Peneliti BRIN Ungkap Sejumlah Kelemahan Minyak Makan Merah. Apa Saja?

Warna dan rasa khas minyak makan merah yang tak lazim bisa menyulitkan promosi produk tersebut. Namun, nutrisinya bisa menyaingi minyak biasa.

Peneliti BRIN Ungkap Sejumlah Kelemahan Minyak Makan Merah. Apa Saja?

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Indra Budi Susetyo, masih menemukan kelemahan minyak makan merah yang belakangan menjadi perbincangan publik. Bukan soal kandungan dan nutrisi, kekurangan itu terkait dengan warna minyak yang merah dan cerah. Tampilan yang tak biasa diperkirakan bisa mempersulit pemasaran produk anyar tersebut.

"Menjadi tugas yang sulit untuk disosialisasikan kepada masyarakat. Ditambah lagi minyak goreng biasa yang sudah lama diproduksi itu warnanya jernih," katanya saat diwawancarai Tempo melalui aplikasi Zoom pada Rabu, 20 Maret 2024.

Peresmian pabrik minyak makan merah menjadi sorotan beberapa waktu terakhir. Pabrik yang berada di Desa Pagar Merbau II, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, itu diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada Kamis, 14 Maret lalu.

Pabrik yang juga terletak di Regional 1 PT Perkebunan Nusantara I ini digadang-gadang mampu memproduksi minyak makan untuk masyarakat dengan harga yang lebih murah dari minyak goreng biasa. Produk itu bahkan diklaim memiliki nutrisi lebih unggul dibanding minyak goreng konvensional yang kini beredar di publik.

Menurut Indra, sebagian masyarakat kemungkinan masih akan meragukan minyak makan merah. "Sejak dulu minyak goreng itu dikenal warnanya jernih. Kali ini kok merah. Tentunya nanti akan timbul pertanyaan serupa ini di masyarakat," ucap peneliti dari Pusat Riset Agroindustri BRIN tersebut..

Warna merah yang cerah, menurut Indra, disebabkan oleh proses pengolahan minyak yang tidak melalui penyulingan atau bleaching seperti minyak goreng biasa. Nihilnya penyulingan membuat warna terang dan aroma yang kuat dari biji sawit masih terjaga hingga tahap akhir.

Kendati tidak melalui bleaching, Indra berpendapat bahwa nutrisi di minyak merah lebih tinggi dibandingkan produk konvensinal. Bahkan, minyak ini masih mempertahankan senyawa fitonutrien sebagai sumber vitamin A, tokoferol dan tokotrienol sebagai vitamin E, serta squalene.

"Ini menjadi pembeda dari minyak goreng biasa. Soalnya minyak yang kita konsumsi sekarang itu sudah kehilangan sumber vitamin A karena proses pengolahan. Lalu pada tahap akhir baru ditambahkan lagi," kata Indra.

Proses penyulingan yang tidak lazim membuat minyak makan merah memiliki rasa khas yang cukup kuat. Kondisi itu juga bisa menjadi masalah tersendiri, khususnya bagi masyarakat yang tidak menyukai rasa tersebut.

Meski begitu, perihal flavour dan warna minyak makan merah masih bisa diatasi dan dikurangi. Yang diperlukan hanya penelitan dan riset yang lebih jauh. Menurut Indra, ada banyak tahapan yang bisa dipakai untuk memproduksi minyak makan merah ini. Pastinya ada tahapan yang bisa dipakai untuk mengurangi rasa alami tadi.

"Butuh studi-studi terbaru untuk minyak makan merah ini,” tuturnya. Dia mengimbuhkan, penelitian terkait pengolahan sawit untuk minyak makan sudah ada sejak 30 tahun yang lalu.

Pilihan Editor: Publikasi Ilmiah Situs Gunung Padang Dicabut dari Jurnal, Ini Alasannya

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow