Fenomena Barbershop Kekinian: Keren di Gaya, Hasil Cukur Biasa aja!
Dulu, potong rambut itu urusan sederhana. Datang ke tukang cukur, duduk di kursi tua yang sandarannya sudah sedikit goyah, lalu mendengar suara nyaring alat cukur yang sudah banyak lakban. Kurang dari limabelas menit, rambut sudah rapi. Harga murah meriah, cukup dengan uang kertas yang tidak perlu dicari-cari di dompet.
Tapi sekarang? Ah, potong rambut sekarang seperti jadi ritual yang penuh dengan drama estetika. Lihat saja, barbershop sekarang menjamur di mana-mana, dari ruko-ruko kecil sampai sudut-sudut coffeeshop.
Interiornya nggak main-main. Ada yang dindingnya dihiasi marbel mewah hingga poster-poster vintage, lampu gantung yang Instagramable, bahkan kursi cukurnya pun seperti singgasana raja.
Tidak ketinggalan, musiknya, entah itu indie atau playlist ala lofi beats to relax/study to, selalu mengiringi. Ditambah lagi aroma pafrum ruangan yang sesekali menyembur semakin menambah kesan wah.
Fenomena ini nampak jelas di kota-kota kecil hingga besar. Di daerah saya, barbershop bukan lagi sekadar tempat potong rambut. Ini sudah jadi tempat nongkrong berbalut Extra Service. Ada cuci rambut sebelum dan sesudah potong, pijatan ringan di bahu, sampai tawaran kopi atau teh yang membuat kamu merasa seperti tamu VIP.
Barbermen Keren
Kalau sempat mampir ke barbershop modern, coba deh perhatikan. Siapa yang berdiri di balik gunting dan alat cukur itu? Mayoritas adalah anak muda usia antara 19-23 tahun. Rambut mereka sendiri biasanya sudah menjadi cerminan tren terbaru. Ada yang disisir rapi ala gentleman, ada juga yang mullet-nya lebih show-off daripada selebriti.
Saya tidak tahu pasti kenapa pekerjaan ini banyak diminati anak muda, tapi ada beberapa dugaan, sekali lagi ini adalah dugaan pribadi. Mungkin karena suasana kerjanya yang terlihat chill. Di barbershop modern, mereka tidak hanya jadi tukang potong rambut, tapi juga bagian dari gaya hidup.
Selain itu, profesi ini juga mulai dianggap keren, apalagi kalau barbershop tempat mereka bekerja punya nama besar. Desain interior yang ciamik, dan sebagian besar barbershop sekarang nggak lagi pakai seragam tukang cukur jadul, melainkan outfit khusus yang seolah mengundang pelanggan untuk bilang, “Bro, gaya lu keren juga.”
Namun sayangnya, ada ironi di balik penampilan-penampilan keren ini. Sering kali, hasil potongannya tidak seindah penampilan mereka. Jujur saja, pengalaman saya potong rambut di beberapa barbershop modern sering kali berakhir dengan kekecewaan.
Gaya Rambut Template
Saya tidak tahu siapa yang menciptakan template potong rambut di barbershop modern ini, tapi dari pengamatan saya, ada dua model yang mendominasi.
Pertama, gaya rapi belah samping lalu disisir ke belakang ala-ala John LBF. Kedua, gaya mullet yang idnetik dengan gayanya Jeffrey Nichol atau entah selebritas mana lagi yang sedang naik daun. Masalahnya, gaya-gaya ini rasanya dipaksakan jadi solusi universal untuk semua pelanggan.
Tidak peduli bagaimana bentuk kepala atau tipe rambut pelanggan, sang barber sering kali mengarahkan kita ke salah satu dari dua pilihan itu. Rambut tebal, tipis, ikal, atau lurus tidak menjadi sesuatu yang dipertibangkan. Hasil akhirnya tetap sama: template.
Hal ini saya alami sendiri beberapa kali. Setiap kali saya meminta gaya yang berbeda, mereka seolah ragu-ragu, seperti tidak percaya diri. Kadang malah seperti punya mantra andalan, “Kalau model ini cocok banget buat anak muda, Mas.” Padahal, saya cuma minta model rambut mandarin yang tidak terlalu ribet, bukan gaya universal yang bikin kepala saya jadi tiruan kepala orang lain.
Dan hal tidak menyenangkannya, setiap kali saya jalan-jalan di mall, supermarket atau ngopi di kafe, orang-orang di sekitar saya terlihat seperti fotokopian. Rambutnya mirip-mirip semua, sampai saya bingung ini barbershop atau pabrik cetak rambut.
Proses Panjang dan Melelahkan
Selain soal kreativitas, ada satu lagi yang bikin saya kadang ingin menyerah untuk potong rambut di barbershop modern, prosesnya yang lama sekali.
Kalau di tukang cukur tradisional langganan saya cukup 10-15 menit selesai, di barbershop modern bisa sampai 30-45 menit. Bahkan, ada yang lebih lama dari itu.
Saya paham bahwa mereka ingin memberikan pelayanan dan hasil terbaik. Tapi, apakah setiap helai rambut yang dipotong harus melalui proses diskusi dan rapat?
Sering kali, proses ini terasa seperti drama yang tidak berkesudahan. Ada bagian yang sudah dipotong dan dirapikan, eh, balik lagi dan diulang-ulang terus.
Ditambah lagi, kadang mereka terlalu fokus pada detail kecil sampai-sampai melupakan bagian besar. Hasilnya, rambut yang, kalau dilihat sekilas, sudah rapi, tapi kalau diperhatikan lebih dekat, malah terasa ada yang ganjil.
Belum lagi sooal leher yang mulai pegal. Karena durasinya yang panjang, duduk di kursi barbershop itu kadang terasa seperti mengikuti upacara militer. Kalau saja tukang cukur Madura langganan saya tahu ini, mungkin dia akan tertawa sambil berkata, “Alah mas, orang bukan artis aja kok ribet, cukur itu yang penting rapi dan murah.”
Harga yang Fantastis
Ini bagian yang paling membuat saya menggerutu setiap kali keluar dari barbershop modern, harga! Tarif potong rambut di barbershop sekarang bisa mencapai tiga sampai empat kali lipat dari tukang cukur tradisional.
Bahkan, di beberapa tempat yang mengusung konsep premium, harganya lebih cocok untuk langganan indihome dan netflix daripada untuk sekadar gunting rambut.
Tentu, harga ini sering kali dikaitkan dengan fasilitas dan suasana yang ditawarkan dan mungkin saya memang bukan target market mereka.
Tapi, bagi saya, kalau hasil cukurannya gitu-gitu saja, apa gunanya semua kemewahan itu? Saya lebih memilih potong rambut di tukang cukur Madura langganan. Selain cepat dan murah, hasilnya pun sesuai dengan permintaan. Kadang malah dia yang memberikan saran terbaik soal model rambut yang cocok untuk bentuk wajah saya.
Kabar Tukang Cukur Tradisional
Di tengah fenomena menjamurnya barbershop modern, bagaimana nasib tukang cukur tradisional? Apakah mereka perlahan akan tergantikan oleh barbershop modern dan babermen-babermen keren itu?
Untungnya, di daerah saya, tukang cukur tradisional masih bertahan. Pelanggan mereka mungkin tidak sebanyak dulu, tapi ada loyalis yang tidak bisa digantikan.
Orang-orang seperti saya, yang mengutamakan kecepatan, harga, dan hasil yang sesuai permintaan, akan selalu kembali ke tukang cukur tradisional.
Dan di sana, tidak ada basa-basi. Kita datang, potong, selesai. Tidak ada tawaran kopi, tidak ada musik indie, dan tidak ada gaya rambut template. Yang ada hanyalah gunting, cermin, dan percakapan kecil soal kabar kampung.
Lagipula, apa sebenarnya yang kita cari dari potong rambut? Apakah kita mencari gaya hidup, pengalaman estetis, atau hanya rambut rapi yang sesuai keinginan?
Barbershop modern mungkin menawarkan suasana dan pengalaman yang berbeda, tapi kalau soal hasil, saya rasa masih banyak yang perlu diperbaiki. Kreativitas para barber muda ini harus lebih diberdayakan. Jangan sampai mereka terjebak dalam zona nyaman gaya rambut template yang itu-itu saja.
Sementara itu, tukang cukur tradisional tetap menjadi oasis di tengah hiruk-pikuk tren modern. Dengan segala kesederhanaannya, mereka mengingatkan kita bahwa kadang, hal-hal sederhana itu justru yang paling berarti.
Jadi, kapan terakhir kali potong rambut di tukang cukur tradisional? Kalau sudah lama, mungkin ini saatnya kembali dan merasakan lagi bagaimana potong rambut tanpa drama.