Informasi Terpercaya Masa Kini

Inovasi Tanpa Batas dan Peran Perempuan dalam Teknologi

0 3

Menyelami karier di sektor yang didominasi laki-laki membuat Jessi Febria menyadari bahwa dirinya harus berusaha dua kali lipat lebih keras dari rekan-rekannya.

Jessi merupakan salah satu lulusan Apple Developer Academy yang kini berprofesi sebagai software engineer.

Pekerjaan yang berkutat dengan teknologi dan perangkat lunak ini, secara statistik, lebih banyak digeluti oleh laki-laki.

Dalam perkembangan kariernya, Jessi berhasil menciptakan aplikasi Peta Netra bersama tim yang dipimpin oleh dua orang inovator perempuan lainnya, Yafonia Hutabarat dan Graciela Grabrielle Angeline.

Peta Netra adalah aplikasi navigasi yang membantu penyandang tunanetra untuk beraktivitas di ruang publik.

Aplikasi ini akan mengarahkan pengguna ke tempat yang ingin dituju dengan fitur suara dan kamera belakang.

Penyandang tunanetra yang memanfaatkan aplikasi ini dapat mengetahui seberapa jauh mereka harus berjalan, arah langkah kaki yang akurat, hingga objek yang menghalangi jalur di depan mereka.

Peta Netra sudah digunakan di berbagai wilayah strategis di Jakarta, seperti di MRT, Transjakarta, Taman Ismail Marzuki, dan Gereja Katedral.

Aplikasi ini bahkan telah memasuki kancah internasional dengan ditempatkan di sejumlah titik di Taiwan.

Meski begitu, perjalanan yang ditempuh Jessi untuk meraih pencapaian tersebut tidaklah mudah.

Dalam acara Apple Future Leaders Summit yang diselenggarakan Apple dan Binus University di Menteng, Jakarta Pusat pada 11 Desember 2024 silam, Jessi berbagi cerita tentang tantangan yang dihadapinya sebagai inovator perempuan.

“Bagiku tantangan terbesar justru datang dari diri sendiri. Aku kesulitan dalam membangun rasa percaya diri,” ujarnya dalam sesi forum “Fostering Women Innovator”.

Dari 40 orang di kelas program studi Ilmu Komputer yang Jessi tekuni, hanya ada satu orang perempuan lain yang berbagi mimpi dengannya.

“Rasanya seperti dua versus 38 orang. Aku merasa harus membuktikan diriku, menjadi representasi dari perempuan yang ada di kelas,” terang Jessi.

Namun ketika Jessi merasa telah berhasil membuktikan dirinya dengan mendapatkan pekerjaan impian di startup ternama di Indonesia, ia justru menghadapi pandangan negatif yang kembali menggoyahkan rasa percaya dirinya.

Seorang teman laki-laki dari masa kuliahnya menuduh bahwa perusahaan tersebut memberikan tes masuk yang lebih mudah bagi perempuan demi memenuhi kebutuhan representasi gender.

“Dia benar-benar mengira bahwa ada dua jenis tes yang berbeda untuk perempuan dan laki-laki. Itu membuatku berpikir, apakah aku memang tidak cukup baik? Apakah aku benar-benar pantas mendapatkan pekerjaan ini?” ujar Jessi.

Permasalahan yang dialami Jessi nyatanya menimpa banyak perempuan yang bekerja.

Dalam diskusi yang sama, Esther Hare, Senior Director dan Worldwide Developer Marketing Apple mengamati bahwa perempuan lebih rentan mengalami impostor syndrome.

Impostor syndrome adalah perasaan yang—meskipun bisa dirasakan oleh siapa saja—biasanya lebih sering dialami oleh perempuan. Ini adalah perasaan bahwa mereka tidak cukup baik, bahwa mereka seharusnya tidak berada di sini, bahwa mereka tidak pantas mendapatkan posisi yang telah mereka capai. Padahal sering kali mereka benar-benar 100 persen pantas mendapatkannya,” jelas Esther.

Dalam konteks ini, impostor syndrome tecermin dari kecenderungan perempuan yang enggan melamar suatu posisi pekerjaan apabila merasa tidak memenuhi seluruh kualifikasi yang dibutuhkan.

Sebaliknya, laki-laki cenderung akan tetap melamar pekerjaan yang mereka inginkan meskipun tidak memenuhi beberapa persyaratan.

Maka dari itu, Esther menyebut bahwa kepercayaan diri menjadi salah satu skill yang perlu dikuasai oleh perempuan untuk mempersiapkan dirinya dalam daya saing pasar global.

Sebagai perwakilan dari Apple Developer Academy, Esther menegaskan komitmen mereka untuk membina para inovator perempuan di masa depan.

“Di Apple Developer Academy, mereka tidak hanya duduk di ruang kelas sambil mengkhawatirkan apakah mereka memiliki jawaban yang benar. Sebaliknya, mereka fokus pada kerja sama tim, belajar bersama, dan memecahkan masalah secara kolaboratif. Ini adalah cara berpikir yang sangat berbeda, dan sejauh ini terbukti berhasil,” papar Esther.

Apple Developer Academy merupakan program hasil kolaborasi Apple Inc. dengan berbagai universitas di Indonesia untuk mengembangkan developer bertalenta global.

Program ini berfokus pada pembelajaran desain, pengkodean, pengembangan aplikasi, dan berbagai keterampilan profesional lain untuk meningkatkan kemampuan dalam membangun tim, berkolaborasi secara efektif, dan menciptakan daya saing yang tinggi.

Jumlah peserta perempuan di Apple Developer Academy terus mengalami peningkatan hingga dua kali lipat dari angkatan tahun 2018.

Hal ini membuktikan bahwa perempuan siap untuk memasuki sektor pekerjaan yang secara tradisional banyak diisi oleh laki-laki.

Sejalan dengan itu, Melisa Irene, pengusaha perempuan yang menyandang titel sebagai #1 Indonesia Young Women Future Business Leader 2020, mengatakan bahwa perempuan perlu lebih sering mendongakkan kepala saat menjalankan pekerjaan yang mereka cintai.

“Meskipun kita berada dalam kelompok yang lebih kecil, kita juga perlu menunjukkan kegigihan untuk berada di tim dan berkontribusi dalam posisi kepemimpinan,” kata Irene, “Walau itu berarti kita perlu berusaha lebih keras dari orang lain.”

Irene adalah salah satu lulusan Apple Academy Developer yang sukses menjalankan perusahaan East Ventures, perusahaan modal ventura yang mendukung lebih dari 300 perusahaan teknologi dan perusahaan rintisan di Asia Tenggara.

Keberagaman gender dalam setiap sektor pekerjaan dapat menjadi angin segar bagi intelektualitas dan kreativitas tim.

Alasannya sederhana. Perspektif yang dimiliki perempuan tentu jauh berbeda dengan cara pandang laki-laki.

Perpaduan antara keduanya dalam satu tim yang solid dapat membawa perspektif baru yang mampu menciptakan lingkungan yang lebih inovatif dan kreatif.

“Keberagaman membantu kita memahami celah dan titik buta yang sebelumnya tidak kita sadari. Memberikan perspektif berbeda yang menjadi nilai tambah,” ujar Risa Santoso, Rektor Institut Teknologi dan Bisnis ASIA di Malang.

Rektor termuda di Indonesia ini menuturkan, keberagaman dapat memercikkan kreativitas dan membangun solidaritas dalam tim.

Kendati demikian, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perempuan dalam bidang pekerjaan yang didominasi laki-laki masih dipandang sebelah mata dan jarang dilibatkan.

Belum lagi ditambah dengan pikiran negatif yang kerap menghalangi perempuan untuk mengutarakan pendapatnya.

Menanggapi hal ini, Risa menyampaikan bahwa perempuan perlu mengubah cara pandang mereka untuk mengatasi rasa kurang percaya diri.

“Jika kamu adalah satu-satunya perempuan di ruangan, itu berarti kamu memiliki perspektif unik yang tidak dimiliki orang lain,” ungkap Risa.

Daripada merasa kecil, Risa mendorong perempuan untuk lebih optimis terhadap kemampuan diri, “Justru kamu harus berada di sana karena perspektif yang kamu miliki adalah sesuatu yang mereka butuhkan.”

Hal inilah yang ditekankan oleh Apple Developer Academy untuk para lulusannya.

Inovator-inovator muda diajarkan untuk bekerja sama dalam sebuah tim yang inklusif guna menciptakan aplikasi-aplikasi yang dapat memberikan dampak sosial bagi masyarakat.

Tahun ini, tiga aplikasi yang menjadi sorotan adalah Chamelure, Escapp, dan MS-T.

Chamelure merupakan aplikasi yang dirancang khusus untuk anak-anak yang menjalani terapi ambliopia di rumah.

Escapp merupakan aplikasi bertema Escape Room yang memberikan pengalaman baru dalam menikmati alur film horor lokal.

MS-T atau Monitoring and Safety Technology adalah aplikasi yang dapat meningkatkan manajemen keselamatan kerja buruh di Indonesia dengan cara mendeteksi pelanggaran secara otomatis melalui umpan CCTV yang dilengkapi oleh kecerdasan buatan (Artificial Inteligence).

Dari ketiga aplikasi tersebut, Chamelure merupakan hasil dari pemikiran inovator perempuan.

Quinela Wensky sebagai Product Designer Chamelure mengatakan bahwa ide aplikasi ini berangkat dari pengalaman pribadinya sebagai penderita ambliopia atau yang lebih dikenal sebagai mata malas, kondisi yang ditandai dengan berkurangnya penglihatan pada satu mata karena perkembangan visual yang tidak normal.

“Sebagai seseorang yang pernah hidup dengan ambliopia, saya telah mengalami sendiri betapa sulitnya hal itu, dan betapa pentingnya untuk segera memulai terapi guna mencegah masalah penglihatan jangka panjang,” katan Quinela saat mempresentasikan aplikasi Chamelure.

Berbekal ide tersebut, Quinela dan timnya mengembangkan aplikasi permainan puzzle interaktif yang dibuat untuk menstimulasi kedua mata secara efektif.

Aplikasi ini dilengkapi dengan kacamata 3D anaglif yang mempunyai lensa merah untuk mata kanan dan lensa warna hijau untuk mata kiri yang akan disesuaikan dengan tingkat keparahan kondisi ambliopia pada anak.

Aplikasi ini memanfaatkan teknologi canggih untuk menyesuaikan elemen visual secara dinamis seperti warna, kontras, dan visibilitas objek berdasarkan kondisi yang ada.

Dengan demikian, terapi lewat aplikasi ini dapat mendorong setiap mata untuk bekerja lebih keras dan meningkatkan keseimbangan, sekaligus membuat anak-anak tetap terhibur.

“Dengan Chamelure, saya berharap tim kami dapat menawarkan solusi yang memberi orang tua alat yang dibutuhkan untuk membantu anak-anak mereka, menjadikan terapi lebih mudah diakses dan berdampak,” pungkas Quinella.

Leave a comment