Informasi Terpercaya Masa Kini

Soegijapranata Uskup Pribumi Pertama di Indonesia yang Lahir dari Keluarga Islam Jawa

0 3

Biografi Soegija Si Anak Bethlehem van Java, yang dipublikasikan Penerbit Kanisius (2003), berkisah tentang perjalanan hidup Mgr. Soegijapranata. Dari masa kanak-kanak dan remaja di Muntilan dan Yogyakarta, periode formasi menuju jenjang imamat di Belanda, hingga kiprah sebagai Vikaris Apostolik (Uskup) Semarang di zaman pendudukan Jepang. Buku ini diangkat dari disertasi Dr. Budi Subanar, SJ. untuk meraih gelar doktor ilmu misiologi di Universitas Gregroriana Roma.

Pencukil: J. Sumardianta untuk Majalah Intisari edisi Desember 2003

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

Intisari-Online.com – Muntilan, awal abad ke-20, dijuluki Bethlehem van Java oleh Pater Frans van Lith. Di kota kecil di wilayah Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, itu tumbuh bibit-bibit generasi Katolik pertama pribumi Jawa.

Mereka tak lain para guru alumni Kolese Xaverius, sekolah yang dirintis para misionaris Katolik berkebangsaan Belanda yang dipimpin Romo van Lith.

Satu di antara sekian banyak alumnus hasil gemblengan Pater van Lith yang sangat menonjol adalah Monseigneur Soegijapranata, SJ. Dia kemudian menjadi uskup pribumi Jawa pertama yang memimpin Keuskupan Agung Semarang.

Ditentang orangtua

Lahir di Surakarta, 25 November 1896, Soegija adalah anak kelima dari sembilan bersaudara keluarga Islam Jawa. Ketika itu angka kematian bayi masih tinggi. Agar selamat dan tumbuh sehat, orok Soegija mesti menjalani ritus “pembuangan” di tempat sampah, sesuai ritual yang dianut kala itu.

Semasa kecil, Soegija, juga kakak-adiknya, mendapat tempaan semangat ajrih dan asih (hormat penuh kasih dan rendah hati) dari orangtuanya. Dia mendapat pendidikan seni kerawitan untuk mengolah rasa dari ayahnya, Karijosoedarmo, abdi dalem Keraton Surakarta, pengikut pujangga besar Jawa, Ranggawarsita.

Tembang yang tiap malam diajarkan sang ayah dipetik dari Kitab Wedhatama.

Bunyi liriknya: “Anakku, kamu hendaknya rajin senantiasa/melatih ketajaman hati/siang-malam siap sedia/mengatur tabiat tingkah laku/menguasai keinginan indrawi/agar menjadi orang bermartabat.

Tembang itu dilantunkan agar Soegija memiliki watak ksatria dan berbudi luhur.

Kendati gemar menonton pertunjukan tari sebagai ekspresi kehalusan perilaku, dia enggan belajar menari karena tak mau menjadi pusat perhatian. Dari ibunya yang berprofesi pedagang stagen (ikat pinggang kaum perempuan terbuat dari kain), dia mendapatkan latihan askese (mati raga) melalui kegiatan sesirik (berpantang) seperti ngrowot (seharian hanya menyantap sayuran), dan mutih (makan nasi putih).

Orangtuanya kemudian bermukim di Ngabean, Yogyakarta, wilayah tetangga Kampung Kauman, tempat tinggal K.H. Ahmad Dahlan, pendiri gerakan Islam modern, Muhammadiyah. Soegija berkarib dengan seorang kawan yang alim. Juga bergaul dengan anak-anak nakal.

Itu sebabnya dia sering terlibat perkelahian dengan anak-anak keturunan Belanda yang cenderung memandang rendah kaum pribumi.

Pengalaman berjumpa dengan kekristenan didapat Soegija saat bezuk ke Rumah Sakit Petronella. Di rumah sakit yang kini bernama Bethesda itu untuk pertama kalinya dia menyaksikan gambar penyaliban Yesus di Bukit Kalvari.

Soegija menempuh pendidikan dasar di Sekolah Rakyat di Ngabean, Wirogunan, dan Hollands Inlandsche School (HIS) di Lempuyangan, Yogyakarta. Hasratnya untuk melanjutkan belajar di sekolah Muntilan semula ditentang kedua orangtuanya.

Terpisah dari orangtua di usia belia dan menjalani pendidikan model asrama di bawah asuhan orang Belanda, sungguh tidak pernah dibayangkan ayah-ibunya. Ada kekhawatiran, Soegija menjadi kemlondo-londo (kebelanda-belandaan).

Informasi mengenai tingginya mutu pendidikan dan tidak ada pemaksaan agama dari gurunya di Wirogunan membuat Soegija bersikeras sekolah di Muntilan. Tekad sudah bulat. Hari kedua orangtuanya pun luluh.

Soegija diperbolehkan sekolah di Muntilan, 35 km dari Yogyakarta. Pada 1896 di kota sejuk itu Pater van Lith merintis pendidikan bagi anak-anak pribumi.

Kendala iklim dan budaya

Bersama 54 teman seangkatannya Soegija masuk tahun 1909. Di asrama semula dia sangat menjaga jarak dengan teman-temannya.

Bahkan dalam suatu pertengkaran hebat, Soegija mengumpat para pastor berkebangsaan Belanda setali tiga uang dengan orang-orang Belanda pada umumnya, yang datang hanya untuk mengeruk kekayaan Indonesia.

Pandangan gebyah uyah (memukul rata) bahwa semua orang Belanda bermotif dagang dan orientasinya menguasai berubah sejak dia tahu, para pastor itu tidak digaji. Para pastor pendidiknya itu tak jarang harus merelakan harta warisan dari keluarganya di Belanda untuk investasi sosial demi kebaikan, kelangsungan pendidikan, dan kebahagiaan anak-anak asuhnya di masa depan.

Suatu saat Soegija menyampaikan keinginan ikut pelajaran agama Katolik kepada Pater Mertens, SJ, pimpinan asrama. Bukan sebagai calon katekumen (magang baptis), melainkan sekadar ingin memperdalam pengetahuan tentang agama itu.

Alasan lain, ungkap Soegija, pengajaran agama merupakan fasilitas curra personalis (pendampingan pribadi) yang ditawarkan Kolese untuk membentuk siswa-siswa berkarakter.

Pater Mertens tidak langsung mengiyakan, tapi menyarankan Soegija meminta izin pada orangtuanya. Saran serupa disampaikan Pater Mertens kala tiga bulan setelah mengikuti pelajaran agama, Soegija ingin menerima sakramen baptis.

Atas keputusan ini, orangtuanya yang semula berselisih paham, akhirnya merestui.

Orangtuanya bahkan menasehati agar Soegija berani memeluk risiko sebagai orang Katolik dan hidup selaras dengan keyakinan baru pilihannya. Soegija bahagia bukan kepalang. Dia dipermandikan dengan nama Albertus, 24 Desember 1910.

Jiwa nasionalisme Soegija muda tumbuh berkat pengajaran Pater van Driessche, SJ, yang menanamkan rasa cinta Tanah Air dan patriotisme di tengah bergelimangnya situasi penjajahan. Dalam memperjuangkan martabat bangsa terjajah, Soegija menimba inspirasi dari Pater van Lith.

Pater van Lith pernah berkata, “Selagi orang Jawa mau berteriak, mereka masih bisa ditolong. Namun, jika mereka tutup mulut, hampir tidak ada obatnya, dan kamu harus waspada.”

Soegija sangat terkesan dengan nasehat perihal mekanisme penegakan harga diri orang Jawa ini. Dia memang terobsesi oleh keterbelakangan orang Jawa sebagai bangsa terjajah, karena tidak memadainya tingkat pengetahuan mereka.

Tak heran bila dia pernah bercita-cita jadi guru dan mantri pertanian untuk meningkatkan taraf pendidikan dan kesejahteraan hidup masyarakat. Juga pernah berkeinginan jadi dokter guna memperbaiki kondisi kesehatan.

Pilihan hidup yang dia jatuhkan sebagai pastor semata-mata dilandasi semangat agar dia dapat mengabdi pada Tuhan dan bangsanya secara total.

Soegija merampungkan studi di Kolese Xaverius tahun 1915. Setahun kemudian dia praktik magang mengajar di almamaternya. Selama tiga tahun berikutnya bersama Soemarno dan Hardjasoewondo, Soegija menjadi murid Seminari Menengah Muntilan.

Beberapa tahap pembinaan rohani dan pendidikan formal di Belanda masih harus dilampauinya. Pada 27 September 1920 dia mulai menjalani tahun pertama sebagai novis di Novisiat Serikat Jesus di Mariendaal.

Soegija termasuk novis pribumi angkatan ketiga yang dididik di Belanda. Di sana, sebagai calon hominus novi (manusia baru), dia belajar latihan rohani dan meditasi di bawah bimbingan Pater Willekens, SJ, seorang padri Jesuit yang pada 1933 dikirim ke Hindia Belanda dan kelak oleh Tahta Suci Vatikan diangkat sebagai Vikaris Apostolik Batavia.

Pada tahap novis inilah Soegija mulai mengalami dan merasakan bagaimana hidup hanya mengandalkan kasih Tuhan dan menanggapinya dengan penuh kesungguhan, penyerahan diri, dan rendah hati.

Kaul kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan sebagai anggota baru Serikat Jesus diucapkannya pada 22 September. Nah, saat belajar di Novisiat, dia mendapat kabar dari Tanah Air bahwa ayahnya meninggal.

Masa yuniorat selama satu tahun, masih tetap di Mariendal, dijalaninya dengan belajar mengembangkan wawasan humaniora. Tiga tahun berikutnya, 1923 – 1926, Soegija belajar filsafat di Kolese Berchman di Kota Oudenbosch.

Di kolese milik Ordo Jesuit ini, kecuali dikenal sebagai mahasiswa yang prigel menulis dan berdeklamasi, dia juga pandai bergaul dan bercita rasa humor tinggi.

Melakoni pembinaan rohani di negeri seberang jauh dari Tanah Air selama belasan tahun bukan perkara mudah. Selain menghadapi perbedaan iklim, dia mesti berjuang mengatasi kejutan budaya.

Cara berpikir, berbicara, makan, dan berpakaian orang Belanda berbeda dengan orang Jawa.

Di Tanah Air sehari-harinya Soegija mengenakan jas bukak, ikat kepala, kain, dan tanpa alas kaki. Sesampai di Eropa dia mesti tampil perlente dengan pantalon, jas, dasi, dan bersepatu mengkilat.

Dia juga mengalami kegelisahan dalam pencarian identitas diri, ketika berhadapan dengan kultur dan suasana religius yang berbeda dari yang dialaminya di Jawa.

Menekuni jurnalistik

September 1926 Soegija diutus Ordo Serikat Jesus kembali ke Muntilan untuk bekerja di Kolese Xaverius. Pater van Lith telah berpulang pada Januari di tahun kembalinya Soegija ke Jawa.

Dia mengenang dengan ingatan mesra Pater van Lith sebagai pastor Belanda berhati Jawa.

Ketika mengajar di almamaternya, Soegija menggunakan metode learning by modelling (belajar melalui keteladanan). “Cinta kasih satu dengan yang lain, mau mengampuni, membuang jauh-jauh segala bentuk iri hati, kebencian, dan mendiamkan sesama.”

Keteladanan inilah yang diwarisi dari Pater van Lith ketika Soegija sebagai frater.

Soegija tidak hanya mengajar, tapi juga mengasah keprigelan di dunia jurnalistik. Dia bahkan menjadi salah satu redaktur di Swaratama, majalah untuk para alumnus sekolah Muntilan.

Di Mingguan berbahasa Jawa itu ia pernah menulis, “… tak ada yang lebih memungkinkan untuk memuliakan Tuhan sekaligus meng-abdi bangsa selain menjadi imam.”

Keseluruhan hidup selibatnya memang diabdikan untuk masyarakat sebagai bentuk penyerahan diri kepada Tuhan setotal-totalnya. Di Majalah Swaratama dia acap menyerukan berbagai nestapa kemiskinan dan keterbelakangan pendidikan kaum bumiputra.

Mengapa Soegija menekuni dunia jurnalistik? Selain punya bakat besar menulis, dia diasuh di lingkungan rohaniwan yang sudah berabad-abad lampau, sejak zaman para pendiri Ordo Jesuit, dikenal sebagai man of letters, manusia yang dibesarkan dalam tradisi menulis.

Akhir Agustus 1928, Soegija bertolak kembali ke Belanda untuk belajar teologi di Kota Maastricht. Peristiwa terpenting dialaminya, ketika menjadi mahasiswa teologan, bersama empat Jesuit Asia dia mendapat kesempatan menyertai Jenderal Serikat Jesus, Pater Ledochowsky, beraudiensi dengan Paus Pius XI di Roma.

Paus Pius XI adalah penulis surat apostolik Rerum Ecclesiae (1926) yang menekankan kembali pentingnya pendidikan imam pribumi sebagaimana pernah diserukan Paus Benediktus XV pada 1919.

Di masa studi itu pula Soegija bergaul dengan para pelopor Perhimpunan Indonesia (PI), yang pada 1925 menyerukan manifesto politik mengenai kemerdekaan Indonesia 100%, seperti Mohammad Hatta, Iwa Kusumasumantri, Sastra Widagdo, dan Sitanala.

Para tokoh PI memang sedang belajar, atau lebih tepat diasingkan penguasa kolonial di Belanda karena radikalisme mereka.

Soegija merupakan contoh produk pendidikan sebelum PD II yang memiliki tujuan humanitas expleta et eloquens (kemanusiaan yang penuh dan sanggup mengungkapkan diri). Pada 15 Agustus 1931, setahun sebelum studinya berakhir, dia bersama Reksaatmadja – seorang seniman, dan beberapa Jesuit Belanda ditahbiskan sebagai imam oleh Uskup Roermond Mgr. Schijnen.

Sejak itu Pater Soegija melengkapi namanya menjadi A. Soegijapranata, SJ. Nama tambahan “pranata” menunjuk pengertian bersembah sujud dan mengabdi pada tatanan. Secara harafiah Soegijapranata berarti orang bijaksana yang senantiasa bersyukur dan bisa memimpin.

Uskup pribumi pertama

Soegijapranata mengakhiri pembinaan rohani sebagai seorang Jesuit pada 1933 di Kota Drongen, Belgia. Pada tahap akhir pembinaan rohaninya itu dia menemukan lapis terdalam inti kepribadian rohaninya sebagai orang Jawa yang mengalami pertobatan dalam iman Katolik.

Dalam otobiografi yang ditulis dalam bahasa Italia, La Conversione di un Giavanese (Kisah Pertobatan Seorang Jawa), Soegija menunjukkan hasil perumusan akhir dari identitasnya, “Orang Jawa yang mengalami perjumpaan dengan kekristenan dan mewujudkan cita-citanya sebagai imam untuk mengabdi kepada Tuhan dan bangsanya.”

Setelah melalui masa persiapan rohani yang panjang selama 13 tahun di Belanda, Soegijapranata memulai tugas baru sebagai pastor di Gereja Kidul Loji pada 1933.

Gereja Katolik di Yogyakarta waktu itu baru ada empat: Kidul-loji yang berdiri pada 1869, Gereja Sultan-boulevard (Kotabaru) pada 1922, Gereja Bintaran dan Pugeran sejak 1934.

Gereja Kidul-loji berdekatan dengan Kompleks Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Benteng Vredeburg. Di gereja ini Soegijapranata bertugas sebagai pastor pembantu mantan gurunya di Muntilan, Pater van Drissche.

Hanya setahun menjalankan pelayanan sakramental dan pastoral di Kidul-loji, mulai 1934 Soegijapranata dipindah ke Gereja Bintaran. Tugas sebagai pastor kepala di gereja pribumi ini dijalani sampai 1940.

Suatu hari tahun 1940, Soegijapranata tampak cemas dan agak linglung. Bicaranya pun, menurut kesaksian koster pembantunya, terdengar clemang-clemong (meracau). Kelinglungan itu mudah dimengerti karena Pater Soegijapranata diangkat oleh Tahta Suci Vatikan sebagai uskup.

Kemendesakan situasi akibat PD II mengharuskan Pater Soegijapranata dilantik menjadi Vikaris Apostolik Semarang. Pengiriman misionaris sudah tidak dimungkinkan lagi.

Dia diminta mempersiapkan gereja lokal yang mandiri sebagai antisipasi kemungkinan para misionaris Belanda bakal ditahan balatentara Jepang.

Sejak diangkat menjadi uskup, Soegijapranata dipanggil umatnya dengan sebutan Romo Kanjeng. Guna merayakan penugasan barunya dia meminta bantuan istri koster Gereja Bintaran memasak soto.

Ungkapan rasa syukur sangat bersahaja dari seorang rohaniwan penggemar berat soto. Jangan bandingkan dengan resepsi meriah pesta pentahbisan pastor di zaman sekarang.

Sejak 30 September 1940 Romo Kanjeng mulai berdiam di Semarang. Dia ditahbiskan sebagai Uskup Semarang pada 6 November 1940.

Beberapa hari menjelang pelantikannya, Romo Kanjeng dengan nada berseloroh bertabik salam kepada Pater L. Wevers, SJ, sahabatnya satu kapal sewaktu pulang dari Belanda. “Sekarang saya mengenakan kalung emas yang bersinar dengan salib di dada. Sekarang saya setidaknya berharga 15.000 gulden. Saya juga memiliki barang-barang berharga untuk digadaikan.”

Tugas berat segera menghadang Romo Kanjeng begitu balatentara Jepang berhasil melikuidasi kolonialisme Belanda pada 8 maret 1942. Gereja dengan para misionarisnya, berkebangsaan Belanda maupun pribumi, diidentikkan oleh fasisme Jepang sebagai antek kolonial.

Ini mudah dimengerti karena Belanda dianggap sekutu Amerika Serikat dan Inggris.

Sepanjang 1942 – 1945 para biarawan-biarawati ditangkapi dan dijebloskan ke kamp-kamp konsentrasi interniran di Jakarta, Cimahi, Bandung, Semarang, dan Yogyakarta. Banyak di antara mereka meninggal di penjara karena tidak kuasa menanggung beban siksaan fisik tentara Jepang.

Karya-karya misionaris seperti sekolah, panti asuhan, dan rumah sakit terpaksa ditutup. Kecuali kekurangan tenaga, gedung-gedung misi banyak yang diambil alih untuk kepentingan pendudukan Jepang.

Romo Kanjeng memrotes keras tindakan biadab dan sewenang-wenang itu. Beliau berkirim surat ke Kekaisaran Jepang di Tokyo menjelaskan bahwa antara Gereja Vatikan dan pemerintah Jepang terdapat hubungan diplomatik. Jadi, balatentara Jepang tidak boleh seenaknya berlaku kejam terhadap para misionaris dan mengambil alih harta milik mereka.

Akhir November 1946, Soekarno-Hatta memindahkan pusat pemerintahan barunya dari Jakarta ke Yogyakarta.

Sebagai ungkapan sikap nasionalisme dan dukungan terhadap pemerintahan Dwitunggal Soekarno-Hatta, sejak 15 Februari 1947 Romo Kanjeng memindahkan kantor Vikariat Apostoliknya dari Gereja Katedral Semarang ke Gereja Bintaran.

Di kompleks Gereja Bintaran yang terletak di tepi timur Kali Code, kala Sukarno diasingkan ke Pulau Bangka, Romo Kanjeng pernah menyembunyikan dan memberi tempat mengungsi Ibu Negara, Fatmawati, dari kejaran serdadu Belanda.

Saat itu Fatmawati baru saja melahirkan. Bayinya dinamai Megawati Soekarno Putri, lahir 23 Januari 1947 di Kampung Ledok Ratmakan, tepi barat Kali Code.

Zaman susah di tengah berkecamuknya situasi perang rupanya mendekatkan hubungan Romo Kanjeng dengan keluarga Presiden Pertama Republik Indonesia. Bung Karno pernah menghadiahi Romo Kanjeng sebuah repro lukisan karya perupa masyhur Italia berjudul Heilige Maagd.

Dalam surat pengantar yang dibuat di Yogyakarta tertanggal 10 Agustus 1948, Bung Karno menulis, “… Sekarang saya bergembira hati dapat menghadiahkan lukisan itu kepada Yang Mulia, sebagai tanda penghargaan saya kepada golongan Roma Katolik di Indonesia. Moga-moga golongan Roma Katolik tetap sejahtera dalam Republik.”

Romo kanjeng wafat 22 Juli 1963 di Steyl, Tegelen, dekat Kota Nijmegen Belanda, di tengah perjalanan dinas menghadiri Konsili Vatikan II.

Sebelum bersidang di Kota Roma, Romo Kanjeng singgah di Belanda lebih dulu untuk menyambangi dan mengucapkan terima kasih kepada para keluarga yang banyak menyumbangkan para putra-putrinya berkarya sebagai misionaris di Keuskupan Semarang.

Semula jenazah Romo Kanjeng akan dimakamkan di halaman biara induk Serikat Jesus di Belanda. Namun, atas permintaan Presiden Soekarno, jasad Romo Kanjeng dibawa pulang ke Indonesia dengan pesawat penerbangan khusus.

Sejak tiba di Jakarta 28 Juli 1963 hingga dikebumikan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Giri Tunggal Semarang, 30 Juli 1963, Ibu Fatmawati senantiasa menangis dan tidak mau pisah dengan peti jenazah tokoh gereja yang begitu dia cintai dan dianggap sebagai “bapaknya”.

Peziarahan iman uskup pribumi pertama di Tanah Jawa bersemboyan 100% Katolik, 100% Indonesia yang ditetapkan pemerintah RI sebagai pahlawan nasional itu dimulai dari Muntilan dan berakhir di TMP Giri Tunggal, Semarang.

Leave a comment