Dibalik Cita Rasa Makanan Rest Area yang Amburadul dan Mahal
Makin banyak pengguna tol, makin banyak juga orang yang berhenti di Tempat Istirahat atau rest area untuk buang air, makan, salat, atau sekadar cari udara segar dan ngelempengin kaki. Kami termasuk yang sering berhenti di rest area tol Trans-Jawa, baik yang ke arah Barat maupun Timur, karena suka jajan dan tidak mau repot bawa bekal dari rumah.
Tidak selalu kami berhenti karena lapar. Kebanyakan karena pengin ngeteh dan ngemil saja. Karena terbiasa mencicipi kami jadi hapal cita rasa makanan rumah makan rest area. Pengecualian ada pada restoran branded semisal Empal Gentong H Irwan, Soto Madura Wawan, Soto Ambengan Pak Sadi, sampai ke cepat saji macam KFC, CFC, dan McD.
Restoran branded biasanya sudah punya SOP (standard operating procedure) soal bahan baku dan pengolahan makanan, jadi cita rasa cabang mereka di mana pun relatif sama. Lain hal dengan rumah makan UMKM lokal yang tidak punya SOP.
Pada peresmian jalan tol Solo-Sragen 2018 lalu, Joko Widodo yang saat itu masih jadi presiden minta kepada pengelola jalan tol kalau makanan rest area diisi makanan lokal seperti sate, soto, tahu guling hingga gudeg. Minumnya pun jangan Starbucks, tapi wedang ronde.
Kuliner di rest area Trans-Jawa memang sudah lokal semua, tapi sungguh sayang cita rasanya tidak sebanding dengan harganya.
Mahal Wajar
Semua pengguna jalan tol pasti paham kalau harga mahal di rest area wajar adanya. Rest area terletak di lokasi yang jauh dari mana-mana. Harga jadi serba mahal karena penjual butuh bensin dan tenaga ekstra untuk membawa bahan makanan ke kedai mereka di rest area.
Pun tidak setiap hari rumah makan dikunjungi pengguna tol yang ingin bersantap sementara biaya operasional seperti listrik, air, dan upah karyawan jalan terus. Seringnya berhenti untuk makan di rest area membuat saya berpikir mungkin ini yang membuat cita rasa makanan di rumah makan lokal rest area amburadul.
1. Kelamaan disimpan. Makanan yang disiapkan di rest area sering dibuat dalam jumlah besar dan disimpan untuk digunakan dalam jangka waktu lama.
Karena disimpan terlalu lama, kesegaran dan cita rasanya jadi hilang. Rasa bakso pun bisa jadi tidak karuan. Sudah hambar, kuahnya rasa micin doang, dan baksonya tawar tidak berbumbu.
2. Bahan baku. Bahan baku di warung makan rest area tidak menggunakan bahan baku berkualitas. Bisa jadi mereka pakai bawang dan cabai yang nyaris busuk. Bahan baku yang ala kadar akan menjadikan cita rasa makanan itu jadi ala kadar juga.
Saya pernah pesan boba drink di warung makan lokal. Ketika datang boba drink itu ternyata cuma Pop Ice rasa coklat ber-topping agar-agar yang dipotong kotak-kotak. Harganya sama seperti boba drink di mall.
3. Koki berpengalaman. Keahlian memasak chef di resto ternama tentu beda dengan koki di rumah makan lokal. Ini mungkin yang bikin cita rasa warung makan lokal tidak selezat resto branded meski keduanya ada di rest area yang sama.
4. Efisiensi. Rumah makan lokal di rest area mungkin ingin efisiensi dari sisi kecepatan penyajian. Jadi mereka mengutamakan kecepatan penyajian, tapi mengabaikan cita rasa.
Kami pernah, lho, makan soto ayam yang kuahnya tidak panas, cuma hangat. Dimakannya jadi gak enak. Namanya makanan berkuah nikmat kalau disajikan panas-panas. Mereka memang cepat menyajikan, kami tidak perlu menunggu lama. Cuma, ya itu, sudah sotonya tidak panas, rasanya juga membagongkan.
5. Sudah pasti laku. Anggapan sudah pasti laku ini yang membuat pengelola rumah makan lokal terkesan asal-asalan dalam meracik bumbu dan mengolah bahan baku makanan.
Toh, pengguna jalan tol yang lapar pasti akan terus membeli makanan mereka, terutama kalau rest area sedang ramai-ramainya di momen liburan.
6. Tidak ada pengawas kuliner. Saking semua sudah tahu kalau rasa makanan lokal di rest area tidak enak, jadi dianggap biasa. Tidak bakalan ada vlogger yang mengulas dan influencer yang complaint soal rumah makan yang tidak enak.
Ini membuat pemilik rumah makan lokal di rest area merasa tidak perlu bikin makanan yang cita rasanya enak. Mau setidak-enak apapun rasanya, pembeli akan tetap datang lagi. Wong tidak ada pilihan.
Bawa Bekal Sendiri
Rasa yang amburadul ditambah harga yang mahal membuat orang akhirnya memilih bawa bekal sendiri. Makin sering saya lihat pengguna tol yang menjadikan rest area sekadar tempat istirahat dan salat, tidak untuk makan di restoran atau rumah makan. Mereka memilih menggelar alas duduk di samping mobil beratap pohon teduh lalu menyantap bekal. Kata mereka lebih baik bawa bekal sendiri karena hemat, lezat, dan kebersihannya terjamin.
Kebanyakan mereka yang bawa bekal sendiri ini terdiri dari keluarga besar termasuk didalamnya sepupu, keponakan, paman, bibi, atau kakek dan nenek. Kalau jajan di rumah makan rest area untuk orang sebanyak itu sekali makan bisa habis uang berapa banyak.
Kalau cuma Jakarta-Bandung, sih, masih terjangkau. Kalau dari Magelang ke Jakarta atau Magelang ke Malang, tentu butuh lebih dari sekali ke rest area karena jaraknya jauh. Mereka yang tujuannya jauh ini memilih membawa bekal sendiri daripada membeli makanan di rest area.
Fungsi Rest Area
Sebetulnya apa, sih, fungsi rest area? Sesuai namanya tentu untuk tempat istirahatlah, ya. Keberadaan rest area ini diatur dalam Peraturan Menteri PUPR No. 28 Tahun 2021. Permen PUPR ini merupakan peraturan resmi yang mengatur penyediaan dan pengelolaan Tempat Istirahat dan Pelayanan (TIP) atau rest area di sepanjang jalan tol.
Tujuan utama peraturan ini untuk memastikan setiap rest area di jalan tol memenuhi standar layanan dan fasilitas tertentu, sehingga memberikan kenyamanan dan keamanan bagi pengguna jalan.
Termasuk dalam Permen PUPR ini supaya rest area dapat menjadi sarana bagi UMKM untuk memasarkan produk lokal kepada pengguna jalan tol yang melintas. Dengan demikian, rest area tidak hanya menjadi tempat istirahat, tetapi juga mendukung perekonomian lokal di sekitar jalan tol dengan memberikan ruang bagi produk-produk khas daerah untuk dikenal dan dikonsumsi lebih luas.
Tujuan yang sangat mulia memajukan ekonomi daerah. Sayangnya, saya pernah beli bolen dan geplak yang sudah jamuran di toko oleh-oleh rest area. Ndilalah, saya tidak baca tanggal kedaluwarsa karena berpikir produk yang dijual di rest area tidak mungkin expired. Saat melihat dan memastikan dua jajanan itu sudah berjamur, saya juga langsung membuangnya. Tidak kepikiran untuk memfoto dan mengunggah bolen dan geplak yang jamuran itu ke medsos.
Melihat dan merasakan kualitas produk UMKM yang payah, tidak heran kalau pengguna tol memilih jajan di rumah makan dan resto ternama, bahkan banyak yang kembali lagi ke Starbucks karena cita rasa wedang ronde ternyata amburadul. Mahal tidak masalah namanya juga rest area jalan tol. Yang jadi masalah sudah mahal cita rasanya pun berantakan.
Mayoritas pengguna jalan tol pasti ingin cita rasa yang normal karena kami beli makan-minum di rest area bayar pakai duit hasil kerja sendiri, tidak minta gratisan apalagi pakai pajak rakyat.
Mungkin keinginan itu terlalu muluk.