Pemilu Indonesia di Mata Media Asing: Langkah Politik Jokowi Jadi Sorotan

Pemilu Indonesia di Mata Media Asing: Bayang-bayang Jokowi Jadi Sorotan #focus #pilpres2024 #news #text

Pemilu Indonesia di Mata Media Asing: Langkah Politik Jokowi Jadi Sorotan

Pesta demokrasi di Indonesia mencapai puncaknya, Rabu (14/2), ditandai dengan pemungutan suara yang diikuti lebih 200 juta jiwa yang terdaftar di DPT.

Hal-hal mengenai langkah politik dan bayang-bayang dari Presiden Joko Widodo dalam Pemilu 2024 menjadi sorotan media asing — terutama isu 'dinasti politik' yang meruak di akhir masa jabatan lulusan Fakultas Kehutanan UGM itu.

Langkah politik Jokowi yang paling disorot media asing adalah keberpihakannya kepada salah satu paslon, yakni pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Yang menarik di mata media luar adalah Prabowo sempat menjadi rival Jokowi pada Pilpres 2014 dan 2019. Sementara Gibran tak lain adalah adalah anak sulung Jokowi sendiri.

Selain itu, untuk pertama kalinya dalam 15 tahun, terdapat tiga calon presiden yang bertarung di Pemilu 2024 — sejak 2009.

Media berbasis di Singapura, Channel News Asia, mempublikasikan artikel berjudul 'Pemilu Indonesia 2024: Bagaimana 'efek Jokowi' mempengaruhi lanskap pemilu', pada Selasa (13/2).

Dalam berita itu, CNA bahkan menjuluki Jokowi sebagai 'kingmaker' alias seseorang yang punya pengaruh besar terhadap suksesi politik, tanpa harus menjadi kandidat.

"Presiden Indonesia Joko Widodo secara konstitusional dilarang untuk mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga, tetapi ia telah muncul sebagai kingmaker dalam voting presiden," bunyi laporan CNA.

Keberpihakan Jokowi terhadap paslon 02 dipandang sebagai kelahiran dinasti politik dan mencederai demokrasi — lantaran Jokowi disorot melakukan black campaign, dengan diam-diam menggalang dukungan untuk Prabowo-Gibran.

"Gibran ikut serta dalam pemilihan sebagai calon wakil presiden dari calon terdepan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dan Bapak Jokowi diyakini secara diam-diam menggalang dukungan untuk memastikan kemenangan," sambung laporan CNA.

"Dengan adanya dukungan dari sang petahana, jaringan ini kini telah melemparkan dukungannya ke kubu Prabowo-Gibran dalam sebuah fenomena yang oleh beberapa pihak disebut sebagai 'Jokowi' effect'," imbuhnya.

'Jokowi Effect'

Pembahasan soal 'Jokowi effect' juga diangkat media berbasis di Inggris, Reuters. Dalam pemberitaan yang dipublikasikan Senin (12/2) berjudul "Jokowi Effect': Bagaimana pemimpin Indonesia yang akan habis masa jabatannya membentuk pemilihan umum untuk menggantikannya', dijelaskan bagaimana Jokowi berhasil menaikkan elektabilitas Prabowo yang dua kali kalah darinya.

"Prabowo, yang kalah dari Jokowi dalam dua pemilihan presiden terakhir, kali ini memegang keunggulan yang cukup besar, dengan para analis memuji dukungan dari sang petahana — sebuah fenomena yang disebut sebagai 'efek Jokowi'," lapor Reuters.

"Efek ini terutama terlihat di Jawa Tengah, di mana mantan Gubernur Ganjar Pranowo — yang dulunya dianggap sebagai penerus alami Jokowi — telah kehilangan keunggulannya di daerahnya sendiri," imbuh laporan itu.

Sejak Prabowo menggemparkan masyarakat Indonesia saat memilih Gibran sebagai wakilnya pada Oktober lalu, elektabilitas Ganjar di jantung pulau Jawa anjlok 30 poin menjadi 38 persen dari 68 persen — bahkan popularitas Prabowo kini telah melampaui Ganjar.

Seorang analis lulusan Harvard University, Kevin O'Rourke, menguak alasan mengapa dukungan Jokowi bisa menjadi sangat penting.

"Jokowi telah menjadi faktor yang sangat besar. Sebagian besar hanya tentang dia. Dan dia memiliki formula yang membuatnya populer: inflasi rendah, pengeluaran layanan sosial dan pembangunan infrastruktur, dan disposisi yang disukai masyarakat," jelasnya dalam pemberitaan Reuters.

Bayang-bayang Jokowi dalam Pemilu

Media berbasis di Amerika Serikat, New York Times, termasuk salah satu media asing yang paling vokal dalam menyoroti lanskap politik Indonesia.

Dengan menggunakan kata-kata lugas dan pedas, media New York Times mempublikasikan berita berjudul "Anak Presiden Masuk dalam Potret Pemilu Indonesia. Demokrasi atau Dinasti?" saat Gibran diumumkan menjadi calon wakil presiden Prabowo pada Oktober lalu.

"Belum lama ini, putra sulung Presiden Joko Widodo dari Indonesia ini menjalankan bisnis katering dan jaringan toko makanan penutup. Kini, ia menjadi simbol dinasti politik yang sedang berkembang dan penerima manfaat dari manuver keluarga," bunyi laporan New York Times.

New York Times kemudian menyoroti pernyataan Jokowi dari waktu ke waktu soal relasi antara kekuasaan dan keluarganya. Dulu, Jokowi pun bilang bahwa ia tidak akan menyalurkan kekuasaan ke anak-anaknya meski ia menjabat sebagai presiden.

"Sebagai mantan pengusaha mebel, Joko naik dari wali kota menjadi gubernur dan akhirnya menjadi presiden negara demokrasi terbesar ketiga di dunia tanpa koneksi keluarga. Setelah memenangkan masa jabatan pertamanya, ia mengatakan bahwa menjadi presiden 'tidak berarti menyalurkan kekuasaan kepada anak-anak saya'," sambung laporan New York Times.

"Namun, setelah Bapak Joko memenangi masa jabatan lima tahun kedua dan terakhirnya pada tahun 2019, anggota keluarganya memulai karier politik mereka sendiri. Pada tahun 2020, Gibran terpilih sebagai Wali Kota Solo, dan menantu Bapak Joko, Muhammad Bobby Afif Nasution, terpilih sebagai Wali Kota Medan," tambahnya.

Pada 12 Februari 2024, New York Times juga menerbitkan opini Gordon LaForge berjudul The Sun Is Setting on Indonesia’s Democratic (Senja Kala Demokrasi di Indonesia).

"Dark clouds are gathering again. Indonesians will vote for a new president on Wednesday to succeed the outgoing Joko Widodo. But the man expected to win — and the anti-democratic path that Mr. Joko has set the country on — threaten many of the gains Indonesians have achieved," begitu antara lain yang tertulis.

Sedangkan The Economist pada 8 Februari merilis artikel berjudul What Jokowi’s inglorious exit means for Indonesia (Apa arti lengsernya Jokowi secara memalukan bagi Indonesia).

"Joko Widodo meninggalkan kursi kepresidenan Indonesia dengan cara yang kurang pantas dibandingkan saat ia menjabat. Satu dekade yang lalu, mantan pengusaha mebel, yang dikenal sebagai Jokowi, meraih kekuasaan dengan janji untuk menentang para elite yang telah mengatur negara demokrasi terbesar ketiga di dunia sejak jatuhnya diktator Soeharto pada tahun 1998. Namun alih-alih mengalahkan kekuasaan, broker, Jokowi telah bergabung dengan mereka," begitu yang tertulis di alinea pertama.

Demokrasi Indonesia di Mata Asing

Jika kebanyakan media asing menyoroti kemunduran demokrasi dan kebangkitan politik dinasti di Indonesia, salah seorang analis lulusan Lowy Institute, Ben Bland, berpendapat sebaliknya. Menurut Bland, demokrasi di Indonesia lebih kuat dari seseorang yang kuat'.

Pria yang juga pernah menulis buku berjudul 'Man of Contradictions: Joko Widodo and the Struggle to Make Indonesia' ini menulis esai soal pemilu 2024 dan keyakinannya itu dalam kolom yang dipublikasikan Al Jazeera, pada Rabu (14/2).

Bland mencatat, meski ada kekhawatiran tentang konsekuensi di balik kemenangan Prabowo — tapi ia yakin, hal itu tidak akan menimbulkan ancaman eksistensial bagi Indonesia.

Demokrasi Indonesia, kata Bland, tetap tangguh dan kokoh meskipun diterpa erosi dari beberapa checks and balances. Ia meruju pada warga sipil yang dinamis, masih adanya media investigasi, dan sistem politik yang terdesentralisasi sebagai kendala bagi kekuasaan presiden.

Demikian yang ditulis Bland dalam esainya soal pemilu 2024:

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow