Mengapa Al Jazeera Dilarang Beroperasi di Israel?

“Al Jazeera tidak akan lagi disiarkan dari Israel,” tulis Netanyahu dalam sebuah postingan di X.

Mengapa Al Jazeera Dilarang Beroperasi di Israel?

MEDIA berperan penting dalam distribusi informasi. Dalam konflik Israel-Hamas pada enam bulan terakhir ini, media menjadi satu-satunya yang dapat diandalkan oleh komunitas internasional untuk mendapatkan informasi terkini terkait perkembangan konflik tersebut.

Ada banyak media yang memberitakan isu itu secara rutin, salah satu yang paling aktif adalah Al Jazeera. Al Jazeera merupakan salah satu dari segelintir media yang memiliki biro di Gaza. Tidak hanya aktif, Al Jazeera juga merupakan salah satu media yang paling kritis terhadap operasi militer Israel di Gaza.

Kekritisan Al Jazeera terhadap Israel membawa sejumlah konsekuensi bagi media tersebut.

Sejak serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023, Al Jazeera telah kehilangan sejumlah krunya akibat serangan Israel. Januari lalu, Al Jazeera kehilangan salah satu jurnalisnya,  yaitu Hamza al-Dahdouh. Dahdouh tewas akibat serangan udara Israel.

Baca juga: Kesaksian Jurnalis Al Jazeera yang Ditangkap Pasukan Israel Saat Meliput di RS Al-Shifa

Tentara Israel menyatakan, penyerangan itu berlandaskan pada sebuah dokumen yang mereka dapatkan, yang berisikan informasi akan adanya “peran Hamza al-Dahdouh dalam unit teknik elektronik Jihad Islam dan peran sebelumnya sebagai wakil komandan dalam Susunan Roket Batalyon Zeitoun.”

Keluarga Dahdouh membantah tuduhan itu. Al Jazeera juga membantah hal itu. Mereka menyebut tuduhan tersebut “upaya palsu dan menyesatkan untuk membenarkan pembunuhan rekan-rekan kami".

Al Jazeera menuduh Israel telah “secara sistematis menargetkan” keluarga Dahdouh. Ayah Hamza Dahdouh, Wael, adalah kepada biro jaringan Al Jazeera di Gaza. Wael telah kehilangan lima anggota keluarga terdekatnya, termasuk Wael, akibat serangan Israel.

Al Jazeera baru-baru ini menghadapi konsekuensi baru setelah legislator Israel menyetujui rancangan undang-undang (RUU) yang membuka jalan bagi pemblokiran media-media internasional yang dianggap menimbulkan ancaman terhadap keamanan, salah satunya adalah Al-Jazeera.

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengonfirmasi keputusan tersebut di media sosial. Dia menyatakan, Al Jazeera tidak akan lagi beroperasi di Israel dan berjanji akan segera mengambil tindakan berdasarkan undang-undang baru tersebut.

Al Jazeera tidak akan lagi disiarkan dari Israel,” tulis Netanyahu dalam sebuah postingan di X pada 1 April 2024 setelah undang-undang tersebut disetujui. “Saya bermaksud untuk segera bertindak sesuai dengan undang-undang baru untuk menghentikan aktivitas saluran tersebut.”

Dalam pernyataannya itu, Netanyahu juga menuduh Al Jazeera telah “berpartisipasi aktif dalam pembantaian 7 Oktober dan menghasut tentara Israel.”

Al Jazeera mengecam keputusan Israel dan menyebutnya “kebohongan yang berbahaya dan konyol”. Al Jazeera juga menyebut keputusan tersebut sebagai “tuduhan fitnah” yang “membahayakan” tidak hanya kepada reputasi Al Jazeera tetapi juga keselamatan dan hak-hak karyawannya di seluruh dunia.

Tidak hanya Al Jazeera, keputusan tersebut juga mendapatkan kritik Gedung Putih.

“Kami percaya pada kebebasan pers. Ini sangat penting. Hal ini sangat penting, dan Amerika Serikat mendukung pekerjaan penting yang dilakukan jurnalis di seluruh dunia, termasuk mereka yang melaporkan konflik di Gaza,” kata Karine Jean-Pierre, juru bicara Gedung Putih kepada wartawan.

“Jadi, kami percaya bahwa pekerjaan itu penting. Kebebasan pers itu penting. Dan jika laporan tersebut benar, maka ini mengkhawatirkan kami,” tambahnya.

Baca juga: Israel Serang Sekolah di Gaza Selatan, Jurnalis Al Jazeera Tewas

Komite untuk Perlindungan Jurnalis (CPJ) juga menyampaikan kekhawatirannya akan keputusan Israel tersebut. Direktur Program CPJ, Carlos Martinez de la Serna, mengkhawatirkan undang-undang tersebut akan “berkontribusi pada iklim sensor diri dan kebencian terhadap pers.”

Di sisi lain, Direktur Human Rights Watch untuk Israel dan Palestina, Omar Shakir, mengatakan kepada CNN bahwa keputusan Israel itu dapat membatasi akses publik terhadap informasi terkait realitas sehari-hari di Israel dan Palestina.

Ini bukanlah pertama kali Israel mengancam akan menindaklanjuti operasi Al Jazeera di Israel serta di wilayah Palestina yang didudukinya.

Pada pertengahan Oktober tahun lalu, pemerintah Israel menyetujui peraturan masa perang yang mengizinkan penutupan sementara media-media asing yang dianggap mengancam kepentingan negara.

Peran Pemerintah Qatar di Al Jazeera

Sebagian pendaan Al Jazeera bersumber dari pemerintah Qatar. Al Jazeera didirikan di Doha, Qatar, pada 1 November 1996 oleh Emir Qatar kala itu, Sheikh Hamad bin Khalifa Al Thani. Al Jazeera saat itu menjadi media independen pertama di wilayah Arab. Sebelum Al Jazeera, Arab hanya memiliki media yang dikontrol negara sehingga hak publik untuk mengetahui dan didengarkan cenderung terabaikan.

Di tahun 2000, Al Jazeera telah tayang selama 24 jam sehari di lebih dari 20 negara, menjadikannya media unggulan untuk berita berbahasa Arab. Di tahun 2006, Al Jazeera meluncurkan cabang berbahasa Inggris. Al Jazeera kemudian meluncurkan Al Jazeera America untuk Amerika Serikat (AS) pada tahun 2013. 

Al Jazeera memiliki slogan “Opini dan Opini yang Lain” yang menjelaskan upaya Al Jazeera dalam membawa perspektif yang beragam terhadap sebuah cerita. Bukan sekedar slogan, namun kalimat tersebut juga betul-betul direalisasikan oleh Al Jazeera.

Al Jazeera menjadi satu-satunya media yang memberitakan Timur Tengah tanpa sensor dan kebebasan editorial yang unik. Isu-isu sensitif di wilayah tersebut disajikan Al Jazeera selalu dengan sudut pandang yang berbeda.

Hal ini menuai kritik dari para penguasa dan pemerintah di Timur Tengah. Al Jazeera dinilai mengundang amarah bukannya memberikan informasi sebagaimana media harusnya berperan. Di tahun 2017, pemerintah Bahrain, Mesir, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab memberlakukan blokade ekonomi terhadap Qatar. Bersamaan dengan blokade tersebut, mereka juga mengajukan daftar tuntutan, salah satunya penutupan Al Jazeera.

Beberapa minggu setelah serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023, pemerintah Qatar diminta untuk menindaklanjuti Al Jazeera, kali ini oleh AS yang menilai Al Jazeera perlu “menurunkan volume” pemberitaannya di Gaza.

Menteri Luar Negeri, Antony Blinken, AS menyampaikan permintaan kepaga Qatar agar memoderasi liputan Al Jazeera terkait perang Israel dengan Hamas. Permintaan ini merupakan respon dari kekhawatiran bahwa Al Jazeera telah meningkatkan resiko konflik. Ada pula kekhawatiran AS tersebut adalah cerminan dari besarnya dampak liputan Al Jazeera terhadap opini publik di kawasan Arab.

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow