Menjadi Ibu Berdaya dari Rumah
Pajak naik, asam lambung ikut naik. Ya, kenaikan pajak akan membawa dampak pada perekonomian rumah tangga. Para Menteri Keuangan Keluarga, utamanya ibu-ibu harus putar otak untuk membagi porsi anggaran yang semakin mepet. Di tengah himpitan ekonomi seperti ini, perempuan harus berdaya.
Ah, lagi mumet mikirin isi dompet apa hubungannya dengan menjadi perempuan berdaya? Jaka Sembung, deh. Eits, jangan protes dulu. Menjadi perempuan berdaya artinya perempuan punya kendali diri sendiri, baik ibu rumah tangga maupun perempuan bekerja. Perempuan berdaya artinya tidak menyerah dengan keadaan, namun berupaya aktif untuk mencari jalan keluar.
Narasi pemberdayaan dibawakan dengan ringan tapi “daging” oleh Puty Puar dalam buku Empowered ME (Mother Empowered). Meski judulnya bahasa inggris, tenang saja isinya bahasa Indonesia yang sama sekali jauh dari kata kaku. Pertama kali saya tertarik membacanya karena sampulnya yang eye-catching berwarna pink-peach dengan ilustrasi “unyu-unyu”.
Judul buku ini bisa diartikan dua hal. Pertama, Empowered Me, artinya pemberdayaan diri sendiri. Kedua, ME merupakan akronim dari Mother Empowers, atau pemberdayaan ibu. Tagline ini selaras dengan kiprah Puty Puar yang gencar dalam pemberdayaan perempuan, salah satunya melalui komunitas Buibu Baca Book Club (BBB) yang digagasnya.
Buku yang ditulis ibu dua anak ini, tidak terlalu tebal dan bisa dibaca di sela-sela hectic-nya jadwal sehari-hari. Uni Puty merupakan alumnus Teknik Geologi ITB yang sebelumnya telah menerbitkan dua buku full ilustrasi yaitu Happiness Is Homemade (2018) dan Komik Persatuan Ibu-Ibu (2018). Sama seperti 2 buku sebelumnya, buku ini tidak terlalu jauh lari dari DNA Puty sebagai ilustrator. Pokoknya tak ada kata bosan saat membuka halaman demi halaman.
Meski ilustrasi dalam buku tampak seperti meme yang tak serius, sebenarnya isinya sangat well researched dirangkum dari beberapa buku manajemen dan buku self development terkenal. Puty menekankan bahwa apapun peran perempuan, ibu rumah tangga atau ibu bekerja sosoknya harus bisa self management. Kapan lagi kan ibu-ibu bisa setting prioritas belanja bulanan menggunakan Eisenhower Matrix atau mengevaluasi nilai semester anak pakai Metode Umpan Balik.
Buku terbitan Gramedia Pustaka Utama ini terdiri dari 11 bab, benang merahnya adalah seorang ibu harus mengisi “tangki” cintanya lebih dulu sebelum mengisi “tangki” cinta untuk orang-orang sekitarnya. Pada bab 8 misalnya, Puty menekankan pentingnya me-time bagi seorang ibu. “Bekerja dan istirahat bukanlah kutub-kutub yang berlawanan. Istirahat adalah pasangan dari bekerja. Keduanya melengkapi satu sama lain” (halaman 120).
Menjadi ibu juga tidak melulu tentang anak atau pasangan. Ibu tetap adalah sosok individu, yang sah-sah saja punya mimpi. Puty juga secara adem menjelaskan tak perlu lagi ada war tentang siapa yang lebih baik, ibu rumah tangga atau ibu bekerja. “When we’re in a battle, we focus on ours” (halaman 88).
Jika sudah memilih suatu keputusan, seorang perempuan harus mengerahkan energi seoptimal mungkin untuk menjalani pilihan tersebut dengan ikhlas. “Kita tidak ada pertarungan yang berbeda dan tidak dapat diperbandingkan” (halaman 88).
Sebagai bonus, terdapat beberapa templat yang bisa diisi dan dicetak sendiri (bisa diakses melalui barcode). Templat ini menjadi panduan untuk mengarahkan penyusunan prioritas, pengukuran harian kemajuan, dan refleksi diri, antara lain action plan tracker, habit tracker dan target tujuan tahunan.
Kembali ke topik awal tentang naiknya pajak dan potensi membengkaknya pengeluaran, apa saja lesson learned dari buku ini untuk ibu-ibu berdaya?
Pertama, Puty menekankan perlu manajemen waktu dan manajemen energi dalam keseharian. Daripada menghabiskan energi untuk marah-marah ke anak atau ghibah di media sosial, lebih baik fokuskan energi fisik, mental, emosional dan spiritualitas ke arah positif misalnya decluttering barang tak terpakai. Puty juga memperkenalkan konsep Manajemen Ekspektasi, yaitu bersikap realistis dan tak perlu komparasi diri dengan influencer di media sosial terutama ilusi menjadi kaya, cantik dan stylish.
Kedua, pentingnya membuat skala rencana dan jadwal. Skala rencana ini bisa berupa rencana keuangan, misalnya alokasi anggaran yang mendesak dan penting atau anggaran yang masih bisa ditunda. Tips journalling yang disampaikan Puty bisa juga diadopsi untuk tracking kemana “bocornya” gaji sebulan. Alih-alih beli cilok dan seblak saat menjemput anak, “recehan” bisa dikumpulkan untuk anggaran me-time misalnya. Atau menunda pembelian air fryer model terkini karena setelah dianalisis sepertinya belum mendesak, dan masih bisa memanggang dengan oven yang ada.
Terakhir, evaluasi dan refleksi diri. Evaluasi ini dilakukan untuk tahu celah tujuan mana yang gagal dan mana yang berhasil. Misalnya apakah tujuan untuk menabung Rp 5 juta per bulan cukup realistis dilakukan, atau apakah keputusan untuk beli mobil second merupakan keputusan yang tepat. Dari sini kita bisa refleksi faktor internal atau faktor eksternal apa yang membuat tujuan ini tidak masuk akal. Puty menekankan bahwa tak perlu berkecil hati jika dari hasil evaluasi ternyata banyak hal tidak tercapai, karena refleksi diri adalah “loop” atau siklus yang continue. Dari pernyataan Puty ini, tandanya buku ini tidak bisa dibaca sekali duduk saja, tapi bisa dijadikan acuan terus menerus sepanjang tahun.
Berdaya artinya memiliki kekuatan. Berdaya artinya mencari cara untuk mengatasi jalan buntu. Kenapa ibu harus berdaya? Ibu adalah pusat dari keluarga dengan multi peran sebagai ibu, pendamping suami dan bagian dari masyarakat. Ibu yang kuat dan berdaya akan membawa dampak positif tak hanya bagi dirinya sendiri, tapi bagi anak dan orang di sekitarnya.
Judul: Empowered Me (Mother Empowers); Penulis: Puty Puar; Penerbit: Gramedia Pustaka Utama; Tahun Terbit: 2022; Jumlah Halaman: 174; Dimensi 20 x 13,5 cm; ISBN: 9786020659992