Mengenal Apa Itu Chloropicrin, Senjata Kimia yang AS Tuduh Rusia Pakai di Ukraina

Menurut laporan, setidaknya 500 tentara Ukraina dirawat karena terkena gas beracun. Salah satu dari mereka mati lemas akibat gas air mata.

Mengenal Apa Itu Chloropicrin, Senjata Kimia yang AS Tuduh Rusia Pakai di Ukraina

MOSKWA, KOMPAS.com - Amerika Serikat menuduh Rusia menggunakan senjata kimia chloropicrin sebagai "metode berperang" di Ukraina, dan melanggar hukum-hukum internasional yang melarang tindakan ini.

Para pejabat di Departemen Luar Negeri AS mengatakan, Rusia telah menggunakan zat chloropicrin yang dapat menyebabkan sesak napas demi "memenangkan pertarungan di medan perang".

AS menyebut tindakan itu bukanlah insiden yang tidak disengaja. Penggunaan senjata kimia yang dituduhkan kepada pasukan Rusia melanggar Konvesi Senjata Kimia (CWC) yang juga diratifikasi oleh Moskwa.

Baca juga: OPCW: Tuduhan Penggunaan Senjata Kimia di Ukraina Tidak Cukup Bukti

Kremlin membantah tuduhan itu dan menyebutnya "tidak berdasar".

Juru bicara Pemerintah Rusia, Dmitry Peskov, mengatakan kepada sejumlah jurnalis di Moskwa bahwa Rusia mematuhi CWC, yang membatasi negara-negara untuk mengembangkan atau memperoleh senjata baru.

Apa itu chloropicrin?

Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) mengatakan bahwa senjata kimia adalah zat beracun yang digunakan secara sengaja untuk mencelakakan hingga menyebabkan kematian.

AS menuding Rusia menggunakan chloropicrin untuk "mengusir pasukan Ukraina dari posisi-posisi yang dibentengi".

Chloropicrin merupakan zat yang berminyak dan kerap digunakan selama Perang Dunia I.

Zat ini dapat menyebabkan iritasi pada paru-paru, mata, dan kulit. Menurut Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) AS, gejala fisik yang ditimbulkan berupa muntah, mual dan diare.

Penggunaan bahan kimia ini dilarang secara tegas oleh CWC karena diklasifikasikan sebagai zat yang dapat menyebabkan sesak napas oleh OPCW, selaku badan yang mengawasi penggunaan senjata kimia.

Presiden AS Joe Biden telah memperingatkan Rusia untuk tidak menggunakan senjata kimia di Ukraina.

Pada Maret 2022, beberapa pekan setelah Moskwa melancarkan invasi, Biden berjanji bahwa Vladimir Putin akan membayar "harga yang mahal" jika dia mengizinkan penggunaan senjata kimia ini.

"Kami akan merespons jika Anda menggunakannya. Seperti apa responsnya akan bergantung pada seperti apa penggunaannya," kata Biden.

Namun menurut sejumlah laporan, Moskwa mengabaikan peringatan itu.

Wakil Menteri Pengendalian Senjata AS, Mallory Stewart, sebelumnya juga mengatakan bahwa Rusia telah menggunakan bahan kimia pengendali kerusuhan di Ukraina.

Ukraina pun mengatakan pasukannya telah menghadapi serangan kimia yang meningkat dalam beberapa bulan terakhir.

Pada awal tahun lalu, kantor berita Reuters melaporkan bahwa pasukan Rusia telah menggunakan granat berisi gas air mata yang mengandung chloroacetophenone (CN) dan chlorobenzylidenemalononitrile (CS).

Menurut laporan tersebut, setidaknya 500 tentara Ukraina dirawat karena terkena gas beracun. Salah satu dari mereka mati lemas akibat gas air mata.

Tiga organisasi Rusia yang terkait dengan program senjata biologi dan kimia telah mendapat sanksi dari Departemen Luar Negeri karena terkait dengan produksi bahan kimia.

Perusahaan lain yang berkontribusi pada entitas pemerintah juga terkena sanksi.

Baca juga: AS Hancurkan Senjata Kimia, Tak Ada Lagi Sisa Stok di Dunia

Rekam jejak serangan senjata kimia

Pada 2017, OPCW mengatakan Rusia telah menghancurkan stok senjata kimia terakhir dari era Perang Dingin, seperti yang diwajibkan oleh CWC.

Namun menurut House of Commons Library—layanan riset dan informasi yang berbasis di Parlemen Inggris, Moskwa sejak saat itu dituding mengeluarkan pernyataan yang tidak lengkap mengenai cadangannya.

Sejak 2017, Rusia diduga terlibat dalam setidaknya dua serangan kimia. Serangan pertama menyasar seorang mantan petugas intelijen Uni Soviet di Salisbury, Inggris pada 2018. Kemudian pada 2020, pemimpin oposisi Rusia, Alexei Navalny diracuni.

AS kemudian menerapkan paket sanksi terhadap 30 orang, termasuk tiga orang yang diduga terlibat dalam kematian Navalny.

Rusia membantah tuduhan keterlibatannya dalam kematian pemimpin oposisi tersebut. Namun, istri Navalny menuduh Presiden Putin bertanggung jawab atas kematian suaminya.

Sementara itu, pasukan Rusia di timur Ukraina terus bergerak maju jelang peringatan Hari Kemenangan pada 9 Mei, yakni hari yang memperingati kemenangan Soviet pada Perang Dunia II.

Sebagian besar pertempuran kini terjadi di sekitar Chasiv Yar, sebuah wilayah yang dikuasai oleh Kyiv dan sedang berupaya dijangkau oleh Rusia setelah mengambil alih Kota Avdiivka.

Moskwa diyakini ingin mengambil alih Chasiv Yar sebelum hari peringatan tersebut.

Di tengah situasi itu, Presiden Volodymyr Zelensky memecat Kepala Departemen Keamanan Siber Dinas Keamanan Ukraina Illya Vityuk karena diduga menyalahgunakan kewenangan untuk menekan jurnalis yang melaporkan kasus dugaan korupsinya.

Jurnalis itu dipanggil ke pusat perekrutan militer sehingga komandan militer Oleksandr Syrskyi membuka investigasi atas kasus itu.

Secara terpisah, organisasi nirlaba Human Rights Watch telah menyerukan agar dilakukan investigasi atas kejahatan perang, setelah membuka bukti-bukti bahwa pasukan Rusia mengeksekusi puluhan tentara Ukraina yang menyerah.

Eksekusi itu diduga terjadi antara Desember 2023 hingga Februari 2024.

Baca juga: Rusia Sebut AS Sebarkan Kebohongan Soal Senjata Kimia di Ukraina

OPCW: Tuduhan Rusia pakai senjata kimia tak cukup bukti

OPCW pada Selasa (7/5/2024) mengatakan, informasi yang mereka terima tentang dugaan penggunaan senjata kimia oleh Rusia di Ukraina tidak cukup bukti.

OPCW juga menyatakan, belum menerima permintaan resmi untuk menyelidiki klaim tersebut setelah AS menuduh Rusia menggunakan bahan beracun chloropicrin terhadap pasukan Ukraina.

“Baik Federasi Rusia dan Ukraina saling menuduh dan melaporkan tuduhan penggunaan senjata kimia kepada Organisasi,” kata OPCW, dikutip dari kantor berita AFP.

“Informasi yang diberikan kepada Organisasi sejauh ini oleh kedua belah pihak, bersama dengan informasi yang tersedia bagi Sekretariat, tidak cukup bukti,” tambahnya.

Namun, OPCW menggambarkan situasi ini tidak menentu dan sangat memprihatinkan sehubungan kemungkinan munculnya kembali penggunaan bahan kimia beracun sebagai senjata.

Baca juga: Biden Buka Suara soal Peluang Perang Dunia 3 dan Senjata Kimia Rusia di Ukraina

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow