Informasi Terpercaya Masa Kini

Balik Arah Sikap China Lawan Tarif Trump, dari Diplomasi Jadi Retaliasi

0 30

Bisnis.com, JAKARTA – China telah mengubah haluan dari diplomasi menjadi retaliasi dalam menghadapi perang dagang dengan Amerika Serikat.

Di balik layar, para pejabat sipil di Beijing kini diperintahkan bersiaga layaknya dalam masa perang, dan para diplomat dikerahkan dalam ofensif global guna menggalang penolakan terhadap tarif perdagangan Presiden AS Donald Trump, menurut informasi dari sejumlah sumber yang dikutip Reuters, Senin (14/4/2025).

Dalam strategi yang kini digerakkan oleh mesin propaganda Partai Komunis, narasi perlawanan digelorakan melalui media sosial dengan potongan pidato Mao Zedong: “Kami tidak akan pernah menyerah.”

Baca Juga : Peringatan 75 Tahun China-RI: Ini Janji Xi Jinping ke Prabowo

Seruan itu menjadi simbol perlawanan China dalam menghadapi gelombang kebijakan dagang Trump yang tak menentu.

Sejumlah kementerian, termasuk luar negeri dan perdagangan, diperintahkan membatalkan seluruh jadwal liburan dan siaga penuh 24 jam. Unit-unit khusus ditugaskan kembali, sebagian besar berasal dari tim yang sebelumnya menangani respons terhadap kebijakan Trump di periode pertama.

Baca Juga : : Chairul Tanjung Wanti-wanti Dampak Perang Dagang AS-China ke RI

Langkah tegas ini diambil setelah Presiden AS Donald Trump mengguncang dunia dengan pengumuman tarif besar-besaran pada 2 April yang dijuluki “Hari Pembebasan.”. Kebijakan tarif Trump yang semula ditujukan ke banyak negara, kini hanya diberlakukan untuk China, bahkan lebih keras dari sebelumnya.

Hubungan dagang antara kedua negara pun praktis membeku, dengan China mulai menutup akses terhadap jasa dan hiburan AS.

Baca Juga : : Apple-NVIDIA Bisa Napas, Smartphone-Chip dari China Tak Kena Tarif 145%

Padahal sebelumnya, hubungan awal AS-China berjalan cukup lancar usai Trump menjabat pada akhir 2024 lalu. Trump bahkan mengundang Presiden Xi Jinping ke pelantikannya, yang akhirnya diwakili oleh Wakil Presiden Han Zheng.

Namun, masa tenang itu tak berlangsung lama. Selama pemerintahan Trump yang pertama, China memiliki sejumlah jalur komunikasi tingkat tinggi yang aktif—salah satunya antara Duta Besar Cui Tiankai dan Jared Kushner, menantu sekaligus penasihat senior Trump.

Kini, jalur sejenis tidak tersedia. Seorang pejabat di Beijing mengungkapkan bahwa mereka tidak tahu pasti siapa yang menjadi “penanggung jawab” hubungan bilateral di pihak Trump.

Seorang pejabat pemerintahan Trump menjawab pertanyaan Reuters dengan menyatakan bahwa AS ingin menjaga komunikasi di tingkat kerja, namun tidak akan melanjutkan dialog yang tidak memberikan keuntungan nyata bagi kepentingan nasional.

Sebelum pemilu, Duta Besar China Xie Feng dilaporkan mencoba menghubungi Elon Musk, salah satu sekutu penting Trump, namun upaya tersebut gagal, menurut seorang akademisi AS yang baru-baru ini melakukan kunjungan informal ke China. Musk belum memberikan tanggapan atas hal ini.

Menteri Luar Negeri China Wang Yi juga tidak berhasil bertemu dengan Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio—yang dikenal sebagai pengkritik keras China dan dikenai sanksi oleh Beijing—saat berkunjung ke New York pada Februari lalu untuk memimpin sidang PBB.

Tidak ada pertemuan resmi antara diplomat tertinggi kedua negara, kecuali satu panggilan telepon dingin pada akhir Januari.

Upaya Wang untuk bertemu Penasihat Keamanan Nasional Mike Waltz juga menemui jalan buntu, meskipun ia sebelumnya menjalin komunikasi erat dengan Jake Sullivan—termasuk dalam negosiasi pertukaran tahanan yang langka.

Gedung Putih menganggap bahwa jika pembicaraan ingin diarahkan pada isu perdagangan, maka China seharusnya mengirimkan pejabat ekonomi tingkat tinggi, bukan Menteri Luar Negeri.

Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick menegaskan bahwa dirinya tidak melakukan komunikasi dengan China dan menyatakan bahwa Trump ingin langsung berbicara dengan Xi Jinping.

Trump mengatakan pekan ini bahwa ia bersedia bertemu Xi, yang disebutnya sebagai “teman.” Namun, tidak ada rincian kesepakatan yang dipaparkan.

Seorang pejabat AS mengatakan bahwa pihaknya telah berulang kali bertanya apakah Xi bersedia menghubungi Trump melalui telepon—jawaban yang diterima selalu “tidak.”

Pakar hubungan internasional Universitas Fudan Zhao Minghao mengatakan bahwa pendekatan seperti itu tidak sesuai dengan pola pembentukan kebijakan China.

“Biasanya, diperlukan kesepakatan terlebih dahulu di tingkat teknis, baru kemudian bisa dirancang pertemuan puncak,” ujarnya seperti dikutip Reuters, Senin (14/4/2025).

Kepala Ekonom ING untuk China Lynn Song menambahkan bahwa cara negara-negara yang mencoba bernegosiasi diperlakukan sejauh ini, justru memperkuat alasan bagi China untuk menjauh dari meja perundingan.

Meskipun beberapa komunikasi masih berlangsung di level teknis, menurut satu pejabat China dan tiga pejabat AS, banyak forum kerja sama yang dibentuk di era Biden—termasuk di bidang perdagangan, keuangan, dan militer—kini dibekukan sepenuhnya.

Belajar dari Masa Lalu

Berbekal pengalaman dari babak pertama perang dagang era Trump, China kini merespons gelombang tarif terbaru AS dengan strategi matang.

Tidak hanya mengandalkan tarif balasan, Beijing juga memberlakukan sanksi terhadap sekitar 60 perusahaan AS dan memperketat ekspor logam tanah jarang, yang sangat penting bagi industri teknologi global.

Langkah-langkah ini merupakan hasil studi intensif oleh tim khusus di pemerintahan China yang ditugaskan menganalisis kebijakan Trump dan menyusun tanggapan yang bisa ditingkatkan secara bertahap.

Presiden Xi Jinping memutuskan untuk menyerang lebih dulu—mengumumkan tarif luas sebelum AS resmi menerapkannya. Langkah itu diumumkan tepat sebelum pembukaan bursa Wall Street pada 4 April, yang bertepatan dengan libur nasional di China—dan langsung mengguncang pasar saham AS.

Seorang pejabat China menyebut respons kilat ini mirip dengan pola pengambilan keputusan darurat semasa pandemi covid-19—dilakukan secara cepat tanpa prosedur birokrasi biasa.

Meski demikian, sejumlah tokoh dalam negeri mengusulkan pendekatan yang lebih selektif. Blogger politik terkemuka Ren Yi menyebut bahwa pembalasan tidak harus dilakukan dengan memperluas tarif.

Ia menyarankan tindakan seperti menghentikan kerja sama pengendalian fentanyl serta memperketat impor pertanian dan film dari AS.

Kementerian Keuangan China pada Jumat lalu menyatakan bahwa dengan tarif terhadap barang-barang AS kini mencapai 125%, mereka tak akan lagi menyesuaikan diri jika Washington menaikkan tarif lebih lanjut. Strategi tarif AS pun disebut sebagai sebuah “lelucon.”

Dalam upaya diplomatiknya, China telah memanggil para kepala perwakilan luar negerinya ke Beijing untuk pertemuan koordinasi khusus. Pemerintah juga mengirim surat resmi kepada sejumlah negara lain yang ditekan oleh AS dalam perundingan dagang.

Isi surat itu menegaskan posisi China serta menyerukan dukungan terhadap sistem perdagangan multilateral dan penolakan terhadap dominasi unilateral.

Menurut seorang diplomat Uni Eropa, Beijing juga mendekati beberapa negara anggota G20 dengan draft pernyataan bersama yang menyerukan dukungan terhadap sistem perdagangan global. Namun, deklarasi tersebut belum menyentuh kekhawatiran negara-negara lain—seperti soal kelebihan kapasitas industri China, subsidi pemerintah, dan praktik persaingan yang dinilai tidak adil.

China menanggapi kritik ini dengan mengatakan bahwa kekuatan industrinya adalah hasil dari keunggulan struktural, bukan praktik tidak adil, dan justru memberi manfaat bagi perekonomian global.

Di dalam negeri, narasi patriotik makin menguat. Editorial People’s Daily yang menyerukan ketenangan rakyat menjadi viral di media sosial. Pemerintah juga mulai mengubah strategi pertumbuhan dengan fokus pada konsumsi rumah tangga untuk menggantikan ekspor, di tengah krisis properti yang belum pulih.

”Medan pertempuran utama justru ada di dalam negeri, bukan semata-mata pada meja perundingan bilateral,” ungkap Zhao Mingdan.

Sebagai penegas sikap, akun resmi pemerintah China di platform X mempublikasikan potongan pidato Mao Zedong tahun 1953, saat Perang Korea—konflik militer terakhir antara China dan AS.

Dalam pidato itu, Mao yang kehilangan putranya di medan perang menyatakan, “Tak peduli seberapa lama perang ini berlangsung, kami tidak akan pernah menyerah.”

Leave a comment