Bahwa Menikah Bukan Sekadar Menua Bersama
Suatu waktu, saya pernah mendengar cerita istri. Sebuah kejadian di pemakanan umum, di kampung halaman di Jawa Timur. Ibu khusyu berdoa, bersimpuh di samping makam (alm) ayahanda. Doa lirih dideraskan, tampak mengalir air bening di pipi keriput itu.
“Sesayang dan sekehilangan itu,” si menantu menilai ibu mertuanya.
Saya mengangguk perlahan, seratus persen membenarkan kesimpulan istri. Sembari mengundang kilasan-kilasan memori, perjalanan pernikahan kedua orangtua saya.
—
Lika-liku rumah tangga ayah dan ibu, saya rekam melalui rangkaian cerita demi cerita. Beberapa kisah cukup penting, saya dengar sepeninggal ayah. Yaitu setelah anak bungsu ini menikah, dan ayah sempat melihat cucu dari saya.
Ayah dan ibu, menikah di penghujung tahun 50-an. Di awal pernikahan keduanya LDR-an, ibu di rumah mertua, suami mengajar di desa seberang.
“aku langsung ra krasan, pas pakmu budal ngajar” kisah ibu suatu hari.
Setelah kelahiran anak kedua, sang suami mendapat fitnah keji. Peristiwa kelam bangsa pada pertengahan 60-an, berimbas pada orang awam politik. Lelaki sederhana itu, terkena teror dan tekanan mental. Hingga diungsikan ke rumah saudara, sembari berobat ke RSJ.
Akhirnya saya tahu jawaban, perihal jauhnya jarak lahir kakak kedua dan ketiga. Kemudian sikap pendiam ayah, yang menurut saya berlebihan. Bahkan kalau ngobrol dengan saya, suaranya cenderung pelan tak terdengar.
Saat saya SD dan dua kakak tertua sudah kuliah. Adalah masa penuh drama, di keluarga sederhana itu. Di pergantian tahun ajaran baru, enam anak naik ke jenjang lebih tinggi. Pontang-panting orangtua, memenuhi uang pembayaran sekolah.
Suatu pagi terdengar kabar, ibu jatuh kepleset ke dalam parit. Lepas subuh di musim hujan, ibu mencari pinjaman ke tetangga beda RT.
Sebelum anaknya yang kuliah berangkat ke kota, ibu setengah berlari mengejar waktu. Ketika melompati parit cethek itu, tanah di pingirnya tak kuasa menahan beban. Alhasil tanah gembur itu ambrol, dan kaki ibu terperosok.
Kejadian yang dipergoki tukang tempe, dibantah saat saya tanyakan. Dan perihal kakinya yang berdarah, dijawab terkena pisau yang jatuh.
Itu baru sekelumit cerita, dari sekian banyak kisah belum terungkap. Dan 4 tahun sebelum usia pernikahan emas, ayah menghembuskan nafas terakhir.
“bu, aku njaluk ngapuro yo, akeh salah ambek kowe” ibu menirukan kalimat ayah, beberapa waktu sebelum kepergian.
Rentang waktu 46 tahun, bukanlah waktu yang sebentar. Dua pertiga hidupnya, ayah dan ibu melewati berdua. Kesetiaannya, kebersamaannya, kekompakannya, telah teruji oleh kehidupan. Niscaya ikatan batinnya kuat, satu sama lain memiliki keterkaitan.
Dan sangat wajar, ibu merasakan kehilangan yang sangat. Ketika lelaki yang dicintai, telah pergi meninggalkannya. Ketika belahan hati, tempat berbagi suka duka telah mendahuluinya.
“semoga surga, menjadi tempat persuaan ayah dan ibunda di alam baqa,aamiin ya Rabb ” doa saya lirih
Bahwa Menikah Bukan Sekadar Menua Bersama
Pernikahan. Semakin memahami, bahwa berumah tangga bukalah perkara mudah. Tak hanya sebatas komitmen, tapi pikulan beban tanggung jawab dan amanah yang musti ditunaikan. Tak Sekadar mental, tapi ilmupun harus disiapkan. Bukan tentang menua bersama, tapi tentang ke surga bersama @fir***l**der
Tulisan ini, terinspirasi dari postingan di medsos. Saya terkesan di kalimat terakhir, yang kemudian saya jadikan judul artikel ini. Sekaligus soal menua bersama, mengingatkan saya pada kisah saudara jauh.
Adalah suami yang berlaku kasar, tetapi si istri bertahan demi anak. Istri nelangsa bagaikan sansak hidup, tak punya pilihan. Rumah ditempati, kendaraan dipakai dibeli dan atas nama suami. Dirinya yang ibu rumah tangga, berpenghasilan minim dari membuka warung di rumah.
Kini keduanya di masa lansia, anak-anak tumbuh dewasa memberikan cucu. Sesekali saya bertemu pasangan ini, dengan pola komunikasi (masih) tidak baik. Suami dengan kalimat kasarnya, dan istri lebih banyak diam tak membalas. Tak ada romantis-romantisnya, bahasa tubuhnya tak mengandung love language.
Vibes hubungan ibu dan almarhum ayah saya, rasanya tak terjadi pada pasangan ini. Pada keduanya, saya menyeumpakan postingan medsos tersebut. Pernikahannya, sekadar menua bersama. Anak-anak yang sangat paham keadaan, selalu membela ibu.
—–
Kompasianer’s, saya mengamini bahwa pernikahan (sejatinya) bisa menjadi medan juang. Untuk pelakunya menggapai kemuliaan, untuk pasangan jannah (surga). Asalkan suami istri, menunaikan tugas dan tanggung jawab, mengemban kewajiban masing-masing.
Suami istri ibarat pakaian, keduanya manusia biasa dengan banyak dosa dan kekurangan. Masing-masing musti mengisi dan saling melengkapi, karena demikian semesta mengembankan amanat.
Sehingga perjalanan dinamis sebuah pernikahan, memberi hikmah bagi suami istri. Dan bahwa menikah bukan tentang menua bersama, tapi tentang ke surga bersama.
Salam sehat selalu kompasianer’s, semoga bermanfaat.