Informasi Terpercaya Masa Kini

Terlalu Memanjakan Membuat Anak Bermental Strawberry Generation

0 2

Kasih sayang orangtua tanpa batas memang benar adanya. Bahkan ketika anak sudah membangun rumah tangga dan melahirkan generasi baru, tetap saja orangtua menyimpan perhatian tak tertandingi oleh apapun. Benar kata pepatah bahwa menjadi orangtua adalah peranan dan pekerjaan seumur hidup.

Tidak mudah menjadi orangtua. Sama halnya seperti tidak mudah menjadi anak. Keduanya sama-sama orang baru yang mencoba sebuah peranan dalam kehidupan. Sepasang suami istri yang baru menjadi orangtua sedang belajar menjadi orangtua. Kapan berhenti belajar menjadi orangtua? Ternyata tidak ada batasnya. Terus belajar dan terus belajar. Tidak ada habisnya untuk mencoba memahami anaknya meski sudah tak lagi dalam usia anak-anak.

Apalagi ketika pertama kalinya dikaruniai buah hati. Tidak hanya orangtua, sang nenek dan kakek pun ikut memberikan kasih sayang yang ingin sempurna tersampaikan dengan baik. Tidak boleh ada yang kurang. Perhatian, kasih sayang, cinta kasih, dan apapun yang diperlukan harus ada tepat waktu.

Mulanya memang terlihat baik-baik saja. Apalagi jika didukung dengan keadaan ekonomi yang stabil. Anak yang mulai paham keinginannya apa, mulai merengek meminta sesuatu. Sebagai orangtua yang berkomitmen untuk selalu memenuhi kebutuhan sang buah hati, segala upaya dilakukan untuk bisa mengabulkan permintannya.

Sekalipun dalam keadaan terdesak, tetap diupayakan demi kebahagiaan anak. Banyak orangtua yang mengalah atau bahkan kalah dengan rengekan dan tangisan anak. Turut sedih ketika melihat anak pun sedih. Rasanya tak tega jika tidak memenuhi permintaan si kecil.

Selain memenuhi segala permintaan anak, banyak pula orangtua yang benar-benar tak membiarkan anaknya lecet seujung kuku pun. Meratukan atau merajakan anak. Memberi perhatian dan terus mengawasinya. Memberi larangan ini itu agar anak tetap terjaga dan dalam keadaan baik-baik saja.

Ketika anak melakukan kesalahan, saking sayangnya tak tega untuk memberi teguran apalagi memberikan hukuman. Membiarkan begitu saja dan abai dengan risiko ke depannya seperti apa. Bisa saja terulang atau bahkan bisa meningkatkan level kesalahan. 

Ternyata, pola asuh yang seperti itu dikenal dengan istilah strawberry parents. Istilah ini muncul karena pola asuh yang diberikan orangtua memicu lahirnya generasi strawberry.

Dikutip dalam kompas.com, menurut Guru Besar Universitas Indonesia, Rhenald Kasali, strawberry generation adalah istilah yang mencerminkan generasi muda yang memiliki kemiripan dengan buah stroberi. Buah strawberry yang asam dengan warna mencolok yang menarik perhatian menjadi gambaran generasi yang selunak buah strawberry. Terlihat menarik dan memikat. Namun saat ditekan atau bahkan dipijak mudah sekali hancur.

Meminjam istilah anak zaman now, generasi strawberry terbilang gampang baper (bawa perasaan) sehingga sensitif sekali menerima kritik. Bahkan terbilang tidak menerima atau alergi terhadap kritikan orang lain. Tidak hanya kritikan, generasi ini juga tidak mau menerima pendapat orang lain. Merasa pendapatnya yang paling benar dan tidak mau kalah saing.

Karakter generasi strawberry menumbuhkan mental yang lemah. Sulit untuk menerima kegagalan dan kekalahan, membuat generasi strawberry mudah putus asa dan berujung rentan terkena stres.

Alhasil, generasi strawberry kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru yang tidak ia sukai. Perubahan-perubahan yang terjadi sekaligus masalah-masalah dalam kehidupan yang harus dihadapi.

Mungkin bagi sebagian orangtua, menjadi strawberry parents merupakan upaya menjaga dan melindungi anak dari segala hal-hal buruk yang mungkin terjadi. Namun ternyata pola asuh seperti ini akan membuat anak tumbuh dengan mental strawberry.

Memang tidak semuanya buruk. Mengingat generasi strawberry adalah generasi yang memiliki ide-ide kreatif. Namun anak yang bermental strawberry akan mengalami banyak kesulitan saat berada dalam lingkungan. Khususnya ketika tanpa peranan orangtua yang menyertainya. Ia akan ketergantungan pada orangtua, sulit mandiri, emosional, tak terima perbedaan, sampai berujung rentan terkena stres.

Nasi sudah menjadi bubur. Yang berlalu biarkan berlalu. Sudah saatnya memulai untuk mencegah anak memiliki mental selembek strawberry. Anak harus tumbuh menjadi pribadi pemberani, berjiwa sosial tinggi, dan bisa mengendalikan dirinya dalam situasi apapun.

Kuncinya adalah dengan memberikan kepercayaan kepada anak. Dengan memberikan anak kepercayaan, keberaniaan akan tumbuh sedikit demi sedikip. Meski mulanya anak adalah pribadi yang cengeng, tetapi lambat laun ia akan merasa bisa karena orangtuanya sendiri percaya bahwa dirinya adalah anak yang pemberani.

Dengan begitu, anak akan belajar untuk memecahkan masalahnya sendiri. Mulai dari hal-hal sederhana yang bisa terjangkau olehnya. Seperti menemukan mainan di rumah, membereskan mainannya sendiri, sampai tiba saatnya ia berada dalam lingkungan pertemanan seusianya yang tidak menutup kemungkinan terjadi konflik-konflik ringan.

Tanamkan selalu nilai-nilai positif kepada anak. Beri kalimat-kalimat positif yang dapat memotivasi anak untuk menjalankan aktivitasnya. Mengutarakan kalimat penyemangat sembari memberikan sentuhan hangat kepada si kecil.

Berikan batasan-batasan yang dapat diminta anak. Jangan biasakan anak bisa bebas sesuka hati meminta apapun kepada orangtua meski orangtua sanggup untuk memberikan segalanya. Kompromikan dengan si kecil apa saja yang boleh dan apa saja yang tidak boleh.

Begitu pun ketika anak melakukan kesalahan. Menasehatinya bahwa perbuatannya itu tidak benar. Meluruskun yang salah agar tidak terjadi lagi. Jika dirasa sudah melewati batas, tak apa untuk memberikan hukuman yang membuat anak tersadar bahwa perilakunya salah.

Termasuk ketika anak mencapai sesuatu. Beri apresiasi dengan penuh kebanggaan. Apresiasi tidak hanya sekadar soal materi saja. Biasakan memberikan ucapan positif dengan sentuhan hangat yang membuat anak merasa dicintai. 

Leave a comment