, ibu-ibu di Indonesia mengenang masa kejayaannya – ‘Suami sampai trauma dimarahi karena menghilangkan kotak makan’

Mulanya Eli hanya mengira sepinya pembeli gara-gara para pekerja pabrik yang biasa jajan di warungnya belum menerima gaji.

Namun makin hari dia sadar ada yang tak beres. Ketika membaca berita soal banyaknya PHK, ia paham apa penyebabnya.

Pernah selama beberapa minggu, kedainya cuma didatangi lima orang.

“Jadi tuh yang ngopi kemarin-kemarin ini kebanyakan pelanggan lama, biasanya ada pelanggan baru datang. Tapi ini enggak,” ucapnya.

“Berasa banget lah berkurangnya [pembeli], soalnya kedai saya kecil. Pernah yang datang cuma lima orang dari jam 17.00 sampai 22.30.”

“Padahal biasanya di parkiran sampai enggak ada tempat dan ke kedai harus antre karena kursi penuh.”

Desa tempat Eli berjualan nyaris tak pernah sepi. Wilayah ini menjadi tempat transit para pengendara dari Jakarta dan Subang, Jawa Barat.

Di sini juga banyak pabrik manufaktur.

Meski kedainya sedang sepi, ia berusaha tetap menjaga pelanggannya tak kabur. Kendati harga beberapa jenis kopi sedang naik.

Untuk mengakali agar omsetnya tak terjun bebas, dia menambah jam operasional kedainya di pagi hari khusus untuk minuman yang bisa dibawa pulang.

“Kalau naikin harga, agak susah. Jadi bikin morning coffee, buka orderan untuk pagi ke siang, tapi dibawa pulang.”

“Atau cari kopi yang hampir sama kualitasnya tapi harga agak miring, alhamdulilah ketemu.”

Pengamat ekonomi kerakyatan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Hempri Suyatna, menuturkan kondisi para pelaku usaha kecil dan menengah saat ini “benar-benar gawat”.

Pelaku UMKM< kata Hempri, terhimpit oleh daya beli yang turun ditambah serbuan barang impor dari China membanjiri pasar-pasar lokal.

Ironisnya, orang-orang yang terjun ke sektor ini mendirikan usaha sendiri bukan karena ingin mengembangkan bisnis, tapi sebagai “kantung penyelamat” untuk bertahan hidup setelah di-PHK atau gara-gara tak kunjung mendapatkan pekerjaan.

Sebab, kata dia, siapa pun bisa dengan mudah masuk dan keluar ke sektor UMKM tanpa standarisasi tertentu.

Itu mengapa 99% ekonomi Indonesia ditopang oleh sektor usaha kecil dan memengah. Pada 2023 saja, tercatat ada 66 juta pelaku UMKM.

“Jadi ya memang mayoritas pelaku UMKM di Indonesia ini by accident atau survival.”

Karenanya, Hempri meminta pemerintah segera bertindak untuk menyelamatkan para pelaku usaha kecil dan menengah ini.

Sebab ada sekitar 50 juta tenaga kerja bergantung di sektor tersebut yang kebanyakan rakyat kecil.

Akan sampai kapan deflasi di Indonesia?

Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal, menyebut deflasi selama lima bulan berturut-turut ini “mengkhawatirkan”.

Karena di negara seperti Indonesia yang tingkat pertumbuhan ekonominya 5% semestinya tidak terjadi deflasi yang disebabkan oleh lemahnya daya beli.

“Ini menyerupai kondisi krisis, jadi ada kemungkinan akhir tahun 2024 ini inflasi di bawah 2% seperti saat pandemi tahun 2020-2021,” ujarnya kepada BBC News Indonesia.

Ekonom lainnya seperti Hempri Suyatna dan Muhammad Andri Perdana, memprediksi deflasi di Indonesia akan terus berlanjut sampai akhir tahun.

Walaupun Bank Indonesia sudah menurunkan suku bunga dan akan dipangkas di bulan-bulan selanjutnya, tetap saja “berat” untuk memulihkan deflasi seperti sedia kala.

“Yang memberatkan gejala PHK massal ini tidak bisa ditangani dengan tingkat suku bunga yang turun,” ujar Muhammad Andri.

“Ini [PHK] masalah struktural dan akibat dari investasi yang tak berpihak pada masyarakat. Sementara lapangan kerja yang ada sangat terbatas untuk meningkatkan kembali penghasilan masyarakat,” sambungnya.

“Jadi lebih sulit mengatasi deflasi ketimbang menurunkan inflasi yang disebabkan oleh penurunan daya beli masyarakat.”

Apakah deflasi saat ini bakal memicu krisis moneter seperti 1998?

Tidak, kata ekonom Muhammad Andri.

Ia bilang ada perbedaan deflasi yang berlangsung saat ini dengan krisis moneter 1998.

Meskipun deflasi pada 1999 juga terjadi beruntun, tapi itu dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah yang anjlok sehingga berdampak pada tingkat kepercayaan yang runtuh atas mata uang Indonesia.

Selain itu ada pengaruh penurunan harga minyak dunia, melemahnya permintaan domestik, serta utang luar negeri sektor swasta yang membengkak, termasuk situasi politik yang tak stabil.

“Kalau krisis karena deflasi lebih ke resesi yang membuat ekonomi stagnan seperti di Jepang,” imbuh Muhammad Andri.

Apa langkah pemerintahan Prabowo-Gibran?

Penasihat ekonomi tim Prabowo-Gibran, Dradjad Wibowo, mengakui ada indikasi “ekonomi sulit” atau “pekerjaan formal susah” seperti yang dikeluhkan masyarakat.

Merespons persoalan ini, pemerintahan Prabowo, kata Dradjad Wibowo, akan meninjau ulang kebijakan-kebijakan yang bisa mengganggu konsumsi kelas menengah seperti misalnya penerapan PPN 12%.

Kemudian memperbanyak pelatihan untuk vocational skills bagi anak-anak muda. Baik untuk pekerjaan-pekerjaan mekanik, industri, hingga berbagai jasa.

Terakhir, menggunakan standarisasi untuk peningkatan produktivitas tenaga kerja.

  • Gelombang PHK diperkirakan tembus 70.000 pekerja, serikat buruh bertanya ‘Mana lapangan pekerjaan yang dijanjikan pemerintah?’
  • Nasib jadi kelas menengah di Indonesia – Banting tulang, makan tabungan, dan penuh kekhawatiran
  • Pemerintah klaim kemiskinan ekstrem akan 0% akhir 2024, tapi di Papua bertahan hidup ‘harus setengah mati‘
Leave a comment