Masjid Sejuta Pemuda, Nyaman Ibadah dan Minum Kopi Gratis
Masjid Sejuta Pemuda yang berada di Kota Sukabumi, Jawa Barat, dapat dikatakan sebagai salah satu masjid inklusif yang selalu terbuka untuk didatangi oleh siapa pun dan kapan pun.
Namun, berdasarkan fasilitas yang tersedia, masjid ini lebih menyasar jemaah berusia muda. Oleh karena itu, namanya adalah Masjid Sejuta Pemuda.
Maksudnya, apa yang secara umum disukai oleh para remaja dan anak muda, tersedia di sini. Misalnya, di masjid ini bisa ngopi-ngopi cantik sambil menikmati pemandangan yang indah atau sambil membuat konten untuk media sosial.
Padahal, mohon maaf, di kebanyakan masjid di negara kita, pintu masjid terkunci di pagi hari (setelah salat subuh dan sebelum salat Zuhur). Demikian pula setelah salat Isya, dikunci lagi hingga menjelang waktu subuh masuk.
Mungkin tujuan masjid dikunci bukan berarti menjauhkan diri dari jemaah atau dari masyarakat. Tapi, sebagai tindakan berjaga-jaga, jangan sampai masjid menjadi tempat tidur yang membuat kotor lingkungan masjid.
Yang paling dihindari, tentu untuk menghindari pencurian. Ingat, sekarang banyak pencuri yang mengincar kotak amal atau properti masjid yang bisa dijual.
Jangan heran bila kita mendapatkan suasana ibadah yang khusyuk yang berpadu dengan layanan kopi layaknya di sebuah kafe. Itulah yang dirasakan jemaah di Masjid Sejuta Pemuda Attin.
Masjid tersebut persisnya terletak di Jalan Lamping, RW 5 RT 7, Kelurahan Gedongpanjang, Kecamatan Citamiang, Kota Sukabumi.
Dengan kebebasan seperti itu, masjid ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para jemaah, terutama menjelang waktu shalat Zuhur.
Setiap harinya (di luar bulan puasa), para jemaah dapat menikmati kopi yang dibuat oleh Devin Zatta Yumni, seorang marbot masjid yang sekaligus berperan sebagai barista.
Devin memang pernah jadi barista beneran, sebelum menemukan “jalan” untuk mendalami perilaku yang lebih religius.
Kopi yang disuguhkan di masjid ini tidak dipungut biaya sama sekali. Devin menyatakan sering ada sumbangan dari para donatur untuk penyediaan kopi tersebut.
“Di sini kopinya gratis, buka juga 24 jam. Alhamdulillah, dapat support juga dari jemaah, ada yang infak kopi, susunya itu ada yang kirim dari jemaah, jadi dari jemaah untuk jemaah,” kata Devin (Kompas.com, 07/08/2024)
Tidak hanya dari dalam kota Sukabumi, Devin mengungkapkan jemaah yang menikmati kopinya juga datang dari luar Indonesia. “Kalau jemaah selain di dalam kota, luar kota juga ada. Yang paling jauh saya layani jemaah itu dari Malaysia,” ungkap Devin.
Nah, tentang “masjid inklusif”, Majalah Tempo edisi 30 Maret 2025 membuat laporan khusus mengangkat hal ini.
Menurut Tempo, dari hampir 700 ribu masjid di negara kita, hanya terdapat 3 persen masjid inklusif.
Masjid inklusif tersebut diharapkan bisa menjadi contoh komunitas bagaimana memberdayakan tempat ibadah, melebihi dari sekadar tempat ritual ibadah.
Perlu diingat, sejak zaman Nabi Muhammad, masjid dibangun tidak sekadar sebagai tempat ibadah. Masjid inklusif melampaui yang ritual, seperti menjadi pusat toleransi, pertemuan, hingga pembelajaran bagi siapa saja.
Dulu, ketika tempat ibadah umat Islam masih banyak berbentuk bangunan sederhana yang disebut surau atau langgar, tempat tersebut menjadi tempat pertemuan apa saja.
Pertemuan itu tidak harus membicarakan soal ibadah. Boleh merembukkan soal koperasi desa, ronda kampung, cara mengatasi panen yang gagal, dan sebagainya.
Bahkan, banyak para remaja yang setelah belajar mengaji, tetap berada di lingkungan masjid karena ikut latihan beladiri silat di halamannya.
Di kampung-kampung, setidaknya hingga dekade 1970-1980-an, masjid adalah tempat paling inklusif, bukan sekadar tempat salat, mengaji, atau tempat berceramah agama saja.
Namun, zaman berganti, dan sekarang masjid pun menjadi tidak aman, bila semua orang bebas masuk dan beraktivitas selain beribadah.
Maka, agar aman dan tetap bersih, oleh pengurus masjid pintunya harus dikunci dan gerbangnya harus digembok.
Anak-anak yang tinggal di sekitar masjid tak bisa sembarangan bermain ke masjid. Orang dewasa hanya singgah ketika akan menunaikan salat.
Dengan demikian, masjid menjadi tempat yang sepi di kampung, apalagi bila kita lihat masjid di kota-kota besar.
Para musafir atau orang yang dalam perjalanan hanya bisa bersembahyang atau beristirahat di teras masjid, jika mereka tiba di luar waktu salat.
Semakin banyaknya jumlah masjid di Indonesia di satu sisi memang menggembirakan. Tapi, sebagian masjid itu berdekatan lokasinya dan karena itu bisa memicu eksklusivitas.
Padahal, dulu rata-rata hanya ada satu masjid di satu wilayah dengan radius sekitar 1 kilometer. Jadi, banyak orang yang selalu salat Jumat di satu masjid terdekat saja.
Sejak awal Nabi Muhammad mendirikan masjid, jelas berciri inklusif sebagai tempat yang juga bermanfaat untuk mengeratkan pertemuan, modal sosial, hingga pemberdayaan.
Kembali ke data dari Sistem Informasi Masjid Kementerian Agama yang mencatat hanya 3 persen masjid yang dikelola secara inklusif, tetap perlu disyukuri.
Harapannya, di masa depan akan semakin banyak masjid inklusif. Tidak harus meniru Masjid Sejuta Pemuda, yang penting selalu terbuka.
Akan lebih baik lagi, bila masjid itu ramah terhadap difabel, sadar lingkungan hidup, hingga menjadi tempat berlindung bagi mereka yang tak punya rumah atau yang dalam perjalanan jauh dengan dana tipis.
Masjid-masjid inklusif tersebut mengembalikan esensi pendirian tempat ibadah seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad.
Lebih jauh lagi, masjid inklusif punya potensi besar untuk yang menjadi solusi dalam urusan-urusan sosial masyarakat. Maksudnya, masjid menjadi pemecah masalah yang dihadapi orang banyak.
Hal itu sekaligus menjadi jawaban atas kritik yang dilontarkan mantan wakil presiden Jusuf Kalla, yang kini menjabat Ketua Dewan Masjid Indonesia. Katanya, masjid makin banyak dan makin bagus tapi masyarakat di sekitarnya tidak makmur.