Informasi Terpercaya Masa Kini

Miftah Maulana Kenakan Blangkon Kembali, Begini Seluk Beluk Penutup Kepala Khas Orang Jawa

0 3

TEMPO.CO, Jakarta – Miftah Maulana atau dikenal dengan sebutan Gus Miftah menggunakan blangkon saat mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama di Sleman, Yogyakarta, Jumat, 6 Desember 2024. Dalam acara tersebut, Gus Miftah menyatakan bahwa blangkon mencerminkan kembalinya dirinya ke identitas awal sebagai pendakwah.

“Blangkon menjadi identitas saya sebagai pendakwah, kembali ke masyarakat dan pesantren seperti dulu,” ujar Miftah. Ia juga menyebutkan bahwa gaya dakwahnya akan tetap lantang namun lebih berhati-hati agar tidak menimbulkan salah tafsir.

Penggantian penutup kepala dari peci ke blangkon itu diungkap Miftah menjadi simbol perubahan identitasnya dari sebelumnya penjabat menjadi pendakwah.

“Saat masih berada di UKP (Utusan Khusus Presiden), saya masih menggunakan peci sebagai satu simbol yang sangat dicintai oleh Bapak Presieden Prabowo, tapi mulai hari ini saya kembali menggunakan blangkon,” kata Miftah.

Miftah mengungkapkan, penggunaan blangkon yang menjadi penutup khas kepala bagi orang Jawa itu bukan tanpa alasan.

“Blangkon juga menjadi identitas saya sebagai seorang pendakwah. Artinya, saya kembali kepada masyarakat, kembali ke pesantren seperti dulu, tidak ada yang berubah,” kata Miftah.

Blangkon merupakan salah satu simbol khas budaya Jawa yang lekat dengan identitas masyarakat di pulau ini. Saat berkunjung ke daerah Yogyakarta atau Solo, sangat mudah menemui pria mengenakan blangkon sebagai hiasan kepala, baik dalam acara formal maupun keseharian. Namun, tahukah Anda bahwa blangkon menyimpan sejarah panjang yang penuh makna dan kisah menarik?

Penggunaan blangkon tidak hanya berfungsi sebagai penutup kepala, tetapi juga menjadi lambang budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Sebelum dikenal seperti sekarang, blangkon memiliki sejarah evolusi dari sekadar lilitan kain hingga menjadi bentuk siap pakai.

Sejarah Blangkon

Cerita rakyat Jawa menyebutkan Aji Saka sebagai tokoh yang membawa peradaban dan huruf Jawa ke tanah ini. Dalam salah satu legenda, Aji Saka mengalahkan raksasa Dewata Cengkar yang menguasai tanah Jawa dengan membentangkan kain penutup kepala untuk menutupi seluruh wilayah. Meski dalam kisah ini tidak dijelaskan secara rinci jenis kain atau bentuknya, cerita tersebut sering dianggap sebagai cikal bakal tradisi menggunakan penutup kepala, yang kemudian berkembang menjadi blangkon.

Selain itu, Catatan sejarah menunjukkan bahwa pedagang dari Gujarat, India, yang beragama Islam, membawa budaya melilit kain panjang di kepala sebagai surban. Interaksi antara para pedagang Arab dan masyarakat Jawa menghasilkan perpaduan budaya, termasuk dalam hal cara berpakaian. Tradisi menggunakan kain di kepala kemudian diadopsi oleh masyarakat Jawa, yang mengubahnya menjadi ikat kepala khas dengan sentuhan lokal. Blangkon menjadi wujud akulturasi budaya ini dan hingga kini terus dikenakan oleh pria Jawa.

Blangkon juga memiliki kaitan erat dengan perjalanan penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Menurut cerita, para penyebar agama Islam pada masa lalu kerap memiliki rambut panjang yang mereka anggap sebagai anugerah dari Tuhan, sehingga enggan memotongnya. Namun, masyarakat Jawa kala itu menganggap rambut panjang pada pria kurang pantas, sehingga muncullah ide untuk menutupinya dengan kain ikat kepala.

Ki Ageng Giring, seorang tokoh spiritual dan sesepuh Keraton Mataram, mencetuskan penggunaan blangkon sebagai solusi. Mondolan atau tonjolan di bagian belakang blangkon dipercaya sebagai tempat untuk menyimpan rambut panjang tersebut. Perbedaan bentuk mondolan di Yogyakarta dan Solo menunjukkan bahwa pengaruh Islam juga membawa keragaman dalam budaya Jawa.

Cerita lain mengenai asal-usul blangkon berkaitan dengan krisis ekonomi pada masa lalu. Sebelum blangkon berbentuk seperti sekarang, penutup kepala pria Jawa lebih mirip surban yang memerlukan kain dalam jumlah besar. Namun, pada masa krisis, kain menjadi barang langka. Untuk menghemat penggunaan bahan, seniman keraton diminta menciptakan bentuk ikat kepala yang lebih hemat dan praktis. Dari sinilah blangkon lahir sebagai penutup kepala instan.

Bentuk Blangkon Berbeda di tiap Daerah

Blangkon memiliki makna filosofis mendalam, mencerminkan harapan dan nilai hidup masyarakat Jawa. Dalam budaya Jawa kuno, kepala dianggap memiliki makna khusus, sehingga blangkon menjadi elemen penting dalam pakaian pria, terutama bagi bangsawan.

Dulu, pembuatan blangkon hanya boleh dilakukan oleh seniman berpengalaman yang memahami aturan atau pakem. Awalnya, blangkon adalah versi praktis dari iket, penutup kepala dari kain batik. Beberapa jenis blangkon memiliki mondholan—tonjolan di bagian belakang—yang mencerminkan tradisi pria berambut panjang yang melilit rambutnya. Kini, mondholan telah dimodifikasi menjadi aksesori tetap pada blangkon, menyesuaikan dengan kebiasaan rambut pendek.

Blangkon Surakarta memiliki mondholan gepeng (trèpès), sementara Yogyakarta berbentuk bulat seperti onde-onde. Gaya Ponorogo menambahkan elemen khas seperti kain segitiga di depan (ilatan) dan tali panjang di belakang sebagai simbol pendekar Warok. Meski elemen ini jarang ditemukan di lingkungan keraton, tradisi tersebut tetap hidup dalam blangkon kerakyatan.

Balqis Primasari, Andi Adam Faturrahman, dan Pribadi Wicaksono berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan Editor: Mundur Sebagai Utusan Khusus Presiden Miftah Copot Peci dan Kembali Pakai Blangkon

Leave a comment