Informasi Terpercaya Masa Kini

Restoran Cepat Saji Tolak Uang Rp75.000 Jadi Alat Pembayaran Pembeli,BI Tegaskan Bisa Kena Pidana

0 7

TRIBUNJATIM.COM – Kejadian salah satu restoran cepat saji menolak uang kertas pecahan Rp75.000 sebagai alat pembayaran, viral di media sosial.

Awalnya terlihat perekam memegang dua lembar uang kertas pecahan Rp75.000 di depan kasir restoran cepat saji.

Dalam video tersebut, tampak dua lembar Rp75.000 diberikan kepada kasir untuk membayar pesanannya.

Baca juga: Saepudin Mau Wudu Curiga Air Bau Bangkai, Syok saat Lihat Isi Sumur Masjid: Sangat Menyengat

Kasir tersebut sempat menerima uang yang diberikan.

Namun selang beberapa saat kemudian, kasir mengatakan bahwa uang Rp75.000 tidak bisa digunakan dan mengembalikannya kepada perekam. 

“Enggak bisa kak,” kata sang kasir. 

“Oh, enggak bisa?” tanya perekam untuk memastikannya. 

Sang kasir kembali menyatakan bahwa uang Rp75.000 tidak bisa digunakan untuk bertransaksi. 

Akhirnya perekam menggunakan uang pecahan lain untuk membayar pembeliannya di restoran tempat saji tersebut. 

“Bayar pakai uang 75.000 ditolak di W******,” bunyi keterangan di video.

Lalu, benarkah uang kertas pecahan Rp75.000 sudah tidak bisa digunakan untuk transaksi?

Kepala Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia, M Anwar Bashori buka suara.

Ia mengatakan bahwa uang Rp75.000 masih menjadi alat pembayaran yang sah.

Uang pecahan Rp75.000 yang disebut juga sebagai Uang Peringatan Kemerdekaan 75 Tahun Republik Indonesia (UPK 75) ini merupakan uang commemorative atau uang peringatan.

“Sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/11/PBI/2020 Pasal 12, UPK 75 mulai berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di seluruh wilayah NKRI sejak tanggal 17 Agustus 2020,” kata dia, Rabu (9/4/2025), dikutip dari Kompas.com.

Ia mengatakan, sampai dengan saat ini, Bank Indonesia belum melakukan pencabutan dan penarikan dari peredaran atas UPK 75.

“Merupakan alat pembayaran yang dapat digunakan masyarakat dalam kegiatan transaksi sehari-hari,” ungkap Anwar.

Lantas bagaimana jika menolak Rp75.000?

Baca juga: KDM Ungkap Alasan Kabid Dishub Bogor Nangis, Tuding Emen Sopir Angkot Biang Kerok Dadang Dibully

Anwar mengatakan bahwa setiap masyarakat dilarang untuk menolak uang Rp75.000 sebagai alat pembayaran atau transaksi.

Hal itu diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. 

“Diatur tentang larangan setiap orang untuk menolak menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran di wilayah NKRI kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah,” ujar Anwar. 

Sementara bagi seseorang yang menolak uang Rp 75.000 tersebut, akan dikenakan sanksi pidana dan denda.

Sanksi ini sesuai Pasal 33 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. 

“Pelanggaran atas ketentuan Pasal 23 ayat (1) diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan pidana denda paling banyak Rp200 juta,” ucap Anwar.

Baca juga: Pemudik Sudah sampai Jakarta Balik Lagi ke Pemalang, Demi Jemput Kucing yang Tertinggal di Rest Area

Di sisi lain, kasus peredaran uang palsu terungkap di Kabupaten Tuban, Jawa Timur.

Di mana tersangka mengaku beli uang palsu Rp2 juta dapat Rp20 juta.

Satreskrim Polres Tuban pun menangkap dua orang tersangka pengedar uang palsu pecahan Rp100 ribu ini.

Mereka adalah Andik Setiawan (30), asal Desa Sembungin, Kecamatan Bancar, dan Andrino Eka Putra (41), asal Desa Belikanget, Kecamatan Tambakboyo, Tuban.

Kanit Pidum Satreskrim Polres Tuban, Ipda Moh Rudi mengatakan bahwa kasus peredaran uang palsu terungkap atas informasi warga yang menerima uang palsu tersebut dari tersangka.

Adapun modusnya, tersangka sengaja mengedarkan uang palsu dengan cara membelanjakannya di warung kelontong di wilayah Kabupaten Tuban, terutama di wilayah Kecamatan Bancar dan Tambakboyo.

“Modusnya, mereka membelanjakan uang palsu itu di warung-warung kelontong, dengan nominal kecil agar mendapatkan kembalian uang asli,” kata Ipda Moh Rudi, Rabu (9/4/2025), melansir Kompas.com.

Para tersangka mengaku mendapatkan uang palsu pecahan Rp100.000 sebanyak Rp20 juta yang dibelinya dari seseorang di Kota Batu, Malang, dengan harga Rp2 juta.

Tersangka sudah mengedarkannya selama bulan Ramadhan, dan kini uang palsu tersebut tersisa Rp3,1 juta.

Perbuatan tersangka dijerat dengan Pasal 36 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

“Ancaman hukuman 15 tahun penjara dan denda sebesar 50 miliar,” ujarnya.

Pihaknya mengimbau agar warga yang menemukan uang palsu atau aktivitas mencurigakan di sekitarnya segera melaporkan kepada petugas kepolisian.

Menariknya dari pengakuan Andik Setyawan, ia nekat mengedarkan uang palsu karena dilatarbelakangi rasa ingin balas dendam kepada bandar narkoba yang pernah menipunya sebelumnya.

“Saya pernah tertipu oleh seorang bandar narkoba, dan uang saya tidak dikembalikan.”

“Bahkan setelah itu, saya justru digantung begitu saja, lalu dia kembali meminta uang tunai.”

“Niat saya, uang palsu ini akan saya berikan kepadanya sebagai pembalasan agar dia bangkrut,” ujarnya, Selasa (8/4/2025) kepada TribunJatim.com.

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com

Leave a comment