Informasi Terpercaya Masa Kini

Dinyatakan Punah, Burung Prasejarah Ditemukan 50 Tahun Kemudian Berkat Jejak Kaki

0 5

KOMPAS.com – Takahe, burung prasejarah yang tidak bisa terbang, mudah dikenali di antara pegunungan di Selandia Baru dengan penampakan bulu biru-hijau mencolok dan tubuh besar.

Sayangnya, burung bernama Latin Porphyrio hochstetteri ini sempat menghilang hingga dinyatakan punah oleh para ahli biologi pada 1898.

Selama puluhan tahun, manusia pun meyakini tidak akan dapat menjumpai spesies takahe di mana pun.

Tidak disangka, burung ini mampu bertahan hidup, tersembunyi di lembah-lembah pegunungan terpencil.

Penemuan kembali pada 1948 bak anugerah bagi suku Maori, penduduk Selandia Baru, yang menganggapnya sebagai taonga atau harta karun.

Bukan hanya keajaiban biologis, munculnya takahe menghidupkan kembali komitmen suatu bangsa untuk melestarikan keanekaragaman hayati yang unik.

Baca juga: Burung Kuau Raja Diklaim Punah tapi Ditemukan Kembali di Aceh, Bagaimana Faktanya?

Takahe yang punah ditemukan kembali berkat jejak kaki

Dilansir dari Forbes, Minggu (22/12/2024), selama hampir setengah abad, burung takahe diyakini telah punah dari permukaan Bumi.

Populasi takahe yang memang sudah berkurang menjadi musnah oleh kedatangan hewan pendamping pemukim Eropa, seperti cerpelai, kucing, musang, dan tikus.

Namun, pada 1948, serangkaian petunjuk misterius, seperti suara burung tidak dikenal dan jejak kaki tidak biasa di dekat Danau Te Anau, Selandia Baru, kembali menghidupkan harapan.

Geoffrey Orbell, seorang dokter medis yang memiliki minat pada sejarah alam pun mulai membentuk tim kecil untuk menyelidiki.

Pada 20 November 1948, dia dan timnya memulai ekspedisi menantang ke Pegunungan Murchison yang terjal dan terpencil.

Layaknya pegunungan yang keras, lokasi tersebut diliputi lembah curam serta vegetasi yang lebat.

Baca juga: Burung Gagak Bisa Simpan Dendam 17 Tahun, Ceritakan Pengalaman Buruknya ke Kerabat

Berbekal sedikit naluri dan beberapa alat, mereka menjelajahi medan yang sangat terpencil sehingga jarang atau bahkan belum pernah dijajaki.

Berdasarkan laporan jejak kaki dan suara aneh, tim ini terus melangkah lebih jauh ke dalam hutan belantara.

Hingga akhirnya, mereka melihat seekor burung yang amat berbeda, tidak seperti penampakan burung yang pernah dilihat sebelumnya.

Makhluk hidup itu tampak memiliki tubuh yang kekar dan berbulu cerah dengan perpaduan mencolok antara biru dan hijau serta paruh merah.

Takahe, yang sudah lama dianggap mati dan menghilang, berdiri di hadapan tim dengan gembira tanpa menyadari betapa dekatnya mereka dengan kepunahan.

Langkah menuju penemuan ini tidaklah mudah. Meski demikian, Orbell dan tim berhasil mendokumentasikan penampakan takahe melalui foto dan bukti fisik.

Penemuan kembali ini pun menjadi berita utama di seluruh dunia pada masa itu, memberikan semangat baru dalam studi biologi konservasi.

Baca juga: Burung Great Auk, Si Penguin Asli yang Sudah Punah Ratusan Tahun Lalu

Program berdedikasi untuk kelangsungan takahe

New Zealand Wildlife Service, cikal bakal Departemen Konservasi Selandia Baru (DOC) saat ini, segera membuat program yang didedikasikan untuk kelangsungan hidup takahe.

Upaya awal meliputi pengendalian predator, pemulihan habitat, dan pemantauan ketat terhadap populasi yang tersisa.

Peneliti lapangan mulai mempelajari perilaku, pola makan, dan pola perkembangbiakan burung untuk lebih memahami kebutuhan dan tantangan mereka.

Seiring berjalannya waktu, upaya konservasi menjadi lebih canggih. Program penangkaran diprakarsai untuk meningkatkan jumlah dan menciptakan jaring pengaman bagi spesies ini.

Burung-burung tersebut kemudian dipindahkan ke tempat perlindungan bebas predator, seperti Pulau Tiritiri Matangi dan Pulau Kapiti.

Baca juga: Alasan Burung Sering Hinggap di Kabel Listrik, Mengapa Tidak Tersetrum?

Kini, takahe adalah contoh cemerlang tentang bagaimana upaya konservasi yang berdedikasi dapat menyelamatkan spesies dari ambang kepunahan.

Dari populasi kecil yang ditemukan kembali pada 1948, populasi takahe telah tumbuh secara bertahap hingga sekitar 500 ekor, seperti dikutip The Guardian, Selasa (29/8/2023).

Meskipun masih tampak sedikit, jumlah ini merupakan bukti pemulihan yang luar biasa bagi burung yang pernah dianggap punah.

Pada 2020, takahe berstatus sebagai “endangered” atau “terancam” dalam Daftar Merah Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN Red List).

Populasi mereka kini tersebar di tempat perlindungan bebas predator yang dipantau dengan cermat, cagar alam daratan lainnya, dan rumah asli mereka di Pegunungan Murchison.

Leave a comment