Permendag Baru, Pemerintah Batasi Ekspor Minyak Jelantah dan Residu Sawit
JAKARTA, KOMPAS.com – Kementerian Perdagangan (Kemendag) merilis Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) baru untuk membatasi ekspor limbah pabrik kelapa sawit atau palm oil mill effluent (POME), residu minyak sawit asam tinggi atau high acid palm oil (HAPOR), dan minyak jelantah atau used cooking oil (UCO).
Pembatasan itu diatur dalam Permendag Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 26 Tahun 2024 tentang Ketentuan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit. Permendag berlaku 8 Januari 2025.
Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengatakan, kebijakan ini ditempuh untuk menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri minyak goreng dalam pelaksanaan program minyak goreng rakyat.
Baca juga: Tata Kelola Lahan Sawit Ilegal di Indonesia
Selain itu, juga untuk mendukung implementasi penerapan biodiesel berbasis minyak sawit sebesar 40 persen (B40).
Biodiesel B40 merupakan bahan bakar minyak (BBM) dengan campuran 40 persen olahan minyak kelapa sawit atau bahan bakar nabati (BBN) dan 60 persen minyak solar.
“Menindaklanjuti arahan Presiden (Prabowo Subianto), kami menegaskan bahwa prioritas utama pemerintah saat ini adalah memastikan ketersediaan bahan baku minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) bagi industri minyak goreng dan mendukung implementasi B40,” kata Mendag Budi dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (12/1/2025).
“Tentu akan ada dampak dari kebijakan ini. Namun, sekali lagi kami tegaskan, kepentingan industri dalam negeri adalah yang paling utama,” tutur Budi.
Baca juga: Harga Minyak Kelapa Sawit Turun, Pemerintah Tetapkan Bea Keluar Baru
Selain mengenai kebijakan ekspor produk turunan kelapa sawit seperti, POME dan HAPOR, serta UCO, Permendag 2/2025 juga mengatur syarat untuk mendapatkan Persetujuan Ekspor (PE).
Berdasarkan Permendag 2 Tahun 2025 Pasal 3A, kebijakan ekspor produk turunan kelapa sawit berupa UCO dan residu dibahas dan disepakati dalam rapat koordinasi antarkementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan pemerintah di bidang pangan.
“Selain itu, pembahasan pada rapat koordinasi termasuk ada dan tidaknya alokasi ekspor yang menjadi persyaratan untuk mendapat persetujuan ekspor,” kata Budi.
Namun, bagi para eksportir yang telah mendapatkan PE Residu dan PE UCO yang telah diterbitkan berdasarkan Permendag Nomor 26 Tahun 2024, tetap dapat melaksanakan ekspor.
Baca juga: Pemerintah Diminta Bentuk Badan Otorita untuk Benahi Tata Kelola Sawit
“PE-nya masih tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir,” tutur Budi.
Pada Januari hingga Oktober 2024, ekspor POME dan HAPOR mencapai 3,45 juta ton. Volume ekspornya lebih besar daripada ekspor CPO pada periode yang sama yang hanya sebesar 2,70 ton.
Sementara itu, pada 2023, ekspor POME dan HAPOR mencapai 4,87 juta ton. Volume ekspornya juga jauh lebih besar daripada ekspor CPO pada periode itu yang hanya sebesar 3,60 juta ton.
Ekspor POME dan HAPOR pada lima tahun terakhir (2019-2023) tumbuh sebesar 20,74 persen, sedangkan volume ekspor CPO turun rata-rata sebesar 19,54 persen pada periode yang sama.
Baca juga: Kemenaker Gandeng UI Susun Kebijakan Keberlanjutan untuk Industri Sawit
Berdasarkan data tersebut, Mendag Budi mengatakan, ekspor POME dan HAPOR tercatat jauh melebihi kapasitas wajar yang seharusnya atau hanya sekitar 300.000 ton.
Hal ini menjustifikasi bahwa POME dan HAPOR yang diekspor bukan yang murni dari residu atau sisa hasil olahan CPO saja, tetapi juga merupakan pencampuran CPO dengan POME atau HAPOR asli.
“Jika kondisi ini terus terjadi, maka akan mengkhawatirkan bagi ketersediaan CPO sebagai bahan baku industri di dalam negeri,” kata Budi.
Selain itu, kata Budi, peningkatan ekspor POME dan HAPOR juga dapat diakibatkan oleh pengolahan buah dari Tandan Buah Segar (TBS) yang dibusukkan langsung menjadi POME dan HAPOR.
Baca juga: Kebijakan Hijau Global dan Tantangan Lokal: Menyorot Dampak EUDR terhadap Petani Kecil Sawit
“Kondisi tersebut mengarah pada banyaknya TBS yang dialihkan untuk diolah oleh Pabrik Kelapa Sawit (PKS) atau dikenal sebagai PKS berondolan. Hal tersebut mengakibatkan PKS konvensional kesulitan mendapatkan TBS,” kata Mendag.