Informasi Terpercaya Masa Kini

Iftar

0 10

Oleh: Trias Kuncahyono

Beberapa hari lalu, saya menghadiri acara buka puasa (iftar) yang diadakan oleh Kedutaan Maroko untuk Takhta Suci. Maroko adalah salah satu dari 185 negara dan organisasi internasional yang memiliki hubungan diplomatik dengan Takhta Suci. Hubungan mereka secara resmi dimulai tanggal 15 Januari 1976 (hubungan diplomatik Takhta Suci dengan Indonesia, mulai 13 Maret 1950).

Iftar petang itu terasa sangat istimewa. Sebab, selain yang datang dari berbagai kalangan–diplomat, usahawan, cendikiawan, wartawan, rohaniwan, ulama, juga hadir PM Takhta Suci Kardinal Pietro Parolin–juga ada serangkaian pidato dari tokoh Muslim, Katolik, dan Yahudi. Tentu, juga pidato dari duta besar Maroko. Pidatonya pun dalam ragam bahasa: Italia, Inggris, dan Arab.

Semua tokoh yang pidato–termasuk Kardinal Parolin–berbicara tentang persaudaraan, brotherhood, dan mengutip ensiklik Paus Fransiskus Fratelli Tutti, Sulla Fraternita E L’Amicizia Sociale,  “Semua Saudara, tentang Persaudaraan dan Persahabatan Sosial,” tahun 2019?. Semua mengakui bahwa agama-agama itu melayani persaudaraan di dunia bukan memecah-belah.

Keberagaman–termasuk keberagaman Indonesia–adalah kehendak Allah. Karena itu, keberagaman adalah anugerah yang pantas disyukuri. Kalau Allah, Sang Pencipta menghendaki semua sama, niscaya hal itu dengan mudah terwujud.

Baca Juga: SEJAK TAHUN 1300

Tetapi, dalam kenyataan keseharian yang terjadi justru sebaliknya: ada yang berusaha mengingkarinya. Tidak pula bisa dipungkiri ada manipulasi, ada deformasi konsep-konsep demokrasi, kebebasan, keadilan, ada politisasi agama; hilangnya makna komunitas sosial dan sejarah.

Sangat mencolok juga ada cinta diri dan ketidakpedulian terhadap kesejahteraan bersama dan lebih mementingkan kesejahteraan keluarga, kelompok, dan golongan sehingga menambah angka kemiskinan, pengangguran, serta kecemburuan sosial. Masih ada rasisme dan penolakan terhadap imigran. Itu semua bentuk dari pengingkaran terhadap keberagaman.

***

Maka, acara buka puasa oleh Maroko itu mengingatkan kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke Maroko, 30 – 31 Maret 2019. Ini kunjungan kedua seorang paus  ke Maroko. Yang pertama dilakukan pada tahun 1985 oleh Paus Santo Yohanes Paulus II atas undangan Raja Hassan II. Kunjungan kedua dilakukan tak lama setelah pertemuan Paus Fransiskus dengan Imam Besar al-Azhar, Kairo, Ahmed el-Tayeb di Abu Dhabi.

Saat itu di Abu Dhabi, 4 Februari 2019, kedua tokoh besar ini menandatangani Deklarasi Abu Dhabi: Human Brotherhood, for World and Common Coexistence, “Dokumen tentang Persaudaraan Manusiawi bagi Kedamaian Dunia dan Hidup Bersama.” Bisa dikatakan “turunannya” adalah Deklarasi Istiqlal, yang ditandatangani Paus Fransiskus dan Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar (sekarang Menteri Agama)

Deklarasi Abu Dhabi, menjadi tonggak dasar dialog antaragama. Kata Paus, atas nama persaudaraan manusiawi, dialog diambil sebagai suatu jalan, kerja sama bersama sebagai perintah, dan pemahaman satu sama lain sebagai metode dan ukuran. Maka, kunjungan Paus Fransiskus ke Maroko yang disambut dengan penuh sukacita oleh Raja Maroko, Muhammad VI, adalah lanjutan untuk membangun jembatan persaudaraan antara umat Kristen dan Muslim.

Tapi, dalam penerbangan kembali ke Vatikan (vatican.va), menjawab pertanyaan wartawan Map Agency, Siham Taoufiki, Paus Fransiskus mengakui dalam setiap agama selalu ada kelompok “integralis” yang tidak ingin maju, yang hidup dalam kenangan pahit, pada konflik masa lalu, lebih memilih perang dan menebar ketakutan.

Baca Juga: Cahaya di Malam Hari

Padahal, “Kita telah melihat bahwa lebih indah menabur harapan,  dan berjalan bergandengan tangan, selalu maju. Kita telah melihat bahwa dalam dialog dengan Anda di sini di Maroko, jembatan dibutuhkan dan kami merasa sakit melihat orang-orang yang lebih suka membangun tembok.”

Mengapa merasa sakit? Karena mereka yang membangun tembok akan berakhir sebagai tawanan tembok yang mereka bangun. Sedangkan mereka yang membangun jembatan akan terus maju. Jembatan itu untuk komunikasi manusia. “Ini sangat indah dan saya menyaksikannya di Maroko,” kata Paus Fransiskus, yang juga sangat senang dan terkesan melihat “jembatan” seperti itu setelah mengunjungi Indonesia, September 2024.

***

Suasana persaudaraan seperti saat buka puasa yang diselenggarakan Kedutaan Maroko itu pula yang kami rasakan saat buka puasa bersama di Wisma KBRI Takhta Suci. Buka Puasa Bersama ini dihadiri warga Indonesia dari KBRI Takhta Suci dan KBRI Roma.

Bulan Puasa saat ini, sangat istimewa. Sebab, bersamaan dengan masa puasa dan pantang umat Katolik menyongsong Paskah; dan Tahun Yubelium yang diperingati setiap 25 tahun sekali. Ini sungguh istimewa. Umat dua agama samawi, sama-sama menunaikan puasa. Bukan sekadar berpuasa menahan lapar dan haus.

Tapi, kata Paus, dengan berpuasa, kita membebaskan diri dari kelekatan pada banyak hal dan dari keduniawian yang menumpulkan hati kita. “Doa, amal kasih, puasa: inilah tiga investasi untuk harta yang bertahan lama”.

Baca Juga: Awasi Mimpi Besar Danantara

Sebab, kata Paus dalam homilinya selama Misa Rabu Abu di Basilika Santa Sabina (2023), “Puasa bukanlah devosi yang aneh, tetapi gerakan yang kuat untuk mengingatkan diri kita sendiri apa yang benar-benar penting dan apa yang hanya sementara.”

Maka selama puasa, “Tundukkan kepalamu seperti seikat bunga mawar,” yaitu, “rendahkan dirimu,” dan pikirkan tentang dosa-dosamu. Ini, Paus Fransiskus menekankan, adalah “puasa yang diinginkan Tuhan: kebenaran, konsistensi.” ***

Leave a comment