Informasi Terpercaya Masa Kini

Hasto Kristiyanto jadi Tersangka, Ini Jejak Keterlibatannya dalam Kasus Harun Masiku

0 4

TEMPO.CO, Jakarta – Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto mengatakan, pihaknya akan memberi keterangan resmi soal penetapan tersangka Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. “Sabar, segera,” kata Fitroh dikonfirmasi Tempo Selasa, 24 Desember 2024.

Hasto Kristiyanto dikabarkan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap yang melibatkan DPO KPK atas nama Harun Masiku terhadap eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Penetapan itu berdasarkan surat bernomor Sprin.Dik/153/DIK.00/01/12/2024 tertanggal 23 Desember 2024.

Keterlibatan Hasto dalam kasus Harun Masiku ini pernah diulas Majalah Tempo edisi 11 Januari 2020 bertajuk “Di Bawah Lindungan Tirtayasa”.

Pangkal kasus ini bermula ketika Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto memerintahkan tim hukum partai banteng itu dengan memberi kuasa kepada Donny Tri Istiqomah untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung pada Juni 2019. Mereka menggugat materi Pasal 54 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2019 tentang pemungutan dan penghitungan suara berkaitan dengan meninggalnya calon legislatif dari daerah pemilihan Sumatera Selatan I atas nama Nazaruddin Kiemas.

Mahkamah Agung mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 54. Inti putusan itu, mahkamah menyerahkan suara calon legislatif yang meninggal ke partai. Atas kemenangan gugatan tersebut, Harun diduga memberi uang ke Donny sejumlah Rp 100 juta.

PDIP kemudian menggelar rapat pleno dan terpilihlah Harun Masiku sebagai pengganti Nazarudin Kiemas. Padahal, Harun berada di urutan kelima. Sedangkan urutan kedua yang berhak mewarisi kursi parlemen almarhum Nazaruddin adalah Riezky Aprilia.

KPU menggelar pleno untuk menetapkan calon legislatif terpilih periode 2019-2024 itu pada 31 Agustus. Bukan Harun sebagaimana surat rekomendasi dari PDI Perjuangan, KPU malah menetapkan Riezky yang berhak duduk di kursi parlemen.

Tak terima dengan keputusan KPU, PDIP kembali mengajukan permohonan fatwa Mahkamah Agung. Pada 23 September, partai banteng mengirim surat lagi ke KPU yang berisi mengenai penetapan calon legislatif yang meninggal merupakan kewenangan partai politik. “Kami tiga kali menerima surat dari PDI Perjuangan,” ujar Ketua KPU Arief Budiman dilansir majalah Tempo.

Masih dikutip dari majalah Tempo, tak hanya jalur resmi melalui surat, Hasto diduga memerintahkan salah satu stafnya, Saeful Bahri, untuk bermanuver melobi KPU. Saeful lantas menghubungi orang kepercayaan Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina Sitorus, mantan Anggota Badan Pengawas Pemilu.

Saeful mengirim dokumen penetapan calon legislatif dan fatwa MA. Tio kemudian meneruskan dokumen itu ke Wahyu melalui pesan WhatsApp agar membantu proses penetapan Harun. Wahyu pun membalas pesan Tio, “siap mainkan.”

Belakangan, Wahyu meminta imbalan untuk operasional sebesar Rp 900 juta. “Saeful mengatakan ke Hasto bahwa butuh Rp 1,5 miliar untuk lobi KPU,” ujar penegak hukum yang mengetahui kasus ini.

Hasto juga diduga tahu ada permintaan dari Tio kepada Saeful soal uang muka untuk lobi. “Hasto bilang siap menyediakan dana. Harun juga akan menyediakan dana karena dia caleg yang berkepentingan,” ujar tiga penegak hukum yang mengetahui proses ini.

Belakangan salah satu ajudan Hasto menyerahkan uang sebesar Rp 400 juta kepada Donny di salah satu ruang DPP PDI Perjuangan pada 16 Desember 2019. Ajudan itu sembari menyampaikan, “Mas, ini perintah dari Sekjen untuk operasional Saeful Bahri.”

Hasto membantah terlibat dalam perkara ini. Ia menuturkan sejumlah informasi yang mengaitkan dirinya dengan operasi tangkap tangan terhadap Wahyu cs ini sebagai pembingkaian alias framing. “Dengan berita ini menunjukkan adanya berbagai kepentingan untuk membuat framing,” kata Hasto di arena Rakernas I PDI Perjuangan di Jiexpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat, 10 Januari 2020.

Berbekal temuan itulah KPK berencana menyegel salah satu ruangan di DPP PDIP. Namun, penyegelan ini gagal karena PDIP tak memberikan izin.

Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat mengatakan sebenarnya mempersilakan KPK menyegel DPP. “Kami menghormati proses hukum, tapi mereka tidak dilengkapi bukti-bukti yang kuat seperti surat tugas dan sebagainya,” ujar Djarot.

Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar membantah keterangan Djarot. Ia mengatakan penyidik KPK sudah mengantongi surat. Toh, belakangan KPK menyatakan membutuhkan izin dewan pengawas untuk menyegel atau menggeledah PDIP.

Hasto Bantu Pelarian Harun Masiku

Masih dalam laporan Majalah Tempo edisi 11 Januari 2020, petugas keamanan di kantor Hasto, Nurhasan memberi tahu Harun Masiku untuk merendam telepon selulernya di dalam air. Tak bisa menjelaskan alasannya, Nurhasan kemudian menawarkan diri untuk menjemput Harun di dekat sebuah stasiun pengisian bahan bakar umum di sekitar Cikini, Jakarta Pusat.

Harun membonceng sepeda motor yang dikendarai Nurhasan ke arah Mampang, Jakarta Selatan. Menembus gerimis pada Rabu malam, 8 Januari 2020, keduanya kemudian bergerak ke arah Blok M dan tiba di kompleks PTIK di Jalan Tirtayasa Raya Nomor 6 sekitar pukul 20.00. Di sana, Sekretaris Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto dikabarkan tiba lebih dulu.

Di PTIK, tim KPK terus mengamati keberadaan Harun dan Hasto, yang ditengarai mengetahui penyuapan. Nurhasan dilepaskan dari pengawasan karena bukan target kakap. Sehari-hari ia bekerja sebagai petugas keamanan di kantor Hasto di Jalan Sutan Syahrir Nomor 12A, Menteng.

Sembari terus memantau keberadaan target, lima penyelidik rehat sejenak untuk menunaikan salat isya di masjid Daarul ‘Ilmi di kompleks PTIK. Ketika hendak masuk masjid, mereka malah dicokok sejumlah polisi. Operasi senyap untuk menangkap Hasto dan Harun pun buyar. “Tim penyelidik kami sempat dicegah oleh petugas PTIK dan kemudian dicari identitasnya. Penyelidik kami hendak salat,” kata pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, Kamis, 9 Januari 2020.

Para penyelidik itu ditahan sekitar tujuh jam. Mereka baru dilepas setelah Direktur Penyidikan KPK R.Z. Panca Putra Simanjuntak tiba di sana sekitar pukul 03.30, Kamis, 9 Januari lalu. Menurut Ali Fikri, ada kesalahpahaman antara penyelidik KPK dan polisi. “Kemudian diberitahukan petugas KPK, lalu mereka dikeluarkan,” ujar Ali.

Pilihan Editor: Gatot Kaca dan Pandawa Lima di Era Pimpinan Baru KPK

Leave a comment