3 Dampak Negatif Doom Spending
TEMPO.CO, Jakarta – Generasi Z dan generasi milenial di sejumlah negara ditengarai sedang digerogoti “virus” doom spending, sebuah gaya hidup yang bisa mengeruk kondisi keuangan seseorang. Gaya hidup tersebut disinyalir telah menjadi pemicu sejumlah masalah ekonomi, termasuk meningkatnya tingkat kemiskinan.
Menurut firma kepailitan Allan Marshall & Associates Inc, doom spending adalah perilaku di mana seseorang mengeluarkan uang secara berlebihan atau impulsif, terutama saat merasa stres atau cemas. Ketika seseorang menghadapi kesulitan ekonomi, masalah pribadi, atau ketidakpastian masa depan, doom spending sering kali menjadi pelarian sementara. Alih-alih membantu, perilaku ini justru menambah beban keuangan dan mengancam stabilitas ekonomi seseorang.
Lantas apa saja dampak negatif dari doom spending?
Bagi Gen Z dan milenial, doom spending sangat berbahaya karena kondisi ekonomi yang semakin melejit. Belum lagi pola pikir mereka yang lebih mengutamakan dokumentasi kehidupan di media sosial ketimbang fokus dalam menabung. Ada beberapa dampak negatif dari perilaku ini, di antaranya:
1. Penumpukan utang
Pengeluaran impulsif sering kali berujung pada peningkatan utang. Bagi mereka yang tidak dapat mengontrol pengeluaran, suku bunga yang tinggi semakin memperparah kondisi finansial. Siklus “gali lubang, tutup lubang” menjadi tidak terhindarkan, dan akhirnya, utang yang terus bertambah bisa berujung pada kebangkrutan.
2. Merusak tujuan keuangan
Pengeluaran untuk barang-barang yang tidak penting dapat menghambat pencapaian tujuan keuangan jangka panjang. Bagi Gen Z dan milenial, impian membeli rumah, menabung untuk masa pensiun, atau bahkan memiliki dana darurat bisa tertunda atau gagal tercapai karena uang habis digunakan untuk belanja yang tidak produktif.
3. Menambah beban emosional
Meski belanja memberikan kepuasan sementara, efek jangka panjangnya justru dapat menimbulkan masalah kesehatan mental. Kecemasan tentang kondisi keuangan yang tidak stabil akan terus menghantui dan membuat seseorang merasa terjebak dalam lingkaran masalah yang tak berujung.
Sementara itu, fenomena doom spending dapat dijelaskan oleh beberapa faktor psikologis. Salah satunya adalah pencarian kepuasan instan. Otak manusia cenderung mencari kesenangan untuk menghindari rasa sakit atau tekanan emosional.
Ketika seseorang berbelanja, hormon dopamin yang bertanggung jawab atas perasaan senang diproduksi, memberikan pelarian sementara dari stres. Akibatnya, banyak orang tergoda untuk terus menghabiskan uang demi mendapatkan rasa senang ini, meski hanya bersifat sementara.
Selain itu, media sosial turut berperan besar dalam mendorong doom spending. Platform-platform tersebut sering kali menampilkan kehidupan mewah dan kesuksesan orang lain, yang memicu perasaan perbandingan sosial. Tekanan untuk “tampil baik” di mata orang lain bisa membuat seseorang mengeluarkan uang di luar batas kemampuannya, demi memenuhi harapan yang tidak realistis.
KARUNIA PUTRI | MELYNDA DWI PUSPITA
Pilihan Editor: Banyak Gen Z Keranjingan Botox, Dermatolog Sebut Kesalahan Besar