Penyebab Rupiah Makin Anjlok ke Rp16.323 per Dolar AS

Rupiah dibuka melemah ke posisi Rp16.232 per dolar AS pada perdagangan awal pekan, Senin (29/4/2024).

Penyebab Rupiah Makin Anjlok ke Rp16.323 per Dolar AS

Bisnis.com, JAKARTA - Mata uang rupiah dibuka melemah ke posisi Rp16.232 per dolar AS pada perdagangan awal pekan, Senin (29/4/2024) karena tekanan data ekonomi Paman Sam. 

Berdasarkan data Bloomberg, mata uang rupiah dibuka dengan turun 0,14% atau 22 poin ke level Rp16.232 per dolar AS. Sementara itu, indeks dolar naik 0,05% ke level 105.860. 

Sejumlah mata uang kawasan Asia lainnya bergerak bervariasi terhadap dolar AS. Yen Jepang turun 0,53%, dolar Hong Kong turun 0,01%, won Korea melemah 0,48%, rupee India turun 0,03%, ringgit Malaysia melemah 0,18%, baht Thailand turun 0,07%, peso Filipina tergerus 0,01%. 

Baca Juga : Rupiah Loyo, Pembayaran Bunga Utang Pemerintah Ikut Bengkak?

Sementara itu, mata uang yang naik adalah yuan China 0,01% dan dolar Singapura sebesar 0,04%. 

Sebelumnya, Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan pada perdagangan hari ini, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup menguat di rentang Rp16.180 - Rp16.260 per dolar AS. 

Baca Juga : : Kisi-kisi Sektor Berpotensi Bagger di Tengah Upaya Pemulihan Rupiah

Hal tersebut didasari oleh Departemen Perdagangan melaporkan bahwa produk domestik bruto AS tumbuh pada tingkat tahunan sebesar 1,6% pada periode Januari-Maret, lebih lambat dari tingkat pertumbuhan 2,4% yang diperkirakan oleh para ekonom yang disurvei oleh Reuters.

“Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa inflasi yang diukur dengan indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) inti naik 3,7% pada kuartal pertama, melampaui perkiraan kenaikan 3,4%,” kata dia dalam riset harian, dikutip Senin (29/4/2024). 

Baca Juga : : Beban Berat BUMN Karya saat Suku Bunga Meningkat dan Rupiah Tertekan

Kejutan inflasi menempatkan fokus yang lebih besar dari biasanya pada rilis data indeks harga PCE untuk bulan Maret pada hari Jumat. Indeks PCE, dan indeks PCE inti yang memperhitungkan harga pangan dan energi merupakan salah satu ukuran paling penting yang digunakan oleh The Fed dalam mengukur perilaku harga. Inflasi masih berada di atas target inflasi bank sentral AS sebesar 2%. 

Di sisi lain, investor memperkirakan pertemuan kebijakan Bank of Japan (BOJ) yang berakhir pada hari Jumat tidak akan cukup hawkish untuk mendukung mata uang tersebut. mata uang Jepang. Investor memperkirakan level dolar/yen 155 akan menjadi batasan bagi otoritas Jepang, di mana BOJ dapat melakukan intervensi untuk menopang mata uang tersebut. 

Menyusul data PDB, pasar suku bunga berjangka AS memperkirakan peluang penurunan suku bunga Fed sebesar 58% pada bulan September, turun dari 70% pada hari Rabu, menurut alat FedWatch CME Group. 

Pedagang suku bunga berjangka pada hari Kamis memperhitungkan kemungkinan 68% bahwa penurunan suku bunga pertama The Fed sejak tahun 2020 dapat terjadi pada pertemuannya di bulan November.

Sementara itu, dari dalam negeri Menteri Keuangan (Kemenkeu) Sri Mulyani mengatakan, kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih terjaga dalam posisi surplus hingga Maret 2024. 

APBN hingga Maret atau satu kuartal terlihat positif meskipun tetap waspada karena kondisi geopolitik meningkat. Sedangkan, posisi total dari APBN masih surplus Rp8,1 triliun atau 0,04 persen dari GDP, dari sisi keseimbangan primer surplus Rp122,1 Triliun.

Kemudian, kinerja surplus itu terjadi karena pendapatan negara lebih besar dibandingkan belanja APBN. Untuk pendapatan negara hingga Maret telah terkumpul Rp620,01 triliun atau setara 22,1 persen dari target Rp2.802,3 Triliun pada kuartal pertama. Jika dibandingkan periode tahun sebelumnya, pendapatan ini menurun 4,1 persen

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow