Informasi Terpercaya Masa Kini

Demonstran Itu Tewas di Gunung Semeru, Catatan Rudy Badil Mengenang Kematian Soe Hok Gie

0 11

Rudy Badil menuliskan kenangan-kenangan terakhirnya dengan sahabat sekaligus dosennya di FSUI, Soe Hok Gie, yang tewas di Gunung Semeru.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

Intisari-Online.com – 16 Desember 1979 demonstran legendaris Soe Hok Gie mengembuskan napas terakhirnya, tak jauh dari kawah Gunung Semeru, di Jawa Timur sana. Bersama salah satu karibnya, Idhan Lubis, Hok Gie tewas setelah menghirup belerang dari puncak tertinggi Pulau Jawa itu.

Rudy Badil, salah satu rekan seperjalanannya dalam pendakian tersebut, menulis sebuah kenang-kenangan untuk Sang Demonstran, yang di Majalah Intisari pada Desember 1994. 

 

DEMONSTRAN ITU TEWAS DI GUNUNG SEMERU

 

Pertama-tama biasa-biasa saja, saat melihat Herman O. Lantang yang memimpin pendakian itu turun sendirian, tergesa-gesa di lereng pasir dan batuan. Muka Herman yang memang keras, kali itu tampak sangat kaku dan tegang sekali. Tanpa kalimat panjang Herman berkata kepada Aristides Katoppo (Tides), lebih kurang begini: “Soe sama Idhan kena kecelakaan. Soe dan Idhan sudah meninggal.”

Meninggal! Tides, Fred Lasut, Wiwiek A. Wiyana, dan saya, terus terang mulai kaget. Namun tetap masih tak yakin berita dari Herman yang suaranya mulai lirih. Maman A. Rachman yang kelihatannya masih shock, karena baru saja jatuh bergelinding cukup jauh ke suatu lembah cukup dalam, hanya terdiam menunduk dan entah mendengar atau tidak berita Herman itu.

Tides sebagai anggota tertua dengan sabar mengajak Herman bicara lagi. Entah apa pembicaraannya, karena suara angin di ketinggian 3.200-an meter meniup bunyi perbincangan itu. Yang terasa sekali di sore menjelang magrib tanggal 16 Desember 1967, justru kepala terasa agak pusing, perut lapar, dan leher kering.

Belum lagi tusukan hawa dingin di tanah bebatuan yang membatasi daerah gundul dengan tegakan pohon cemara terakhir, makin bikin pikiran bingung dan menghambat mulut untuk bertanya lebih jauh – perihal “kecelakaan” yang diberitakan Herman.

Sehari menjelang ultahnya

“Kalau begitu, sebaiknya kita semua stand-by di sini. Segera kita atur tindakan darurat,” kira-kira begitu ucap Tides. Akhirnya rapat memutuskan begini. Tides dan Wiwiek harus turun sore itu juga, mencari bantuan darurat terdekat–entah di Gubuk Klakah atau Ranu Pane di bawah sana. Herman, Fred, dan saya, ditentukan tetap berada di daerah gundul.

Perbekalan yang hanya tersedia untuk 8 anggota untuk satu hari, dibagi rata dan dihitung cermat. Kalau tak salah ingat, sebotol air segar berikut beberapa pil vitamin C, sekitar 6 lempeng biskuit, sebongkah kue kacang hijau makanan ABRI, dan entah lainnya lagi, menjadi bekal buat Tides dan Wiwiek yang harus segera turun gunung–berikut satu senter.

“Kasih sweater ini untuk Maman pakai,” kata Tides menanggalkan pakaian hangatnya. “Tolong lihat Soe dan Idhan, juga jaga Maman. Mari kita berdoa untuk keselamatan semuanya.”

Malam itu dingin sekali: embun tebal dan gerimis tipis, teralang selembar ponco yang direntangkan sebagai atap darurat. Tanah bebatuan yang diratakan sedikit, menjadi pelataran bermalam. Kami yang tersisa itu, terdiam dan hanya sesekali saja berbicara. Herman yang berkali-kali terjaga, sempat duduk membetulkan satu-satunya selimut untuk menutupi sekujur badan Maman. Mungkin Herman juga sempat bilang:

“Kalau sekarang sudah lewat pukul 12 malam, artinya Soe berulang tahun. Tapi kenapa ada kejadian itu? Mari kita berdoa, mudah-mudahan mereka di atas masih hidup.”

Pagi-pagi sekali, kami terjaga dan bangun. Lamat-lamat Pulau Bali yang terpisah selat sempit, kelihatan dari jauh. Pemandangan di sekeliling kemah selembar ponco itu, seharusnya amatlah permai. Tapi tak ada yang peduli. “Freddy ikut kita ke atas. Lihat Soe dan Idhan, apakah mereka masih bisa tertolong,” ujar Herman. “Kamu jaga Maman dan bereskan perlengkapan. Nanti kita semua turun ke bawah tunggu bantuan Tides dan Wiwiek.”

Entah berapa lama kedua kawan ini ke atas. Tahu-tahu ada kerikil bergelindingan ke bawah. Tak lama terdengar jelas suara tapak langkah dari atas. “Nah, mereka tiba,” kata perasaan hati. Memang benar mereka tiba. Tapi “mereka” itu cumalah Herman dan Fred. Muka murung kedua sahabat ini, makin memurungkan suasana saat Fred dengan perlahan bilang: “Betul. Hok Gie dan Idhan sudah meninggal. Idhan meninggal di lereng agak lebih atas dari Hok Gie. Mari kita turun dulu.”

Tunggu bantuan tiba

Jadi sudah pasti Idhan dan Hok Gie telah meninggal. Herman dengan keras dan tegas, mengajak kami turun ke basecamp yang kami tinggalkan di dekat Ranu Pane. “Kita sudah kehabisan perbekalan, juga tak ada peralatan untuk bertenda yang memadai. Kita turun dulu, nanti bawa perlengkapan dan perbekalan, terus naik lagi. Kita harus bawa pulang Soe dan Idhan,” ucap Herman.

“Kamu dampingi Maman. Tadi pagi Maman sudah dikasih sarapan?” tanyanya soal sarapan yang tersisa cuma sebatang cokelat, satu bungkus Supermi kering, kue kacang hijau, dan sisa air kakao campur air hujan.

Hampir setengah hari kami menuruni lereng curam yang tadinya cuma didaki sekitar dua jam. Setibanya di kaki Gunung Jambangan yang masih cukup jauh ke tepian danau perkemahan, Herman menghentikan perjalanan dan membangun bivak darurat di sela robohan batang pohon besar. Nyala korek api terakhir, berhasil membuat api penerang di lentera minyak.

Sore itu seperti biasanya, hujan turun lagi. Kucuran air hujan ditampung, padahal sebelumnya Herman sudah menadah tetesan air di Sumber Mani.

Lagi-lagi malam yang sepi. Pikiran hanya berkisar soal kenapa begini dan begitu. Yang jelas bagi kami berempat, tahu sekali Hok Gie dan Idhan sudah meninggal. Sudah dua hari dua malam, mereka terpisah. Kami tidur-tiduran sambil menahan dingin dan lapar, sedangkan Hok Gie dan Idhan dalam lamunan samar-samar, pasti sedang terebah di alam Semeru yang serba hening. Mereka pasti kesepian – kami juga.

Sempat terbayang, Hok Gie hari itu seharusnya sedang ceria berulang tahun ke-27. Idhan yang jangkung dan agak kurus berotot, mungkin lagi mengganggu Hok Gie dengan nyanyian lagu Panjang Umurnya. Namun bayangan itu terjawab dengan kenyataan. Kedua teman ini saat itu sedang terbaring sendiri-sendiri, jauh dari rumah dan keluarganya. Tubuh mereka yang tiada bunyi degup jantung lagi, sedang telentang beberapa ratus meter di atas kami.

Kedua almarhum ini, hanya tidur beralaskan pasir Semeru. Badannya pun cuma berselimutkan debu bekas letusan kawah Jonggring Selaka dan halimun tebal–mungkin juga titik air hujan. Wajah Hok Gie dan Idhan, pasti masih segar. Namun paras muka mereka, pasti tersengat sorotan matahari di tanah tertinggi di Pulau Jawa ini. Atau menadah cahaya bulan. Kami berusaha tidur meringkuk di tanah basah.

Hok Gie dan Idhan pasti terbaring damai tanpa usikan. Tangan kami bersilang ke dada, agak gemetaran karena dingin. Tangan mereka juga bersilang ke dada – tanpa gerak.

Surat Tides untuk Herman

Hari ketiga tanpa kegiatan apa-apa. Herman yang tetap segar saat itu baru sadar, goresan tajam batu gunung sudah merobekkan celana tebal sekaligus kulit pantatnya. Luka itu tak kami perhatikan, karena perhatian kami lebih tertuju terhadap Maman yang makin kurang sehat. Hari keempat menjelang agak sore, lapat-lapat terdengar suara manusia.

Herman bergegas keluar, sambil berteriak gaya orang Dani dari Jayawijaya. Teriakan disambut teriakan juga. Makin dekat, akhirnya muncul tenaga bantuan sekitar 10 orang – kalau tak salah.

Mereka menawarkan sisa nasi jagung dingin dan secuil ikan asin. Maman dipaksa Herman untuk menelan makanan itu. Guru Mulyadi (entah di mana beliau sekarang berada) dari SD Gubuk Klakah di Kecamatan Tumpang, memberikan secarik kertas kecil – surat dari Tides itu salinan lengkapnya begiri:

18-12-69

Herman,

Kita sampai di Gubuk Klakah hari Kamis pagi, ± djam 5.30 sesudah berdjalan sepanjang malam (± 20 djam).

Pak Lurah menjanggupi tenaga bantuan 10 orang dan bekal. Mohon kabar bagaimana Soe, Idhan, juga Maman dll. Kalau perlu ditandu kemari. Satu orang dapat dikirim mendahului rombongan utk kirim berita, supaja kita sekaligus membawa makanan.

Kami harap dan doakan agar semuanja selamat dan agar Tuhan memberi kekuatan lahir dan batin, kepada Sdr2 utk kembali ke Gubuk Klakah. Wiwik dan saja sekalipun agak ketjapaian, sekarang sehat2 sadja. Mohon kabar setjepatnja ttg Soe, Idhan. Bagaimana keadaan Sdr. Maman dan kondisi you, Badil dan Freddi? Harap kirim kurir setjepatnya mendahului rombongan dengan berita.

Kita menanti dan mendoakan keselamatan Sdr2.

Tides & Wiwik

Surat Tides itu mengejutkan kami. Sebab Tides dan Wiwiek rupanya tetap berharap Hok Gie dan Idhan cuma terkena musibah–bukan maut. Herman yang terkenal galak sebagai senior di perpeloncoan UI, mengeluarkan “instruksi” kerasnya.

“Besok kalian turun, bawa Maman dan bikin usungan,” katanya. Keesokan paginya, Fred dan saya bergegas meminta tenaga bantuan untuk membuat usungan darurat dari rangka besi ransel plus dua batang kayu pemikul.

“Tinggalkan lima tenaga bantuan. Kami akan naik ke atas lagi untuk membawa Idhan dan Hok Gie turun. Nanti titip surat buat Tides. Jangan lupa turun sekarang juga ke Gubuk Klakah. Sisa makanan sediakan buat Maman,” kira-kira begitu suara lantang Herman O. Lantang.

Entah apa yang dibuat Herman setelah kami bersama 5 tenaga bantuan turun ke arah Ranu Pane. Rombongan berikut Maman yang duduk di usungan ini, berjalan amat perlahan. Akhirnya saya memutuskan untuk turun duluan ke bawah, setelah membungkus surat Herman dengan plastik.

Surat Herman buat Tides dan Wiwik, ditulis rapi dan jelas. Isi lengkapnya begini:

Tides, Wiwik dan saudara2-ku jang kekasih,

Saya tunggu di “Tjemorokandang” dan bermaksud menundjukkan “site” tempat djenazah Idhan dan Soe kepada Team penolong. Kalau bisa kirimkan: gula/gula Djawa, nasi, lauk, permen, pakaian hangat, vit. C. sebanjak mungkin! Kita semua lemah dan penuh dosa, tetapi kiranja Tuhan tetap menolong kita. Doakan kekuatan tubuh dan djiwa bagiku.

Salam doa, Herman O. Lantang, 20 Des. ’69

 

Diusung dan terbungkus plastik

Guru Mulyadi menemani saya ke Gubuk Klakah. Berat juga meninggalkan Maman–kakak kelas di antropologi FSUI–yang lagi tak sehat itu. Namun Fred memberikan semangat dan antara lain bilang: “Gua yang jagain Maman. Lu cepat ke Gubuk Klakah minta bantuan dari Tides, sampai ketemu di sana dan baik-baik di jalan.”

Perut yang sudah berhari-hari tak terisi makanan sehat, bikin badan sempoyongan juga. Pak Guru yang kuat jalan di malam gelap itu mengajak mampir sejenak ke rumah Pak Sumami–kamituwo Dukuh Ranu Pane. Hidangan setumpuk kentang rebus, bergelas-gelas kopi jagung, serta pakaian hangat pinjaman Pak Sumami, rasanya cukup memberi tenaga ekstra berjalan kaki lagi menuju Gubuk Klakah–mungkin masih 20-an kilometer lagi.

Menjelang subuh, kami tiba juga di muka rumah Pak Binanjar, lurah Gubuk Klakah. Kampung masih sepi, terpaksa saya memukul kentongan.

Tides dan Wiwik keluar, ternyata Idat Lubis kakak Idhan serta Arief Budiman kakak Hok Gie, bersama Ben Mamoto dan Josi Katoppo serta beberapa kawan akrab Soe dari Jakarta, ada di sana juga. Saya basa-basi sejenak, sambil kasih surat buat Tides. Setelah itu semuanya sepi, sepi sekali, karena saya tertidur pulas dari pagi sampai magrib.

Esok harinya, saya lagi-lagi diperintahkan ikut Tides, turun ke Kota Malang. Langsung menuju lapangan terbang dan menghadap perwira TNI-AU. Katanya, saya akan ikut terbang, sebagai penunjuk lokasi musibah di Gunung Semeru. Pesawat sudah siap, untung cuaca buruk.

Sore hari esoknya lagi, rombongan Maman dan Fred tiba di Gubuk Klakah. Maman yang badannya dibalut selimut dan ditutupi plastik, kelihatan memelas sekali. Jenggot dan kumisnya sudah melebat. Dia langsung dibawa ke RS Claket Malang untuk dirawat beberapa hari. Kami dan rombongan lainnya memonitor radio komunikasi. Beritanya: Herman bersama belasan tenaga lokal, berhasil menurunkan jenazah Hok Gie dan Idhan ke bawah gunung dan siap turun ke Gubuk Klakah.

Di hari lainnya, saya ikut sebagian rombongan Jakarta turun ke Malang. Membantu persiapan untuk penerimaan jenazah kedua rekan almarhum. Sementara di Gubuk Klakah, menjelang sore hari, jasad Hok Gie dan Idhan yang terbungkus plastik, masing-masing digotong pada sebatang kayu usungan, tiba di desa itu.

Pakai baju ultah

Malam hari itu, jenazah Hok Gie dan Idhan dibawa ke RS Claket dan divisum. Kami kemudian melihat kedua jenazah itu. Idhan yang mantan ketua KAPI Jaya (bukan KAPPI) di masa ’66 masih mengenakan celana putih, kaus, dan jaket hitamnya – tapi salah satu sepatu mahasiswa Untar ini sudah terlepas.

Hok Gie pun masih berpakaian yang sama. Sahabat pendakian gunung dan Pak Dosen mata pelajaran “dokumentasi dan cara penulisan ilmiah” (kalau tak salah) ini, mengenakan kaus kuning berkerah dengan lambang UI di kantongnya, pakai jeans serta sepatu bot baru bawaannya dari AS.

Pakaian yang dibanggakan Hok Gie ini ada ceritanya. Sebab menjelang berangkat ke puncak, Hok Gie yang biasanya senang bercelana pendek tiba-tiba mengenakan pakaian “keren” untuk ukurannya. Mukanya yang “polos” macam anak kecil ini, terlihat agak malu-malu dan kira-kira dia pernah bilang:

“Ini pakaian buat hari jarig gua dong. Sayang gua ulang tahunnya besok ya, tapi siapa tahu besok kita masih di puncak Semeru.” Ternyata memang, Hok Gie masih mengenakan pakaian itu selewat hari ultahnya – sampai ke kamar jenazah.

Sayangnya, wajah kedua almarhum ini, sudah sembab dan agak kehitaman – rupanya cukup lama berbaring terlentang di atas gunung. Arief Budiman dan Idat Lubis tetap tabah melihat keadaan adik masing-masing. Katanya, Arief dan Idat pun tetap tenang dan hanya terdiam lama sekali, saat memapak kedatangan adik-adiknya yang sudah berwujud jenazahnya. Mungkin kedua kakak lelaki ini, agak kaget dan tak mengira harus menjumpai kedua adik dalam usungan, serta tubuh dibalut rapat-rapat plastik.

Wakil kedua keluarga ini berembuk, malam itu juga jenazah dibawa ke rumah keluarga Lubis di Malang. Mereka berdua disembahyangkan secara Islam. Kedua jenazah dalam peti itu, berbaring berjajaran – seperti saat mereka jalan berjajaran mendaki atau menuruni lereng gunung beberapa hari sebelumnya.

Suasana perkabungan mulai terasa, saat kiriman bunga duka berdatangan, termasuk telegram, interlokal, serta kunjungan pejabat dan rekan pencinta alam Malang. Keesokan harinya, 24 Desember 1969, pesawat Antonov TNI-AU mendarat dan menerbangkan rombongan berikut dua jenazah ini ke Bandara Kemayoran. “Ini peti jenazah Soe Hok Gie. Saya kenal namanya, sebab saya suka sama tulisannya,” ujar pilot Antonov sambil menyatakan belasungkawanya.

Setibanya di Jakarta, hari Rabu tengah hari, Hok Gie dan Idhan dibawa sejenak ke rumah masing-masing. Lalu dibawa dan disandingkan lagi ke Teater FSUI Rawamangun yang sesak dengan pelayat yang umumnya aktivis mahasiswa Jakarta dan Bandung, sarjana, cendekiawan, tokoh masyarakat serta beberapa pembesar.

Perihal si Cina Kecil

“Di hadapan kita terbaring seorang pemuda, seorang Indonesia yang banyak berjasa pada masyarakat dan negaranya. Dengan gigih ia memperjuangkan cita-citanya dengan berani ia memajukan pendapat-pendapatnya, mendiskusikan ide-idenya, mengambil tindakan … banyak orang mengira ia hendak merugikan mereka dan mereka mengecam, mengutuk, menentang pemuda ini. Bukanlah maksud Soe Hok Gie merugikan mereka ini. Ia hanya menuntut keadilan, ia hanya menghendaki perbaikan … Kita hormati sekarang ini bukanlah Soe- Hok Gie dan Idhan Lubis. Kita hormati di sini cita-cita kedua pemuda ini. Cita-cita yang tinggi, cita-cita yang seolah-olah takkan dapat dicapai. Hok Gie. Perjuanganmu takkan sia-sia. Selamat jalan, selamat jalan bersama temanmu Idhan Lubis … selamat jalan ke mana saja kamu berdua pergi,” ujar Dr. Harsja W. Bachtiar selaku dekan FSUI waktu itu.

Nugroho Notosusanto – dosen sejarah dan pembimbing skripsi Hok Gie tentang pemberontakan PKI Madiun, dalam wawancara menyatakan: “Dia adalah seorang jujur dan berani. Dan mengerikan karena ia maju lurus dengan prinsip-prinsipnya yang tanpa kenal ampun … Makanya sering kali ia bentrok karena dianggap tidak taktis.”

Bagi Yap Thiam Hien, S.H. (almarhum) sebagai senior dan kawan baik Hok Gie, komentarnya singkat. “Bagi saya ia adalah eksponen atau wakil dari Angkatan Muda yang merupakan Spes Patriae atau Harapan Bangsa. Pada tunas muda seperti dialah terletak masa depan bangsa. (Kompas, 25 Desember 1969)

Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo selaku Mendag RI saat itu, tak risih di muka pelayat lainnya bilang: “Saya mengenal Soe Hok Gie secara pribadi, dia itu patriot sejati.” Malah Goenawan Mohamad sebagai sobat kental Hok Gie serta wakil dari Harian KAMI, blak-blakan bilang: “Bagi saya hanya ada dua pahlawan, Zainal Zakse dan Soe Hok Gie.”

Sebuah harian besar ibu kota bahkan mengulas khusus perihal Hok Gie dalam tulisan obituarinya.

Kami teringat Soe Hok Gie yang tulisannya untuk surat kabar, sering ditolak karena dianggap tidak oportunis, kurang taktis, akan mengguncangkan publik dsb … bagi kami sendiri, Soe Hok Gie adalah seorang idealis “tanpa perhitungan” dalam arti bahwa ia tidak pernah memperhitungkan siapa yang akan dihadapinya, berapa banyak jumlahnya, berapa besar kekuatan dan pengaruhnya. Sebab ia hanya percaya kepada kekuatan supremasi kekuatan moral.

Masih ada sambungan ulasan itu: Kami membayangkan bahwa seorang idealis “tanpa perhitungan” seperti dia, yang “Berani berpikir benar. Berani berkata benar. Berani bertindak benar. Berani bertanggung jawab – karena benar”, sebagai orang yang, dengan keberaniannya maju terus tanpa kenal ampun – bahwa seorang seperti dia kemungkinan besar sekali waktu akan bertabrakan dan secara fisik akan “punah”.

Tetapi “kepunahan” itu akan berarti kemenangan karena meninggalkan cita-cita dan kekuatan moril yang menghela mereka yang ditinggalkan … dan inilah yang terjadi Soe Hok Gie, sekalipun ia tidak meninggal di medan demonstrasi tahun 1966.

Buat teman-temannya mantan mahasiswa sealmamater (Hok Gie lulusan jurusan sejarah FSUI 12 Mei 1969) atau konco-konconya di Mapala FSUI, Hok Gie atau dipanggil juga Soe memang pemikir jempolan dan juga pendaki tangguh. “Dasar Cina Kecil, biar kecil tapi otak dan ototnya kuat,” kata satu rekan karibnya. Julukan ini tak aneh baginya.

Malah pemuda Indonesia yang namanya masih tiga suku kata ini, ogah mengganti namanya. Dia pernah berkata enteng: “Kalau gua ganti nama, nanti nggak ada julukan Cina Kecil lagi di FSUI,” ujar anak keempat dari keluarga sederhana yang lahir di Jakarta. Soal kelahirannya, Hok Gie mencatat sekilas saja di buku hariannya: “Saya dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942 ketika perang tengah berkecamuk di Pasifik”.

Bicarakan soal kematian

Bujangan agak kurus kecil yang rambut berubannya selalu bercukur model cepak pendek, memang anak sederhana. “Kalau Hok Gie pakai baju kotak-kotak hijau, artinya dia mau ke pesta. Bila kemejanya hijau kotak-kotak, artinya ada acara penting. Ya, kemeja yang cuma satu itu, mungkin satu-satunya pakaian upacara,” begitu seloroh rekan-rekannya.

“Apanya yang dibanggakan? Mukanya baby face, tapi nggak keren. Duitnya cekak, kecuali kalau dapat honor tulisan. Gajinya berapa? Dia ‘kan pegawai negeri yang antikorupsi. Tapi pikiran dan kata-katanya, itu yang keren. Puisinya bagus-bagus, tapi dia bodoh sekali soal merayu perempuan. Cewek orang lain bisa dikelesin, tapi begitu dia naksir apalagi berani jatuh cinta – ya jadi bodoh. Makanya dia bangga menjadi ketua kehormatan POBTE alias Persatuan Orang Bodoh Tapi Enak, ya bodohnya saja. Yang enak-enak soal perempuan, dia ogah gue yakin,” kata bekas seorang teman akrabnya.

Tindak tanduknya sebagai pimpinan aksi mahasiswa, harus diacungi jempol. Walau tak masuk KAMI, Hok Gie tetap disegani pimpinan formal mahasiswa Angkatan ’66. Pergaulannya amat luas. “Ibaratnya pendekar silat tak bernama, tapi kehadirannya di dunia persilatan diperhitungkan. Relasinya luar biasa.

Pergaulannya ibarat orang meniti tangga, bisa naik-turun dari bawah sampai atas. Soal berani ya relatif, di hutan dan gunung dia memang jarang takut. Tapi keberanian intelektualnya yang terasa, bukan berani kayak jagoan. Dia tak pernah berkelahi tonjok-tonjokan. Nyetir sepeda motor dan mobil, nggak becus. Bisanya cuma naik sepeda dan genjot becak,” komentar rekan dekatnya.

Kesibukan Hok Gie sehari-hari memang padat. Makanya dia selalu membawa buku untuk mencatat jadwal hariannya. Janji baginya merupakan kata kesepakatan dua pihak atau lebih. Kalaupun terlambat (zaman itu telepon terbatas, kendaraan umum tak banyak – kecuali becak), Hok Gie akan datang dan pasti meminta maaf dan menjelaskan alasan aslinya. Tapi kalau janji itu dilanggar, Hok Gie akan menegur dulu sebelum melanjutkan pembicaraannya.

Rumahnya yang sederhana di daerah Kebun Jeruk dekat Jakarta Kota, selalu terbuka bagi teman dekat untuk ngobrol dan bermalam di kamarnya yang sempit dan banyak nyamuk. Dia pun akan mengenalkan satu-satu nama anjingnya yang banyak, termasuk seekor monyet tua jompo kesayangannya.

Suatu saat, beberapa hari sebelum berangkat ke Semeru, setelah Hok Gie bertanya ini-itu perihal perbekalan dan persiapan, ujung-ujungnya dia bilang: “Kematian itu memang harus dipikirkan. Lu apa nggak ngeri? Apalagi kalau mati karena petasan. Gua nggak mau mati gara-gara petasan,” katanya.

Kematian! Kata ini rupanya menjadi catatan tersendiri di buku hariannya: Setelah saya mendengar berita kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian … Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat. (Soe Hok Gie Catatan Seorang Demonstran 1983, halaman 448)

“Nobody Knows My Sorrow”

Selama perjalanan berkereta api Jakarta – Surabaya, Hok Gie dan Idhan tetap larut dalam kegembiraan. Tak ada pertanda istimewa, apalagi Idhan yang agak pendiam dan terbilang “anak baru” dalam kelompok itu (Idhan diajak Herman bergabung dengan tim ini). Bagi Fred, Idhan, dan saya yang terbilang yunior, kami lebih banyak mendengar dan bertanya. Sebab di tim itu sendiri sebenarnya ada “tiga kapten”.

Herman sebagai pimpinan, tak jarang berdiskusi ngotot dengan “Kapten” Tides, atau dengan “Kapten” Hok Gie yang lebih pandai–paling tidak pintar mencari dana tambahan untuk tim ini. “Gua dapat duit ijon tulisan dari Kompas, lumayan Rp30.000,-,” kata lelaki yang senang mendengar cerita jorok, tapi segan omong kotor (kecuali waktu bermalam tahun baru di Gunung Pangrango 1967/1968, Hok Gie sempat dicekoki sampanye oleh Ben Mamoto dan Josi. Dia setengah teler dan tiba-tiba mengumpat dalam bahasa Inggris – kami pun kaget).

Selama perjalanan menuju Semeru, Hok Gie tetap Hok Gie yang ceria dan banyak cerita. Bukan cerita kosong, namun kisah berlatar belakang lagu-lagu entah itu Joan Baez, Bob Dylan, dan penyanyi “lagu protes” lainnya. Dia memang “pengajar” lagu kampus seperti We Shall Over Come dan “pendiri” kelompok folksong kampus. Tapi jangan berharap Hok Gie buka suara. “Dia kentut saja fales, apalagi nyanyi,” begitu seloroh kami terhadap pencinta teater, susastra, dan film apa saja – termasuk pengompor mahasiswa FSUI menonton lenong di TIM.

Di dalam kemah bocor di malam terakhir, kami semua menyantap makanan yang katanya berkalori tinggi, Hok Gie meminta lagi Herman, Fred, Idhan, dan saya berkoor lagu negro spiritual Nobody Knows the Troubles I’ve Seen, Nobody Knows My Sorrow. Dia ikut nyanyi, Tides dan Wiwiek ikutan juga. Menjelang sore di hari naas 16 Desember itu, Hok Gie yang tiba ke puncak paling dulu bersama Tides, Wiwiek, dan Maman, kelihatan bersiap turun kembali.

“Lu cepat turun lagi, Semeru meledak-ledak terus, itu bahaya,” katanya. Di tonjolan tanah di suatu lereng terjal, Hok Gie terduduk. “Pusing ya, mungkin gara-gara gas belerang. Lu turun dulu sama Maman, gua tungguin Herman dan Idhan. Ini batu Semeru dan ini daun cemara yang tertinggi. Pegangin, buat hadiah cewek-cewek di sastra,” kira-kira begitu kata-kata terakhirnya kepada saya.

Hok Gie dan Idhan, tanggal 16 Desember 1969 telah meninggal dunia. Selain sisa kenangan serta buku harian Hok Gie yang dibukukan, kecuali Idhan Lubis – makam pun Hok Gie tak punya lagi. Sebab kuburannya tahun 1974 tergusur proyek DKI Jakarta. Sisa bakaran jasadnya, kami bawa dan raib tertabur di Lembah Mandalawangi.

Nobody knows the troubles I’ve seen, nobody knows my sorrow. Betulkah Hok Gie tak pernah tahu troubles dan sorrow-nya. Apakah Hok Gie dan Idhan yang berumur pendek itu, memiliki troubles dan sorrow sebanyak mereka yang umurnya lebih panjang? Nobody knows, tak seorang pun tahu.

Itulah catatan Rudy Badil tentang sahabat juga dosennya di FSUI itu.

Leave a comment