Anak Kita Bukan Kita, Biarkan Mereka Tumbuh Sesuai Dunianya
Dalam sebuah kartun sederhana, seekor sloth (kukang) dengan penuh semangat melintasi garis finish setelah “berlari” selama 2 jam 25 menit. Teman-temannya memberi tepuk tangan dan pujian, seakan itu adalah prestasi besar. Namun, di panel berikutnya, kita melihat kenyataan yang lucu: garis start hanya beberapa meter di belakang si sloth. Kartun ini dengan lembut mengolok-olok kelambatan alami sloth, tapi juga menyelipkan pesan penting — bahwa setiap usaha, sekecil apapun, patut dihargai.
Kartun ini mengingatkan kita tentang anak-anak dalam kehidupan nyata. Kadang, sebagai orang tua, kita terlalu fokus pada “hasil akhir” — nilai rapor yang sempurna, prestasi tinggi, atau kesuksesan instan. Kita lupa bahwa setiap anak bergerak dengan kecepatan mereka sendiri. Bagi anak-anak, pencapaian bukan selalu soal garis finish yang kita tetapkan, tapi tentang usaha dan proses yang mereka lalui. Di sinilah kita, sebagai orang tua, harus belajar memberi ruang, mendukung, dan menghargai perjalanan kecil mereka.
***
Kukang adalah hewan mamalia primata dari genus Nycticebus yang dikenal dengan gerakannya yang sangat lambat dan sifatnya yang nokturnal (aktif di malam hari). Kukang memiliki tubuh kecil, mata besar yang membantu penglihatan di malam hari, serta cakar melengkung untuk memanjat dan bergelantungan di pohon. Hewan ini hidup di hutan tropis Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dan biasanya memakan daun, buah, serta serangga. Meski terlihat jinak, kukang memiliki kelenjar beracun di siku yang bisa digunakan sebagai pertahanan diri. Sayangnya, kukang terancam punah akibat perburuan liar dan perdagangan sebagai hewan peliharaan, padahal peran mereka sangat penting dalam ekosistem sebagai penyebar biji dan pengendali serangga.
***
Seorang ayah pernah bercerita kepada saya, betapa bahagianya saat putranya pulang dengan nilai 90 di rapor. Namun kebahagiaan itu hilang ketika si anak berkata pelan, “Tapi, Yah, aku nggak suka pelajaran itu. Aku capek belajar buat sesuatu yang bukan aku.” Ayah itu tercekat, lalu sadar, mungkin selama ini ia hanya mengejar angka, bukan memahami anaknya.
Sebagai orang tua, wajar jika kita ingin yang terbaik bagi anak-anak. Sekolah terbaik, nilai tertinggi, keterampilan sehebat mungkin. Kita ingin anak tumbuh seperti tanaman yang sempurna, lurus dan rimbun, tak kurang satu helai daun pun. Namun, dalam obsesi kita membentuk anak sesuai harapan kita, sering kali kita lupa: anak kita bukan replika diri kita. Mereka punya dunia sendiri yang perlu kita pahami.
Kita hidup di era serba cepat. Prestasi diukur dengan angka: nilai, ranking, sertifikat. Ketika anak pulang dengan nilai buruk, refleks kita mungkin langsung menegur: “Kok bisa jelek? Kurang belajar, ya?” Padahal, anak kita mungkin sudah berusaha keras. Mungkin malamnya ia begadang karena ingin membuat kita bangga, tapi tetap kalah saing di antara teman-temannya. Apa yang kita lakukan? Kita marah, dan rasa capek anak itu sia-sia.
Dalam dunia anak, proses jauh lebih penting daripada hasil. Daripada hanya bertanya soal nilai, tanyakanlah: “Kamu senang nggak belajar ini? Kamu butuh bantuan?” Beri apresiasi atas usaha mereka, bukan sekadar angka. Karena, percaya atau tidak, keberanian anak untuk mencoba jauh lebih berharga daripada hasil akhirnya.
Banyak orang tua tanpa sadar meneruskan mimpi yang tak sempat mereka raih kepada anak-anaknya. “Dulu Ayah mau jadi dokter tapi nggak kesampaian, jadi kamu yang harus jadi dokter.” Atau, “Ibu dulu juara matematika, masa kamu kalah?” Anak kita bukan versi lain dari masa muda kita. Mereka bukan pelampiasan mimpi-mimpi yang tertunda.
Mungkin anak kita tidak cocok jadi dokter, tapi sangat berbakat menggambar. Mungkin mereka tak suka matematika, tapi lihai berbicara. Ada anak yang berbunga-bunga saat berhadapan dengan piano, ada yang lebih senang membaca buku cerita berjam-jam.
Tugas kita sebagai orang tua adalah membuka pintu bagi anak-anak: biarkan mereka mencoba, mengenal diri mereka sendiri, lalu memilih jalannya. Tugas kita bukan memaksa mereka berjalan di jalur yang kita pilih.
Generasi kita tumbuh di era berbeda, di mana nilai bagus dan pekerjaan stabil adalah kunci hidup “sukses.” Tapi, zaman berubah. Anak-anak kita hidup di dunia digital, di mana keterampilan berpikir kritis, kreativitas, dan empati jauh lebih penting daripada sekadar menghafal teori.
Jangan meremehkan saat anak-anak sibuk dengan hal-hal “sepele” seperti menggambar komik, membuat video pendek, atau belajar coding. Boleh jadi, dari situlah masa depan mereka tumbuh. Kita perlu mendukung anak-anak mengikuti perkembangan zaman, bukan memaksanya bertahan di masa lalu kita.
Sebagai orang tua, terkadang kita merasa tahu segalanya. Saat anak bercerita, kita malah sibuk memberi nasihat panjang lebar. Padahal, yang mereka butuhkan hanya telinga yang mendengarkan, bukan mulut yang menilai.
Pernahkah kita benar-benar duduk dan mendengarkan keluh kesah anak? Pernahkah kita bertanya: “Kamu lagi sedih, ya? Cerita sama Ibu, nggak apa-apa.” Ketika anak merasa didengar, mereka akan lebih percaya diri. Mereka tahu bahwa ada tempat yang aman untuk pulang, tempat di mana mereka bisa menjadi diri sendiri tanpa takut dihakimi.
Menjadi orang tua bukanlah tentang memegang kendali penuh atas anak, melainkan menjadi cahaya yang menerangi jalan mereka. Terkadang, kita hanya perlu melangkah mundur sedikit, agar anak kita bisa melihat cahaya itu lebih jelas.
Anak-anak kita tidak akan selalu berjalan di jalan yang lurus dan sempurna. Mereka akan jatuh, menangis, lalu bangkit lagi. Biarkan mereka tumbuh dengan caranya, dengan dunianya. Karena pada akhirnya, tugas kita bukanlah membentuk anak yang sempurna, melainkan mendidik anak yang bahagia dan percaya pada dirinya sendiri.
Sebagai orang tua, bukankah itu yang paling kita harapkan?