TERKUAK Penyebab Satu Keluarga Lompat Lantai 22 Apartemen Penjaringan Jakarta,Terlilit Utang?

- Motif satu keluarga akhiri hidup dengan melompat dari lantai 22 Apartemen di Penjaringan, Jakarta Utara diselidiki. Diketahui kabar satu keluarga beranggotakan empat orang mengakhiri hidup dengan lompat dari lantai 22 Apartemen Viral di Media Sosial. Lantas, apa motif satu keluarga tersebut akhiri hidup dengan lompat dari lantai 22 apartemen? Hingga kini, polisi masih menyelidiki kasus kematian satu keluarga yang diduga bunuh...

TERKUAK Penyebab Satu Keluarga Lompat Lantai 22 Apartemen Penjaringan Jakarta,Terlilit Utang?

TRIBUNPALU.COM - Motif satu keluarga akhiri hidup dengan melompat dari lantai 22 Apartemen di Penjaringan, Jakarta Utara diselidiki.

Diketahui kabar satu keluarga beranggotakan empat orang mengakhiri hidup dengan lompat dari lantai 22 Apartemen Viral di Media Sosial.

Lantas, apa motif satu keluarga tersebut akhiri hidup dengan lompat dari lantai 22 apartemen?

Hingga kini, polisi masih menyelidiki kasus kematian satu keluarga yang diduga bunuh diri dengan cara melompat dari lantai 22 sebuah Apartemen di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara.

Saat ini, pihak kepolisian masih melakukan pendalaman soal adanya dugaan penyebab mereka mengakhiri nyawanya karena terlibat utang-piutang.

"Masih didalami (dugaan motif utang). Saya belum sampai pada kesimpulan itu," kata Kapolsek Metro Penjaringan kompol Agus Ady Wijaya dilansir Tribun-medan.com, Selasa (12/3/2024).

Agus mengatakan dari hasil penyelidikan sementara, diketahui mereka sudah lama tidak menempati unit di Apartemen tersebut.

"Korban ini sudah lama tidak menempati salah satu tempat tinggalnya yang ada di Apartemen ini, sudah 2 tahun yang lalu," ucapnya.

Lalu, baru pada 9 Maret 2024 kemarin satu keluarga ini kembali ke Apartemen itu untuk melompat dari lantai 22.

"Baru ini kembali lagi ke Apartemen ini dan langsung seperti ini," jelasnya.

Sebelumnya, sebanyak empat orang yang merupakan satu keluarga ditemukan tewas diduga bunuh diri usai melompat dari lantai 22 Apartemen di daerah Penjaringan, Jakarta Utara, Sabtu (9/3/2024) sore kemarin.

Kapolres Metro Jakarta Utara Kombes Gidion Arif Setyawan yang membenarkan kejadian itu mengatakan bahwa empat korban terdiri dari dua laki-laki dan dua perempuan.

Adapun masing-masing korban memiliki inisial EA, AIL, JWA, dan JL.

"Empat mayat tersebut meninggal dunia akibat bunuh diri lompat dari lantai 22 Apartemen Teluk Intan. Untuk penyebab (bunuh diri) belum diketahui," kata Gidion saat dikonfirmasi, Minggu (10/3/2024).

Gidion pun memastikan bahwa empat korban itu merupakan satu keluarga dan mereka mengalami luka-luka di beberapa bagian tubuh usai ditemukan tewas tergeletak.

"Iya benar (empat korban satu keluarga)," sebutnya.

Sementara itu, mengenai kronologi penemuan empat jenazah tersebut dijelaskan Gidion bahwa hal itu bermula ketika saksi sekuriti Apartemen mendengar adanya suara benturan keras.

Setelah sekuruti itu mengecek, ternyata terdapat empat orang sudah tergeletak di pelataran parkir Apartemen tersebut dalam posisi terlentang.

"Ketika saksi sedang berjaga di depan lobby Apartemen mendengar suara benturan keras. Ketika menoleh ternyata empat jenazah sudah tergeletak di pelataran parkir dengan posisi terlentang," tuturnya.

Saksi pun selanjutnya langsung melapor ke Polsubsektor Teluk Intan dan tak lama kemudian petugas datang ke lokasi.

Setelah dilakukan pengecekan lanjut Gidion empat jenazah itu pun langsung dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta untuk selanjutnya dilakukan proses autopsi.

"Empat jenazah tersebut dibawa tiga unit mobil ambulans ke RS Cipto Mangunkusumo untuk dilakukan visum et repertum," pungkasnya.

Ahli Forensik Tak Sependapat Sekeluarga Akhiri Hidup, Sebut Pembunuhan

Kasus satu keluarga lompat dari lantai 22 di Apartemen menjadi misteri yang belum terpecahkan. 

Pada motif awal, kematian empat orang ini, istri-suami-dua anak ini disebut bunuh diri dengan cara melompat dari lantai 22. 

Namun, pakar mengungkapkan pandangan berbeda. 

Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menilai kasus itu bukan bunuh diri melainkan dibunuh. 

Menurutnya kasus lompat dari lantai 22 sebuah Apartemen di Penjaringan, Jakarta Utara (Jakut), Sabtu (9/3/20224) sebuah insiden pembunuhan.

Dari pendalaman dan penyelidikan polisi keempatnya diduga melakukan bunuh diri.

Para korban adalah suami dan istri EA (51) dan AIL (52) serta dua anak mereka JIL (15) dan JW (13).

Menurut polisi para korban mengalami luka di bagian kepala belakang hingga patah tangan dan kaki.

Terkait hal itu, Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel mengaku tidak sepakat jika disebut bahwa keempat korban yang sekeluarga melakukan bunuh diri.

"Saya tidak sepakat dengan sebutan itu," kata Reza dalam keterangan yang diterima, Senin (11/3/2024).

Menurut Reza wajib ada alasan khusus jika disebut keempatnya bunuh diri bersama-sama.

"Empat orang yang terjun dari atap Apartemen itu baru bisa dikatakan bunuh diri sekeluarga (bersama-sama), hanya jika bisa dipastikan bahwa pada masing-masing orang tersebut ada kehendak dan antarmereka ada kesepakatan (konsensual) untuk melakukan perbuatan sedemikian rupa," papar Reza.

"Namun, ingat, pada kejadian yang menyedihkan dan mengerikan itu ada dua orang anak-anak," kata Reza.

Menurutnya kedua anak tidak bisa disebut berkehendak dan bersepakat.

"Implikasinya, anggapan bahwa anak-anak berkehendak dan bersepakat, dalam peristiwa semacam ini serta-merta gugur. Dalam situasi apa pun, anak-anak secara universal harus dipandang sebagai manusia yang tidak memberikan persetujuannya bagi aksi bunuh diri," ujar Reza.

Reza menjelaskan hal ini dengan menganalogikan kedudukan anak dalam aktivitas seksual.

Dari sudut pandang hukum, kata Reza, anak-anak yang terlibat dalam aktivitas seksual harus selalu didudukkan sebagai individu yang tidak ingin dan tidak bersepakat melakukan aktivitas seksual.

"Siapa pun orang yang melakukan aktivitas seksual dengan anak-anak secara universal selalu diposisikan sebagai pelaku kejahatan seksual. Anak-anak secara otomatis berstatus korban," kata Reza.

Lebih lanjut Reza menjelaskan, terlepas apakah anak-anak pada peristiwa itu mau atau tidak mau, setuju atau tidak setuju, tetap sekali lagi mereka harus diposisikan sebagai orang yang tidak mau dan tidak setuju.

"Aksi terjun bebas tersebut, dengan demikian, mutlak harus disimpulkan sebagai tindakan yang tidak mengandung konsensual," katanya.

Karena tidak konsensual, kata Reza, maka anak-anak itu harus disikapi sebagai manusia yang tidak berkehendak dan tidak bersepakat, melainkan dipaksa untuk melakukan aksi ekstrim tersebut.

"Atas dasar itu, dengan esensi pada keterpaksaan tersebut, anak-anak itu sama sekali tidak bisa dinyatakan melakukan bunuh diri," ujar Reza.

"Karena mereka dipaksa melompat, maka mereka justru korban pembunuhan. Pelaku pembunuhannya adalah pihak yang--harus diasumsikan--telah memaksa anak-anak tersebut untuk melompat sedemikian rupa," katanya.

Memang, menurut Reza, walau kejadian tersebut berubah tidak lagi semata-mata bunuh diri, melainkan menjadi bunuh diri dan pembunuhan, polisi tidak bisa memrosesnya lebih lanjut karena terduga pelaku sudah tewas.

"Indonesia tidak mengenal posthumous trial atau proses pidana terhadap pelaku yang sudah mati," kata Reza.

Namun, kata Reza, dalam pendataan polisi, dan perlu menjadi keinsafan seluruh pihak, tetap peristiwa memilukan itu seharusnya dicatat sebagai kasus pidana.

"Yakni terkait pembunuhan terhadap anak dengan modus memaksa mereka untuk melompat dari gedung tinggi," ujarnya.

(*)

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow