In this Economy; Menikah adalah Solusi di tengah Krisis Ekonomi?
“In this economy?”
Kalimat pendek ini kini sering berseliweran di media sosial sebagai bentuk sindiran bernuansa realistis. Segala hal—dari niat membeli barang, punya anak, hingga keinginan menikah—semuanya kini dilihat dari kacamata ekonomi.
Memang, di tengah harga kebutuhan pokok yang terus merangkak naik, suku bunga yang bergejolak, hingga bayang-bayang resesi global, banyak orang bertanya-tanya:
Apakah menikah saat ini adalah keputusan bijak?
Atau justru sebaliknya:
Menikah adalah solusi dari sulitnya perekonomian?
Menikah = Solusi Ekonomi?
Bagi sebagian orang, menikah bisa dianggap sebagai langkah praktis menyatukan sumber daya. Dua penghasilan digabung, biaya hidup dibagi, dan beban emosional bisa ditopang bersama.
Jika hubungan dibangun dengan komunikasi yang sehat dan kekompakan, hidup pun bisa terasa lebih ringan. Namun, menikah bukan sekadar transaksi ekonomis.
Menikah merupakan komitmen jangka panjang, kesiapan emosional, dan kemauan untuk bertumbuh bersama dalam suka dan duka.
Kalau hanya berlandaskan logika untung-rugi, pernikahan bisa goyah di tengah tekanan yang tak terduga.
Refleksi: Menikah dan Bertahan di Tengah Krisis Ekonomi
Saya sendiri pernah mengalami krisis ekonomi yang benar-benar mengguncang: krisis moneter tahun 1998. Kala itu, saya baru memiliki satu anak setelah menanti selama empat tahun pernikahan.
Saat rencana studi S2 ke Amerika Serikat batal karena nilai tukar rupiah yang anjlok, saya alihkan langkah untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB).
Kondisi ekonomi saat itu sangat tidak menentu. Tapi justru dalam masa-masa sulit inilah saya dan istri belajar untuk saling menguatkan, berhemat, dan tetap bertahan. Anak kedua lahir di tahun 2001, saat dunia masih diliputi ketidakpastian. Dan saat ekonomi mulai membaik, anak ketiga hadir di tahun 2004.
Saya meyakini, bukan kondisi ekonomi yang menentukan kebahagiaan rumah tangga, melainkan kekuatan untuk saling percaya dan saling menopang di segala situasi.
Menikah dalam masa krisis bukan akhir dari harapan, melainkan awal dari kebersamaan yang lebih dalam.
Menikah = Tambahan Beban?
Sebaliknya, banyak orang ragu menikah karena merasa belum mapan. Takut tidak bisa memberi yang terbaik untuk pasangan, apalagi jika langsung dikaruniai anak. Biaya hidup memang terus naik, dan beban tanggung jawab terasa lebih besar.
Keraguan ini sah-sah saja. Menunda pernikahan sampai merasa lebih siap bukanlah pilihan buruk. Tapi kesiapan bukan hanya soal finansial, melainkan juga soal mental dan kemampuan berkomunikasi.
Masih Galau Menikah? Ini yang Perlu Diperhitungkan
Untuk kamu yang masih bimbang, berikut hal-hal penting yang perlu direnungkan sebelum melangkah ke pelaminan:
1. Punya Tujuan Bersama, Bukan Sekadar Cinta
Menikah karena cinta itu indah, tapi cinta tanpa arah bisa tersesat. Pastikan kamu dan pasangan punya visi hidup yang sejalan—baik dalam karier, keluarga, maupun nilai-nilai yang dijunjung.
2. Keuangan Tak Harus Sempurna, Tapi Harus Terbuka
Tidak ada pasangan yang memulai dengan kemapanan penuh. Namun, transparansi soal kondisi keuangan, utang, kebiasaan belanja, dan perencanaan masa depan adalah fondasi penting untuk hidup bersama.
3. Siap Mental dan Emosi, Bukan Hanya Dana Pesta
Pernikahan bukan soal pesta mewah, tapi tentang bagaimana dua kepala bisa bersatu saat badai datang. Kematangan emosional lebih penting daripada biaya catering.
4. Susun Rencana Jangka Panjang
Setelah menikah, kamu akan dihadapkan pada banyak keputusan besar: rumah, anak, pekerjaan, hingga tabungan masa depan. Semakin siap rencana jangka panjangmu, semakin kuat kamu melangkah.
5. Jangan Menikah untuk Kabur dari Masalah
Menikah bukan pelarian dari tekanan orang tua, kesepian, atau tekanan sosial. Jika niatnya hanya untuk “keluar dari situasi”, maka kamu bisa masuk ke masalah baru yang lebih rumit.
Penutup: Bukan Soal Ekonomi, Tapi Komitmen
Bertahan dalam pernikahan bukan karena ekonomi sedang stabil, tapi karena dua hati siap mengarungi gelombang kehidupan bersama.
Saya percaya, seperti yang saya alami dulu saat krisis moneter 1998, kebersamaan di masa sulit justru memperkuat fondasi rumah tangga.
Menikah adalah tentang bertumbuh bersama, bukan sekadar bertahan.
Jadi, apakah menikah adalah solusi?
Jawabannya bukan pada kondisi ekonomi, tapi pada kesiapan dan kematangan hubungan itu sendiri.
Bahkan… in this economy.
Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara)