Ketika Buras Khas Sulawesi Selatan Go International di Tawau
Salah satu kegiatan akhir pekan yang biasanya penulis lakukan adalah mengunjungi Pasar Minggu Sabindo di Lorong Habib Sheikh di Tawau. Sesuai namanya, pasar ini digelar setiap hari Minggu pagi. Ratusan pedagang menjual beragam barang dagangannya di bawah tenda, mulai dari sayur mayur dan buah-buahan, daging, ikan, tanaman dan hewan hidup, pakaian dan sepatu hingga kuliner.
Dari sejumlah barang dagangan di Pasar Minggu ini, salah satu yang menarik perhatian penulis adalah kehadiran kuliner khas Sulawesi Selatan, yaitu burasak atau buras. Menarik perhatian karena ternyata banyak pedagang yang menjual buras, terutama ibu-ibu, dengan harga 2,5 s.d 3 ringgit Malaysia untuk satu ikat buras yang terdiri dari tiga tangkup. Kalau banyak pedagang yang menjual buras, berarti banyak pula yang menyantapnya.
Buras sendiri adalah kuliner yang terbuat beras, mirip dengan lontong dan ketupat namun memiliki bentuk pipih, tidak terlalu panjang, dan dibungkus dengan daun pisang.
Proses pembuatannya dimulai dengan memasak beras dan santan hingga lembek, lalu dibungkus dengan daun pisang dan diikat dengan rafia. Dua atau tiga tangkup buras diikat menjadi satu, kemudian direbus hingga matang sebelum disajikan.
Menurut penuturan rekan penulis asal Makassar, bagi masyarakat Sulawesi Selatan, membuat Buras merupakan suatu tradisi terutama saat menjelang Idul Fitri atau saat keluarga ingin merantau atau bepergian jauh. Buras menjadi makanan yang disebut sebagai “Bokong na Passompe” artinya bekal para perantau karena buras tidak mudah basi dan bisa bertahan lama di perjalanan.
Diperkirakan sudah ada sejak abad ke-8, proses pembuatan buras menjadi tradisi berkumpul turun menurun. Pada saat membuat buras, seorang ibu bisa ngobrol banyak dengan anaknya sambil mengikat buras. Penghuni satu rumah bisa berkumpul di kawasan dapur, berbagi cerita dan canda sambil bersama-sama mengikat buras.
Selain itu, ternyata terdapat pula makna filosofi dari buras, seperti penyatuan dan solidaritas supaya bisa membentuk nilai sipakatau (saling menghargai), sipakalebbi’ (saling memuliakan) dan sipakainge’ (saling mengingatkan) dalam keluarga dan kehidupan sosial.
Kembali ke buras di Tawau, dari penelusuran yang dilakukan penulis, banyaknya pedagang yang menjual buras ataupun kuliner khas Sulawesi Selatan ini sesungguhnya tidak terlepas dari sejarah kehadiran orang-orang dari suku Bugis di Sabah. Sabah adalah salah satu negara bagian Malaysia, yang terletak di Malaysia bagian timur. Wilayah Sabah terletak di pulau Kalimantan, letaknya berbatasan langsung dengan Provinsi Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur.
Menurut sejarahnya, sudah sejak abad ke-16 suku Bugis meninggalkan Kepulauan Sulawesi menuju Pulau Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaysia dan Kalimantan. Di Sabah, khususnya di Pantai Timur Sabah, kedatangan mereka merupakan bagian dari sejarah eksplorasi Tawau. Saat ini diperkirakan suku Bugis telah menjadi salah satu kelompok masyarakat yang terbesar. Suku Bugis di Sabah, dibagi menjadi 3 bagian, yaitu Melayu berdarah Bugis (10 %), Bugis berstatus warga negara (30 %) dan Bugis Indonesia bukan warga negara (60 %).
Meski sudah lama menetap di Tawau, Sabah, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang lahir dan besar di Sabah, warga asal Sulawesi Selatan ini tetap menjaga kearifan lokal dan budaya yang dibawa kakek nenek mereka ke Pantai Timur Sabah, termasuk kuliner seperti coto Makassar dan buras.
Banyaknya warga keturunan Sulawesi Selatan yang bermukin di pesisir Pantai Timur Sabah seperti Tawau, Kunak, Lahad Datu, Semporna dan Sandakan dan kecocokan rasa kuliner khas Sulawesi Selatan dengan lidah orang setempat membuat kuliner-kuliner dari Sulawesi Selatan dapat bertahan dan menjadi kuliner setempat.
Dalam perkembangannya saat ini, sebenarnya bukan hanya kuliner khas Sulawesi Selatan yang bertahan dengan kearifan lokalnya, tetapi juga kuliner dari berbagai daerah Indonesia lainnya mulai ramai dan banyak disukai warga Tawau seperti soto ayam, ayam geprek, es cendol Bandung dan roti bakar Bandung. Semua ini menunjukkan bahwa kuliner Indonesia sejatinya bisa go international melewati batas-batas negara dan bisa menjadi bagian dari diplomasi kuliner.