Polemik Royalti Musik, Praktisi Hukum Sebut yang Wajib Bayar Itu Penyelenggara Bukan Penyanyi
JAKARTA, KOMPAS.TV – Dalam diskusi hangat mengenai tata kelola royalti musik Indonesia yang berlangsung di Artotel, Jakarta, Kamis (10/4/2025) praktisi hukum sekaligus musisi senior Kadri Mohamad angkat suara.
Ia menyoroti kebingungan yang terjadi di publik terkait siapa sebenarnya yang bertanggung jawab membayar royalti atas lagu-lagu yang dibawakan dalam sebuah pertunjukan.
Menurut Kadri, penyanyi atau performer tidak bisa dibebani tanggung jawab untuk membayar royalti. Hal itu bertentangan dengan praktik global dan pemahaman hukum yang benar soal sistem hak cipta.
Baca Juga: Armand Maulana Dukung Revisi UU Hak Cipta, Minta Aturan Direct License Diperjelas
“Penyanyi itu hanya tampil. Dia ibarat sinden, dia hanya datang, nyanyi, dibayar honornya. Kewajiban membayar royalti itu ada di tangan pengguna, yaitu penyelenggara acara,” ujar Kadri dalam diskusi yang disiarkan KompasTV, Kamis (11/4/2025).
Kadri menegaskan, berdasarkan undang-undang, pengguna yang dimaksud adalah pihak yang menyewa tempat, menjual tiket, menyediakan sound system, dan menyelenggarakan acara. Bahkan jika artis tampil dalam sebuah konser, mereka tak bertanggung jawab soal lisensi—kecuali jika mereka sendiri juga berperan sebagai penyelenggara acara.
“Kalau Dhani bikin konser sendiri, ya dia yang wajib bayar royalti karena dia juga penyelenggara. Tapi kalau Agnez tampil di acara yang diurus orang lain, maka yang bertanggung jawab adalah si penyelenggaranya,” tegas Kadri.
Gap Persepsi dan Urgensi Penegakan Hukum
Kadri juga menyoroti perbedaan visi antara kelompok AKSI dan komunitas musik lainnya. AKSI mendorong sistem lisensi langsung (direct license), sementara Kadri dan koleganya lebih memilih pendekatan perbaikan sistem Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
“Banyak yang menyerang saya hanya karena dianggap tidak pro terhadap pencipta lagu. Padahal saya justru ingin penegakan hukum terhadap penyelenggara. Kalau pengguna tidak bayar, ya salah pengguna, bukan penyanyi,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya penataan ulang (restrukturisasi) terhadap LMK dan LKN (Lembaga Kolektif Nasional) agar transparansi dan efektivitas distribusi royalti bisa tercapai. Di luar negeri, sistem ini berjalan dengan baik, dan tidak pernah ada kebingungan siapa yang harus bayar.
Kadri menyayangkan narasi publik yang terlalu menyederhanakan persoalan ini, seakan-akan penyanyi yang tampil tanpa izin otomatis bersalah.
“Ini bukan soal kasihan atau tidak pada pencipta lagu. Ini soal siapa yang bertanggung jawab secara hukum. Undang-undang hak cipta bukan hanya melindungi pencipta, tapi juga performer, dan pengguna juga butuh kepastian hukum.”
Baca Juga: Denny Chasmala Kecewa: Lyodra dan Andien Nyanyikan Lagu Saya tanpa Izin!
Konstitusi, Ekspresi, dan Hak yang Saling Membatasi
Kadri menutup pernyataannya dengan merujuk pada konsep konstitusional. Ia mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi, seperti halnya hak cipta, adalah hak yang eksklusif namun tetap dibatasi oleh hak orang lain.
“Sama seperti hak dalam konstitusi, hak cipta itu eksklusif tapi ada batasnya. Batas itu ditentukan oleh kepentingan pihak lain, pencipta, performer, hingga pengguna,” katanya.