Kol Goreng dan Fenomena “Sadikin”, alias “Sakit Jadi Miskin”
Kol Goreng dan Fenomena “Sadikin”, alias “Sakit Jadi Miskin”
Oleh Dikdik Sadikin
DI LUAR Ramadan, di warung nasi milik Bu Saroh di sudut Pasar Cibinong, kol goreng sudah ludes sebelum jam delapan pagi.
Digoreng garing sampai pinggirannya agak gosong, dikonsumsi bersama nasi, sambal, dan sepotong tahu, wah sedap..! “Pagi-pagi yang laku bukan sayur asem, tapi kol goreng,” kata Bu Saroh sambil tersenyum. Tangannya masih membalik tempe goreng di kuali besar.
Pak Anwar, tukang ojek pangkalan di Jalan Raya Bogor, adalah pelanggan setia. “Enak, garing. Murah juga,” katanya, sambil menyendok nasi dengan kol goreng yang sudah diberi sambal dadak. Ia tahu ini bukan menu diet, tapi siapa yang sempat memikirkan kolesterol saat motor belum lunas?
Istilah “Sadikin” , alias “sakit jadi miskin” , kini semakin relevan. Banyak orang yang hartanya habis untuk biaya berobat. Dari sawah tergadai hingga rumah terjual demi pengobatan stroke, diabetes, atau jantung yang sebenarnya bisa dicegah kalau saja sebelumnya punya gaya hidup sehat.
Tapi mencegah lebih murah hanyalah benar bagi yang mampu memilih. Bagi Bu Saroh, pertanyaannya bukan “mana yang sehat?” tapi “mana yang laku dibeli orang?”
Inilah dilema rakyat kecil: saat tahu cara sehat, tapi tak mampu mewujudkannya. Makanan yang digoreng lebih gurih, lebih disukai, lebih cepat laku. Rebusan dan kukusan sering dianggap hambar, “Kayak makanan rumah sakit”, ujar Bu Saroh.
Tapi belum lama ini, jagat media sosial sempat gaduh. Seorang pengguna X (dulu Twitter) menulis dengan serius, “Awas, kol goreng, terong goreng, brokoli goreng bisa jadi penyebab penyakit. Kandungan gizinya rusak, bahkan bisa muncul senyawa karsinogenik!”
Kalimat yang menggelisahkan, apalagi buat warga yang setiap hari makan seperti Pak Anwar. Tapi, apakah betul menggoreng sayur itu berbahaya?
Toto Sudargo, ahli gizi dari Universitas Gadjah Mada, menjawab dalam Kompas.com (15 Juni 2024) bahwa menggoreng sayuran seperti kol dalam suhu tinggi memang bisa menimbulkan senyawa bernama akrilamida. Senyawa ini terbentuk dari reaksi antara asam amino dan gula saat pemanasan tinggi, dan dikenal sebagai senyawa yang berpotensi karsinogenik berdasarkan penelitian pada hewan. Namun Toto menekankan, kadar akrilamida dalam kol goreng yang biasa dikonsumsi masyarakat Indonesia umumnya masih di bawah ambang batas aman. Artinya, jika dikonsumsi sesekali dan dalam jumlah wajar, masih relatif aman. Risiko muncul ketika konsumsi dilakukan berulang-ulang dalam jangka panjang. Apalagi jika sayur digoreng dengan minyak bekas yang sudah dipakai berulang kali atau digoreng sampai gosong.
Soal minyak bekas pakai juga menjadi dilema bagi penjual kecil. Di dapur Bu Saroh, minyak diganti setiap dua hari. “Mahal, Mas. Sehari habis dua liter. Kalau tiap hari ganti, bisa rugi,” katanya. Di balik kol yang garing itu, ada realitas ekonomi yang juga panas dan berasap.
Sayur yang digoreng memang terasa lebih akrab di lidah. Kukusan dan rebusan sering kali dianggap makanan rumah sakit. Di sekolah dasar di Bojonggede, Ibu Nining yang mengelola kantin bilang, “Anak-anak mah doyan banget kol goreng. Dikasih sayur bening nggak ada yang lirik.”
Padahal, di Jepang, anak-anak sekolah dibiasakan makan sayur segar dan sup miso. Di Italia, salad jadi pembuka sebelum pasta. Di Bogor, kol goreng kadang dianggap lauk utama.
Kita tahu, tidak semua keluarga bisa memilih metode memasak yang ideal. Di rumah kontrakan dekat stasiun Citayam, kompor gas satu tungku harus dipakai bergantian. “Nggak sempet rebus-rebus. Goreng aja cepet,” kata Bu Neneng, ibu tiga anak. Maka pertanyaannya bukan sekadar soal gizi, tapi soal waktu, uang, dan kebiasaan.
Maka yang perlu kita pikirkan bukan “apakah kol goreng itu jahat?”, tapi “apa alternatif yang realistis buat warga seperti Bu Saroh, Pak Anwar, dan Bu Neneng?”
Bukan kol goreng yang salah. Tapi mungkin kita yang terlalu cepat menyalahkan tanpa memberi pilihan.
Lalu, solusinya apa? Apakah harus berhenti menggoreng sayur?
Tidak harus. Tapi ada beberapa cara sederhana yang bisa dilakukan warga biasa :
Kurangi frekuensi, bukan hentikan total
Makan kol goreng tidak perlu tiap hari. Selang-selinglah dengan sayur tumis ringan atau rebusan sederhana. Misalnya, hari ini kol goreng, besok sayur bayam, lusa tumis kangkung.Ganti metode memasak sesekali
Pakai teflon anti lengket dan sedikit minyak, lalu tumis cepat agar gizi sayur tetap terjaga. Atau rebus sebentar lalu beri bumbu sambal terasi agar tetap sedap.Gunakan minyak baru bila memungkinkan
Jika memang harus menggoreng, usahakan tidak menggunakan minyak yang sama lebih dari dua kali. Gunakan minyak goreng curah berkualitas yang harganya terjangkau tapi lebih aman jika diganti lebih sering.Perbanyak rasa, bukan hanya minyak
Rasa gurih bisa juga berasal dari bumbu, bukan sekadar minyak. Misalnya, tumisan bawang putih dan sedikit garam bisa membuat rebusan jadi lebih sedap.Libatkan anak dalam memilih dan meracik sayur
Anak-anak cenderung lebih suka sayur jika diajak terlibat. Potong brokoli bersama mereka, beri nama lucu seperti “pohon mini”, dan ajak coba sambil bermain.Kampanye lokal: dari warung ke masjid
Penyuluhan kesehatan jangan hanya di puskesmas. Libatkan ibu-ibu PKK, pengajian, dan warung nasi untuk memperkenalkan cara masak sehat yang murah dan praktis. Pemerintah daerah juga bisa memberikan insentif pada kantin sehat di sekolah atau pasar murah sayur segar.
Kita tidak perlu membenci kol goreng. Tapi kita bisa mulai mengenal cara memasak yang lebih sehat. Sedikit demi sedikit, sebisanya. Seperti kata Chef William Wongso, “Masak itu soal merawat, bukan sekadar mengenyangkan.” Termasuk merawat tubuh, selera, dan masa depan anak-anak kita.
Karena di dunia rakyat kecil, pilihan sehat bukan soal tahu atau tidak tahu, melainkan soal bisa atau tidak bisa. Di sini letak peran negara, komunitas, dan kita semua.
Karena jika tidak, kita akan terus melihat kenyataan yang pahit: orang-orang yang tahu apa itu gizi, tapi kalah oleh harga minyak. Orang-orang yang tahu kol goreng itu tak ideal, tapi tak punya alternatif lain. Dan saat sakit datang, mereka harus menjual motor, emas kawin, bahkan tanah warisan, demi pengobatan.
Di dalamnya ironi yang paling perih dari kol goreng itu bermula: ketika yang renyah di mulut, justru menjadi jalan pelan-pelan menuju penderitaan dan kemiskinan.
“Sadikin”, alias Sakit Jadi Miskin, itu nyata. Dan kadang, “Sadikin” itu diawali dari hal sepele: dari sepiring nasi dan kol goreng.
Bogor, 28 Maret 2025