Informasi Terpercaya Masa Kini

Gelombang PHK diperkirakan tembus 70.000 pekerja, serikat buruh bertanya ‘Mana lapangan pekerjaan yang dijanjikan pemerintah?’

0 12

Gelombang pemutusan hubungan kerja di berbagai sektor industri diperkirakan bakal terus membesar hingga bisa di atas 70.000 pegawai pada akhir tahun 2024, menurut ekonom dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana. Dia menilai kondisi ini menandakan bahwa “tidak ada bisnis yang aman dari risiko PHK”.

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBI), Elly Rosita, menyebut sejak UU Cipta Kerja disahkan pada tahun 2020, belum ada pembukaan pabrik baru yang bisa menyerap ribuan tenaga kerja.

“Jadi di mana lapangan pekerjaan yang pemerintah janjikan?”

Sebelumnya Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah PHK dari Januari hingga akhir Agustus mencapai 46.240 pekerja. Meski ada tren kenaikan, tapi Kemnaker berharap angka PHK tidak lebih tinggi dari tahun lalu yang mencapai 64.000.

Dua pekerja perempuan usia produktif yang baru-baru ini kena PHK oleh perusahaan startup di Jakarta bercerita mereka tak pernah menyangka terkena “pemangkasan” demi alasan efisiensi keuangan. Dan sekarang mereka harus bertahan dengan pesangon yang tak seberapa.

Lantas, apa yang harus dilakukan pemerintahan presiden-wakil presiden terpilih Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka mengatasi persoalan ini? Apa strategi mereka menciptakan lapangan pekerjaan baru?

‘Kehilangan pekerjaan pasti bikin down

“Salah satu yang bikin saya kesal dan sesal dari PHK kemarin karena saya dikasih tahunya cuma dua minggu sebelum layoff [pemecatan],” tutur Olyvia, seorang pekerja perempuan usia produktif di Jakarta.

Olyvia nampaknya masih jengkel kalau bercerita tentang bagaimana dia di-PHK oleh perusahaan lamanya yang bergerak di industri kecantikan.

Ini karena pemberitahuan PHK oleh pihak manajemen disampaikan padanya H-14. Rentang waktu yang singkat begitu, menurut Olyvia, terlalu mendadak.

Ia mengaku tak punya persiapan cukup untuk mencari pekerjaan baru.

“Jadi banyak yang enggak enak di hati, cuti enggak bisa di-uangkan, enggak terima gaji penuh, dan belum prepare [menyiapkan] pekerjaan baru,” ujarnya kepada BBC News Indonesia.

“Bisa apa dong saya? Mikirin rencana berikutnya enggak bisa, kalaupun cari kerjaan baru enggak bisa sesingkat itu.”

Olyvia sebetulnya sudah dua kali kena PHK.

Pertama, pada 2022 oleh perusahaan startup atau platform pendidikan online. Dan terakhir pada Juli 2024.

Waktu itu, dia bercerita dipanggil oleh atasannya untuk bicara empat mata. Di sana Olyvia diberi tahu bahwa perusahaan sedang melakukan efisiensi dan namanya masuk dalam daftar yang harus diberhentikan.

Mendengar penjelasan itu, ia hanya bisa diam. Mencoba mencerna apa yang disampaikan atasannya. Hingga akhirnya dia menandatangani surat pemutusan hubungan kerja tersebut.

“Orang-orang bilang PHK kedua harusnya lebih kuat persiapannya, tapi buat saya kondisi sekarang berbeda,” ungkapnya kesal.

“Dulu pas di-PHK tahun 2022, support systemnya ada karena banyak yang bernasib sama… tapi sekarang saya ngerasa sendirian. Teman-teman dekat saya di kantor mengira saya resign, bukan kena PHK. Ketidakterbukaan ini yang saya sesali.”

Baca juga:

  • Produk China membanjiri Indonesia, puluhan pabrik tekstil tutup dan badai PHK – ‘Kondisi industri tekstil sudah darurat’
  • Nasib jadi kelas menengah di Indonesia – Banting tulang, makan tabungan, dan penuh kekhawatiran

Selain dirinya, ada lima pekerja lain yang kena PHK. Tapi kekhawatiran bakal terjadi pemutusan hubungan kerja, sambung Olyvia, sebetulnya sudah tercium sejak akhir tahun 2023.

Saat itu, bonus tahunan yang biasanya diberikan dalam jumlah besar dipangkas setengah. Kemudian beberapa rekan kerjanya juga berhenti bekerja secara tiba-tiba tanpa penjelasan apakah mengundurkan diri atau diPHK.

“Saya jadi menaruh curiga kok banyak yang pamit, ini beneran resign atau kena layoff?” imbuhnya.

Soal pesangon, Olyvia hanya menerima sebanyak dua kali gaji ditambah upah yang dihitung secara proporsional.

Uang itu, katanya, akan disimpan kalau-kalau selama beberapa bulan ke depan belum mendapatkan pekerjaan baru.

Yang pasti sekarang dia harus berhemat.

“Paling berasa itu nongkrong sama teman dikurangin, dulu kan kalau diajak selalu mau… terus uang bulanan yang dikasih ke orang tua juga pastinya enggak bisa sebesar dulu.”

Nabila, pekerja perempuan usia produktif di Jakarta juga bernasib sama.

Ia diPHK oleh salah satu perusahaan startup e-commerce terbesar di Indonesia pada awal Agustus lalu karena alasan ingin mengubah arah bisnis.

“Saya masuk gelombang pertama yang kena PHK, tiga minggu kemudian gelombang kedua,” ujar Nabila kepada BBC News Indonesia.

Di tim Nabila, total ada 14 orang yang diputus kerjanya.

Namun, kata dia, yang namanya pemutusan kontrak atau PHK massal sudah berlangsung sejak akhir tahun 2022.

Melihat situasi begini, perempuan yang sedang mendaftar untuk posisi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) ini, berkata agak sedikit was-was tapi merasa pasrah kalau suatu hari mesti diberhentikan.

Sebab fenomena serupa juga terjadi di startup lain, klaimnya.

“Jadi tiap bulan pasti ada silent layoff, diPHK tapi statusnya resign.”

Baca juga:

  • Iuran pensiun tambahan wajib akan potong upah pekerja – Apa bedanya dengan iuran BPJS-TK?
  • ‘Saya merasa nggak ada jaminan kepastian kerja’ – UU Ciptaker dituduh ‘mempermudah’ PHK sepihak

“Awalnya tahu kena PHK ya pengen tahu parameternya apa. Pas tahu bukan saya aja yang kena tapi semua editor, saya berasumsi mungkin perusahaan mau memperkecil tim aja.”

Dua tahun bekerja, Nabila mengaku mendapatkan pesangon sebanyak tiga kali gaji. Hanya saja perusahaan membayar dengan mencicil selama empat bulan tanpa alasan yang jelas.

Pesangon pertama turun September ditambah upah di bulan terakhir kerja. Pesangon berikutnya di Oktober dan seterusnya sampai Desember.

Meskipun dicicil, dia bilang tak keberatan asalkan pembayarannya lancar.

“Anggap aja kayak digaji perbulan. Secara keuangan belum berpengaruh sih, masih kayak biasa. Tapi sepertinya pengeluaran harus lebih ketat aja, kalau mau jalan-jalan atau makan di luar dikurangin,” ujarnya.

Kemnaker: Hingga Agustus 2024 ada 46.000 PHK

Olyvia dan Nabila adalah dua di antaranya 46.240 pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) berdasarkan catatan Kementerian Ketenagakerjaan pada periode Januari hingga Agustus 2024.

Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker, Indah Anggoro Putri, mengatakan dari angka PHK itu paling banyak terjadi di Jawa Tengah.

Kemudian disusul Jakarta, dan Banten.

Putri juga mengatakan ada sekitar 7.400 pekerja di Jakarta yang mengalami PHK pada periode tersebut.

Sedangkan di Jawa Tengah, pekerja yang banyak mengalami PHK di sektor manufaktir, tekstil, hingga industri pengolahan.

“Manufaktur, tekstil, garmen, alas kaki. [Sementara] kalau di Jakarta kebanyakan [di sektor] jasa. Restoran, kafe, itu jasa banyak,” tutur Putri usai rapat kerja dengan Komisi IX di DPR RI.

Adapun di Banten, PHK banyak terjadi di industri petrokomia.

Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, berharap angka PHK tahun ini tidak melampaui tahun sebelumnya yang mencapai 64.855 pekerja.

Karenanya Kemnaker, klaim Ida, akan melakukan mitigasi agar gelombang PHK tidak terus bertambah besar. Caranya dengan mempertemukan manajemen dengan pekerja untuk berunding.

Upaya lain adalah membuka lowongan pekerjaan lewat bursa kerja nasional. Ida menyebut ada 178.000 lowongan pekerjaan yang dibuka dalam bursa kerja yang diselenggarakan Kemnaker beberapa waktu lalu.

‘Gelombang PHK diperkirakan terus membesar’

Tapi Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBI), Elly Rosita, mengatakan harapan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah untuk menekan gelombang PHK sepertinya bakal pupus.

Sebab berdasarkan laporan yang masuk ke KSBI, sudah hampir 50.000 buruh terkena PHK -mayoritas dari industri tekstil dan garmen.

Dari ribuan itu, klaimnya, masih sangat banyak yang belum mendapatkan pesangon dengan alasan perusahaan harus membereskan piutangnya terlebih dahulu ke pihak bank.

Baru setelahnya membayar pesangon buruh.

“Dan yang bikin kesal buruh itu perusahaan ujug-ujug berhenti beroperasi. Seumpama ada pemberitahuan enam bulan sebelumnya kan, buruh bisa negosiasi atau setidaknya mencari pekerjaan baru,” ujar Elly kepada BBC News Indonesia.

Elly memperkirakan gelombang PHK tidak akan berhenti.

Pengamatannya mulai banyak perusahaan dinyatakan pailit atau akhirnya pindah ke daerah lain yang upah minimumnya lebih kecil.

Dan situasi seperti ini, sebutnya, tak lepas dari UU Omnibus Law Cipta Kerja yang sangat memudahkan perusahaan melakukan PHK lantaran tidak ada ketentuan berapa kali PKWT atau status kontrak bisa diperpanjang.

Baca juga:

  • MK tolak gugatan diskriminasi dalam lowongan kerja – Kesaksian dua pemuda yang menganggur gara-gara batasan usia di lowongan kerja
  • Mengapa beberapa perusahaan terus merekrut pegawai muda dengan gaji rendah dan tuntutan kerja tinggi?

Selain itu penggunaan tenaga outsourcing atau alih daya juga tak dibatasi pada bagian pekerjaan tertentu.

“Bahkan upah sektoral kan dihapuskan, padahal itu basis yang selama ini menguntungkan buruh.”

Dia juga menyebut sejak UU Cipta Kerja disahkan pada tahun 2020, belum ada pembukaan pabrik baru yang bisa menyerap ribuan tenaga kerja.

Kalau pun pemerintah mengeklaim angka pengangguran turun 4,82% pada Februari 2024, itu bukanlah disebabkan adanya lapangan pekerjaan baru, menurut Elly.

“Para pengangguran beralih jadi pengemudi ojek online, itu kan bukan lapangan kerja… karena mereka enggak ada jaminan sosial, upah minimum, dan enggak ada pesangon.”

“Jadi di mana lapangan pekerjaan yang pemerintah janjikan?”

‘Tidak ada pembangunan pabrik secara masif di zaman Jokowi’

Pengamat ekonomi dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, sependapat. Ia memperkirakan angka PHK pada tahun ini bakal melampaui tahun sebelumnya.

Ia menguraikan beberapa faktor mengapa sejumlah perusahaan gulung tikar atau memilih untuk menyimpan modalnya ketimbang membuka usaha baru.

Pertama, karena masih tingginya suku bunga yang berpengaruh terhadap tingkat biaya dana dan biaya modal.

“Kalau uang dinilai terlalu mahal untuk dijadikan modal usaha atau mengekspansi bisnis, maka itu sangat berdampak pada tingkat pekerjaan, pengangguran, dan PHK,” jelas Andri.

“Intinya seberapa mahal satu rupiah digunakan untuk berinvestasi.”

Sampai saat ini Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan 6,25%. Adapun suku bunga deposit facility 5,50% dan suku bunga lending facility 7%.

Mengutip siaran pers BI, keputusan ini konsisten dengan fokus kebijakan moneter yang pro-stabilitas, yaitu untuk penguatan lebih lanjut stabilisasi nilai tukar rupiah.

Faktor kedua, karena daya beli masyarakat yang turun.

Seperti diketahui sejumlah pengusaha tekstil dan garmen mengeluhkan sepinya pasar domestik gara-gara serbuan produk impor dari China.

Sementara pasar global masih mandek akibat konflik geopolitik yang terjadi di Ukraina dan Rusia.

“Dulu pasar ekspor Indonesia adalah AS, Eropa, dan Jepang, tapi negara-negara itu juga mengalami masalah yang sama seperti kita akibat banjir produk China.”

Baca juga:

  • Mengapa pekerja muda banyak yang sudah menjadi influencer karier di media sosial?
  • Cerita pekerja Gen Z dipecat karena gunakan bahasa kasual di kantor, mengapa tidak semua perusahaan bisa menoleransi?

Faktor ketiga, UU Cipta Kerja.

Pengamatannya sejak UU ini diberlakukan nyaris tidak ada lapangan kerja baru skala besar yang tercipta. Kalaupun ada, dari sektor padat modal sepeti tambang.

Yang terjadi justru, sebutnya, para pengusaha diuntungkan karena bisa menekan pengeluaran melalui keringanan membayar hak-hak pekerja dan bisa sesukanya mengontrak pekerja.

“Faktanya begitu, lapangan kerja yang dihasilkan dari UU Cipta Kerja sangat sedikit dibandingkan ketika investasi dijalankan dengan sesuai norma ketenagakerjaan sebelumnya.”

“UU ini bahkan memudahkan PHK.”

“Kalau pemerintah mengeklaim Penanaman Modal Asing (PMA) dalam lima tahun terakhir di lima besar, tapi uangnya tidak menetes ke masyarakat kecil atau ekonomi lokal.”

Itu mengapa Andri menilai “tidak ada bisnis yang aman dari risiko PHK” saat ini.

Berkaca pada situasi tersebut, Andri menilai PHK akan terus membesar alias tak bisa dibendung. Apalagi jika pemerintah tak melakukan intervensi apapun pada tingkat suku bunga.

Perhitungannya angka PHK bisa di atas 70.000 kasus pada akhir tahun 2024.

“Kalau Januari-Agustus saja sudah di atas 45.000, maka bisa saja terjadi kenaikan 20% dibanding PHK tahun lalu yang mencapai 64.000 kasus, jadi sangat bisa di atas 70.000 orang terkena PHK,” ujarnya.

“Tapi andaikan suku bunga turun, cost of capital pasti akan dipertahankan, karena sudah di akhir-akhir tahun… mereka [pengusaha] akan tetap memPHK massal.”

Baca juga:

  • Biaya hidup terus naik, apakah usia pensiun bisa bergeser?
  • Benarkah Gen Z tidak tertarik dengan ‘pekerjaan bergengsi’?

Ekonom dari Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, juga menuturkan UU Cipta Kerja tidak ada gunanya karena tidak ada investasi yang masuk membawa penyerapan tenaga kerja yang besar.

Sektor industri, kata dia, porsinya terus menurun dibandingkan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

Dari 22% di tahun 2010-an awal, sekarang hanya 18% di era Presiden Jokowi.

“Praktis tidak ada pembangunan pabrik secara masif di zaman Jokowi. Malah yang jamak terjadi adalah PHK,” bebernya.

Apa strategi pemerintahan Prabowo-Gibran atasi PHK?

Para pengamat ekonomi dan organisasi buruh menyebut masifnya PHK dan minimnya lapangan pekerjaan baru menjadi PR besar pemerintahan presiden-wakil presiden terpilih Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka.

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBI), Elly Rosita, bahkan menantang presiden terpilih Prabowo harus bisa membuat gebrakan di isu ketengakerjaan.

“Utamanya memastikan pekerjaan tersedia,” ucap Elly.

Merespons persoalan ini, penasihat ekonomi tim Prabowo-Gibran, Dradjad Wibowo, mengatakan untuk jangka pendek pemerintahan Prabowo sebutnya akan meninjau ulang kebijakan-kebijakan yang bisa mengganggu konsumsi kelas menengah seperti misalnya penerapan PPN 12%.

Kemudian memperbanyak pelatihan untuk vocational skills bagi anak-anak muda. Baik untuk pekerjaan-pekerjaan mekanik, industri, hingga berbagai jasa.

Terakhir, menggunakan standarisasi untuk peningkatan produktifitas tenaga kerja.

Leave a comment