Habis THR, Terbitlah Surat Resign: Membaca Pekerja Gen Z

Jika kita mau membuka cakrawala, selalu ada hal yang dapat kita pelajari dari generasi yang lebih muda seperti Gen Z, "Si Paling Work-Life Balance"

Habis THR, Terbitlah Surat Resign: Membaca Pekerja Gen Z

SETIAP tahun, momen Hari Raya Idul Fitri diwarnai tradisi pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) bagi karyawan. Di balik kebahagiaan menerima THR, muncul fenomena menarik perhatian: pengajuan resign atau pengunduran diri setelah Lebaran.

Data menarik dirilis JakPat dalam survei bertajuk "Understanding Gen Z: Preference in The Workplace" (Memahami Gen Z: Preferensi di Tempat Kerja) tahun 2024 ini.

Dalam survei yang dilakukan awal Februari 2024, mayoritas dari mereka (69 persen) memiliki rencana untuk mengundurkan diri dari kerja, dan delapan persen di antaranya ingin mengajukan pengunduran diri setelah menerima THR.

Sisanya berniat untuk pindah kerja dalam enam bulan ke depan (10 persen), satu tahun ke depan (8 persen), dan lainnya tetap akan keluar, tetapi belum menetapkan kapan (34 persen).

Dalam survei 1.262 responden (Jakarta 23 persen, Jawa 44 persen, dan luar Jawa 33 persen), mengemukan berbagai data menarik di mana kita bisa banyak belajar memahami patner kerja kita, Gen Z. 

Orientasi gaji dan pengalaman

Ada berbagai motivasi Gen Z, kelahiran antara 1997 dan 2012, dalam mencari pekerjaan. Prioritas paling utama, dan bisa jadi menjadi alasan kita semua: gaji (86 persen). 

Prioritas terbanyak lain adalah menambah pengalaman (78 persen), meningkatkan kompetensi (61 persen), membangun jaringan (52 persen), kepuasan diri (44 persen), membanggakan keluarga (43 persen), hingga aktualisasi diri (31 persen).

Catatan: Hal ini rasanya perlu menjadi catatan penting bagi HR ataupun pemimpin atau "bose" (sebutan populer Gen Z kepada atasan) untuk lebih memperhatikan soal ini. Memang sistem gaji menjadi penilaian utama mereka, namun ada "benefit" lain yang ternyata juga menjadi perhatian Gen Z.

Baca juga: 5 Gaya Tren Gen Z yang Patut Ditiru oleh Generasi Lebih Tua

Mereka juga melihat "benefit" lain di luar gaji seperti pengalaman kerja dan meningkatkan skill. Oleh karenanya, mentoring dan memperkaya tim dengan berbagai pelatihan dapat membuat Gen Z melihat nilai lebih pekerjaan mereka.

Penugasan yang lebih luas untuk menambah networking mereka, dapat menambah rasa percaya diri, kebanggaan, dan aktualisasi atas pekerjaan yang Gen Z jalani.

Bukan lagi era loyalitas

Lupakan prinsip loyalitas yang sering digadang-gadang bapak-bapak, orangtua dari kalangan Gen Z. Pesan orangtua dulu: loyalitas kepada perusahaan berbanding lurus dengan kesejahteraan, tidak berlaku dalam alam pikir Gen Z.

Dari survei yang sama mengemuka data: tiga dari 10 Gen Z bekerja hanya pada masa 1-2 tahun. Bisa dimaklumi mengingat bagi Gen Z ini adalah pekerjaan pertama bagi mereka. Bahkan, 23 persen di antaranya, keluar sebelum kontrak kerja berakhir.

Ketidakpuasan atas gaji lagi-lagi menjadi faktor utama (41 persen).

Catatan: Namun dari data yang sama nyatanya ditemukan faktor lain mengapa Gen Z kurang betah kerja lama di suatu perusahaan. Selain faktor eksternal (gaji kurang memuaskan dan tawaran yang lebih baik), nyatanya ketidakloyalan Gen Z juga banyak dipantik faktor internal perusahaan.

Faktor internal perusahaan atau "bose" yang membuat Gen Z tidak betah antara lain: merasa tidak dihargai, beban kerja berlebihan, ketiadaan jenjang karier yang menjanjikan, lingkungan kerja "toxic", bosan, dan tidak mendapat perhatian atasan.

Tantangan bagi perusahaan dan para pimpinan adalah bagaimana mewujudkan dunia kerja yang di satu sisi menantang, namun tidak eksploitatif, membangun jenjang karier yang fair bebas "ordal" (orang dalam), dan seimbang antara menempelkan KPI (key perfomance indicator) dan membangun suasana kerja yang asik.

Yang penting: Work-life balance

Keseimbangan antara kerja dan hidup. Filosofi ini rasanya menjadi pembelajaran penting yang diberikan Gen Z bagi generasi-generasi sebelumnya. Bahwa hidup semata-mata bukan soal pekerjaan semata.

Sebanyak 92 persen Gen Z memandang work-life balance menjadi hal penting dalam pekerjaan mereka. Dari jumlah tersebut, 74 persen menyatakan penting sekali untuk memiliki kesehatan mental di tempat kerja.

Catatan: Mengapa work-life balance menjadi penting bagi Gen Z? Ada berbagai jawaban mereka: menjaga kesehatan mental, menambah semangat kerja, mengurangi stres, meningkatkan perfoma kerja, membangun hubungan sosial yang sehat, hingga menyalurkan hobi.

Hidup seimbang pun dapat dibangun di dalam kantor. Hal ini tergambar dalam harapan mereka terhadap gambaran kantor yang "sehat": suasana kantor yang nyaman (59 persen), waktu kerja fleksibel (40 persen), gaji dan bonus kompetitif (42 persen), dan bos yang "baik". 

Khusus pemimpin, pekerja Gen Z memiliki kriteria mereka sendiri: adil (87 persen), bertanggungjawab (77 persen), terbuka terhadap masukan (70 persen), menghargai (69 persen), jujur (65 persen), berkomunikasi secara transparan (59 persen), serta berpengalaman (49 persen), dan memiliki inisiatif (40 persen).

Baca juga: Benarkah Gen Z Paling Menguasai Bahasa Inggris ketimbang Milenial?

"Kebo Nyusu Gudel" atau kerbau menyusu kepada anak kerbau. Peribahasa Jawa yang menarik ini penulis dapatkan dari Mas Suwandi S. Brata yang kala itu menjabat Direktur Publishing and Education PT Gramedia Asri Media.

Peribahasa ini dapat dimaknai sebagai orangtua yang bisa belajar dari anak-anak mereka, termasuk dalam dunia kerja.

Jika kita mau membuka cakrawala, selalu saja ada banyak hal yang dapat kita pelajari dari generasi yang lebih muda seperti Gen Z, generasi "Si Paling Work-Life Balance". 

Apa Reaksi Anda ?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow