Informasi Terpercaya Masa Kini

Menyusuri Jejak Penyebaran Islam di Solo Lewat Masjid Laweyan dan Makam Ki Ageng Henis

0 4

Siapa sosok di balik penyebaran Islam di Solo? Jejaknya bisa ditelusuri pada Masjid Laweyan dan makam Ki Ageng Henis yang ada di sampingnya.

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

Intisari-Online.com – Setidaknya ada tiga makam yang dikeramatkan di Solo, Jawa Tengah. Makam itu milik tiga tokoh yang punya pengaruh besar terhadap penyebaran Islam di Kota Batik ini.

Salah satunya adalah makam Ki Ageng Henis. Dia adalah penyebar Islam di Solo dan sekitarnya. Ki Ageng Henis dikenal juga sebagai Ki Ageng Laweyan karena tempat tinggalnya berada di wilayah Laweyan sekarang.

Ki Ageng Henis adalah putra dari Ki Ageng Sela yang berasal dari Sela, Kabupaten Grobogan. Ki Ageng Henis punya putra yang kelak menurunkan trah Mataram Islam, namanya Ki Ageng Pamanahan.

Seperti disebut di awal, Ki Ageng Henis adalah putra Ki Ageng Sela yang terakhir, hasil pernikahan dengan Nyai Bicak, putri Sunan Ngerang. Dari tujuh anak Ki Ageng Sela, Ki Ageng Henis adalah anak laki-laki satu-satunya.

Enam saudari Ki Ageng Henis adalah Nyai Ageng Lurung Tengah, Nyai Ageng Saba, Nyai Ageng Bangsri, Nyai Ageng Jati, Nyai Ageng Patanen, dan Nyai Ageng Pakisdadu.

Di kemudian hari, Ki Ageng Henis menikah dengan seorang wanita yang kelak dikenal sebagai Nyi Ageng Henis. Dari pernikahan tersebut, lahir anak laki-laki yang dikenal sebagai Ki Ageng Pamanahan.

Ki Ageng Pamanahan kemudian mengabdikan diri kepada Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya. Dari Ki Ageng Pamanahan inilah, Ki Ageng Henis memiliki cucu bernama Danang Sutawijaya, yang kemudian bergelar Panembahan Senopati, pendiri Kesultanan Mataram.

Sebagaimana di wilayah Pulau Jawa lainnya, masyarakat Solo dulu memeluk agama Hindu. Di Laweyan, ada pemimpin bernama Ki Ageng Beluk, yang kemudian berkenalan dengan Ki Ageng Henis.

Oleh Ki Ageng Beluk, Ki Ageng Henis diberi sebidang tanah perdikan. Di tempat itulah Ki Ageng Henis mengajarkan warga mengembangkan benang menjadi kain dan batik yang bernilai bagus.

Sembari mengembangkan benang di Laweyan, Ki Ageng Henis juga menyebarkan Islam. Hingga akhirnya, wilayah Laweyan berhasil diislamkan oleh Ki Ageng Henis, termasuk Ki Ageng Beluk.

Bahkan, bangunan pura milik Ki Ageng Beluk diizinkan untuk diubah menjadi masjid oleh Ki Ageng Henis. Mulai saat itu, atau sekitar 1546, Ki Ageng Henis menetap di Laweyan, tepatnya di sebelah utara pasar Laweyan.

Berkat peran dan jasanya, Ki Ageng Henis menjadi tokoh yang dihormati serta disegani di Laweyan. Ki Ageng Henis menetap di Laweyan hingga akhir hidupnya.

Setelah meninggal, dia dimakamkan di Pasarean Laweyan. Sepeninggalnya, rumah yang pernah dia tinggali selama di Laweyan ditempati oleh cucunya, Danang Sutawijaya, yang kelak mendirikan Kerajaan Mataram Islam dan bergelar Panembahan Senopati.

Makam Ki Ageng Henis dikeramatkan

Makam Ki Ageng Henis hingga sekarang masih dikeramatkan. Berbicara tentang makam Ki Ageng Henis tak lengkap tanpa mengaitkannya dengan Masjid Laweyan. Bagaimanapun juga, makam Ki Ageng Henis berada di kompleks masjid tersebut.

Masjid Laweyan sendiri dibangun pada masa Joko Tingkir sekitar tahun 1546, mengutip situs Kampoengbatiklaweyan.org — dan merupakan masjid pertama yang dibangun oleh Kesultanan Pajang. 

Awalnya, masjid ini adalah sebuah pura milik Ki Ageng Beluk.

Setelah masjid berdiri, muncullah pesantren yang semakin hari semakin banyak jumlah santrinya. Konon, karena saking banyaknya santri, pesantren ini tidak pernah berhenti untuk menanak nasi.

Asap pun terus mengepul setiap hari dari dapur pesantrent tersebut. Asap dalam bahasa Jawa disebut “beluk”. Wilayah itu sekarang dikenal sebagai Kampung Belukan.

Masih mengutip dari sumber yang sama, kompleks Masjid Laweyan jadi satu dengan kompleks makam kerabat Keraton Pajang, Kartasura, dan kasunan Surakarta. Area masjid dan makam dihubungkan oleh sebuah pintu gerbang kecil.

Mereka yang dikuburkan di makam tersebut adalah Ki Ageng Henis, Permaisuri Pakubuwono V, Pangeran Widjil I Kadilangu (pujangga dalem Paku Buwono II dan III), Nyai Ageng Pati, Nyai Pandanaran, Prabuwinoto (anak bungsu PB IX), Dalang Keraton Kasunanan Surakarta, dan Kyai Ageng Proboyekso.

Selain itu, yang menarik dari makam ini adalah keberadaan pohon langka, pohon nagasari, yang berusia lebih dari 500 tahun. Pohon ini sebagai simbol penjagaan makam oleh naga yang paling unggul.

Pada masa PB X, makam direnovasi, berbarengan dengan renovasi Keraton Kasunanan Surakarta. Di makam itu juga dibuat pintu gerbang samping khusus untuk PB X untuk ziarah ke makam. Sayang, gerbang itu cuma digunakan sekali karena setahun setelah ziarah itu, PB X meninggal dunia.

Leave a comment