Informasi Terpercaya Masa Kini

Waspada Utang Pemerintah Bisa Melonjak Imbas Kebijakan Trump

0 4

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Terpilihnya Donald Trump untuk kedua kalinya menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) menimbulkan kekhawatiran di banyak negara berkembang termasuk Indonesia.

Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan meramal, dampak kebijakan tarif perdagangan Trump  bisa membuat indeks dollar AS naik, sehingga membuat biaya utang banyak negara berkembang termasuk Indonesia meningkat.

Ekonom Bright Institute Awalil Rizky menyampaikan, saat ini porsi utang pemerintah Indonesia yang berdenominasi valuta asing (valas) stabil kisaran 29% hingga 30% dari total utang selama beberapa tahun terakhir. Sedangkan porsi utang valas sebesar 90% adalah dalam dolar Amerika Serikat (AS).

“Penguatan dolar atau pelemahan rupiah membuat posisi utang yang dinyatakan dalam nilai rupiah bertambah. Pun sebaliknya jika rupiah menguat,” tutur Awalik kepada Kontan, Senin (20/1).

Baca Juga: BI Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Global Berpotensi Meredup Imbas Kebijakan Trump

Awalil mencontohkan, posisi utang pemerintah pada akhir 2023 mencapai Rp 8.145 triliun, dan diperkirakan mencapai Rp 8.750 triliun pada akhir 2024 (data sementara sebesar Rp 8.680 triliun per akhir November 2024). Artinya bisa bertambah sekitar Rp 605 triliun.

Awalil menyebut, tambahan utang tersebut sebagian besar karena pemerintah banyak berutang  secara neto selama tahun 2024. Kementerian Keuangan mencatat, sepanjang 2024 pembiayaan utang mencapai Rp 556,6 triliun, atau mencapai 83,56% dari target dalam APBN 2024 mencapai Rp 648,1 triliun.

Faktor lain adalah karena kondisi nilai tukar rupiah melemah. Awalil mencatat, kurs rupiah di akhir 2023 sebesar Rp 15.416 per dollar AS, sedangkan akhir 2024 mencapai Rp 16.162 per dollar AS.

“Diperkirakan sekitar Rp 60 triliun tambahan karena faktor ini dari perbandingan kondisi akhir tahun 2023 dan 2024. Hal itu juga berakibat meningkatnya pembayaran bunga utang atas utang berdenominasi valas turut meningkat,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Awalil menilai, apabila pelemahan rupiah berlanjut pada tahun ini, setidaknya masih di atas Rp 16.000 per dollar AS, maka posisi utang karena beberapa faktor tersebut akan meningkat. Hal ini juga berlaku bila pemerintah menarik utang baru baik dalam bentuk pinjaman ataupun SBN valas.

Baca Juga: Waspada Utang Jumbo Jatuh Tempo Menggunung

Selain itu, beban pembayaran pokok utang seperti cicilan pinjaman dan SBN valas jauh tempo ditambah bunganya juga bisa bertambah.

“Dan dalam hal ini, upaya menurunkan tingkat bunga (yield) akan lebih sulit jika The Fed rate (dan yang utama US treasury note rate) masih tetap tinggi seperti saat ini, atau hanya sedikit dan lambat turun,” kata Awalil.

Meski begitu, Awalil menilai, potensi meningkatnya utang tersebut juga bisa terjadi pada negara berkembang lainnya, yang mata uangnya melemah atas dollar AS.

Untuk mencegah utang yang membengkak tersebut, menurut Awalil, kuncinya adalah menjaga nilai rupiah tetap stabil dan tidak melemah lebih lanjut. Antisipasi ini lanjutnya, perlu disinkronkan dengan suku bunga BI-Rate, yield SBN, SRBI rate, dan lainnya.

“Di luar soal pelemahan rupiah, faktor lebih penting adalah menjaga defisit tidak terlampau lebar. Dengan demikian, kebutuhan berutang menjadi terkendali. Apalagi jika diupayakan porsi utang denominasi valas menurun,” imbuhnya.

Baca Juga: Imbas Kebijakan Trump, Ruang Penurunan Suku Bunga BI Diperkirakan Terbatas di 2025

Untuk diketahui, pemerintah menargetkan pembiayaan utang melalui Surat Berharga Negara (SBN) neto sebesar Rp 642,6 triliun pada tahun 2025.

Sementara itu, pinjaman neto ditargetkan Rp 133,3 triliun, terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp 5,17 triliun, dan pinjaman luar negeri Rp 128,1 triliun.

Leave a comment